Seni Mural Jadi Media Kritik Sosial, Ini Kata Pakar UGM

Seni mural yang sedang diperbincangkan di media sosial kali ini mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah. Banyak seni mural yang dihapus oleh pemerintah karena dinilai menciderai lambang negara.

oleh Yanuar H diperbarui 29 Agu 2021, 08:00 WIB
Anggota Satpol PP melakukan penghapusan mural bertuliskan kritikan di Jalan Raya Citayam, Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. (Istimewa)

Liputan6.com, Yogyakarta - Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM sekaligus Pemerhati Seni Visual, Irham Nur Anshari menyikapi seni mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo disertai tulisan “404: Not Found” yang langsung dihapus aparat harus dipahami kembali apa sebenarnya yang menjadi permasalahan utamanya. Sebab pada kondisi tersebut seringkali dikaitkan dengan dua hal yakni pelecehan simbol negara dan perusakan fasilitas umum.

“Kalau terkait problem perusakan fasilitas umum ini sedikit lucu karena pada kasus tersebut yang dihapus hanya mural yang dianggap sebagai gambar Presiden Jokowi sementara mural lain di sampingnya tidak ikut dibersihkan. Ditambah lagi desainer kaos yang menggunakan imaji mural juga ikut didatangi aparat untuk minta maaf,” paparnya, Jumat 27 Agustus 2021.

Ini artinya menurut Irham poin utama dari persoalan ini adalah adanya anggapan mural/gambar/desain tersebut dianggap melecehkan simbol negara. Namun begitu, apakah gambar tersebut adalah gambar Presiden Jokowi atau hanya mirip yang justru perlu dipermasalahkan.

“Tidak bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap presiden karena itu bukan foto asli, tapi hanya gambar,” tutur pria yang juga menjadi pembina UKM Seni Rupa UGM ini.

Kasus ini menurut Irham menunjukkan poin penting dari seni, di mana seniman dapat menyampaikan kritik secara kreatif dan tersampaikan tanpa bisa diadili secara mutlak.

Pasalnya, yang ada hanya berupa gambar bukan foto atau video bahkan tidak ada nama yang menyebut gambar tersebut adalah presiden. Ia mempertanyakan masih adanya pihak-pihak yang merasa gerah terhadap kritik sosial yang disampaikan melalui mural.

“Sebab, tanpa ada konflik jangan-jangan ada sebuah kondisi mapan yang sebenarnya ada hirarki dominan di situ. Bentuk kritik atau aspirasi apapun hendaknya didengar dan dicari tahu,” terangnya.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak Video Pilihan Ini:


Tak Berjalannya Saluran Kritik Formal

Penggunaan mural sebagai media penyampaian aspirasi menurutnya dapat terjadi karena tidak berjalannya sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah dengan baik. Kondisi ini menjadikan sebagian masyarakat mencari media lain untuk menyuarakan pendapatnya dengan cara mengekspos ke publik baik lewat media online maupun offline termasuk mural.

“Kalau via online tidak cukup maka offline juga dilakukan seperti dengan poster dan mural, ini bentuk demokrasi. Tantangan bagaimana pemerintah bisa mendengar aspirasi dan kritik ini tanpa dengan mudah labelinya dengan oposisi dan sebagainya,” ucapnya.

Irham mengatakan sebenarnya penggunaan mural untuk menyampaikan aspirasi ini tidak terlalu efektif untuk menyuarakan pendapat. Terlebih banyak mural yang digambar di titik-titik yang tidak terjangkau oleh publik seperti di gambar di bawah jembatan.

Menariknya, di era internet saat ini mural difoto dan disebarluaskan melalui berbagai platform digital. Dengan begitu aspirasi maupun kritik sosial dapat tersampaikan secara luas saat terdistribusikan secara online.

“Yang menarik, sebelum mural dihapus sudah ada beberapa orang yang mengambil fotonya dan justru foto asli ini sangat viral. Foto yang tersebar ini menarik minat banyak orang yang belum sempat melihat jadi melihat karena beritanya viral mural itu dihapus. Kritik pun menjadi berlipat ganda, mati 1 tumbuh 1.000,” tuturnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya