Representasi Laki-Laki Baru sebagai Agen Perubahan Mencegah Kekerasan Seksual

Nyatanya normalisasi kekerasan seksual juga berdampak buruk pada laki-laki.

oleh Asnida Riani diperbarui 13 Okt 2021, 11:39 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual. (dok. pexels/Anete Lusina)

Liputan6.com, Jakarta - Laki-laki sudah begitu lekat pada "kubu" terduga pelaku kekerasan seksual. Padahal, kendati secara data tidak selumrah perempuan, bukan berarti laki-laki masuk pengecualian dalam korban kasus tersebut.

Pegiat HAM Yuniyanti Chuzaifah menjelaskan bahwa pria sebagai pelaku kekerasan seksual hampir selalu berkelit pada bercanda. Narasi ini pun disepakati Nur Hasyim, selaku pendiri aliansi Laki-Laki Baru.

Ia menjelaskan, budaya pemerkosaan sayangnya telah begitu kuat mengakar di kalangan lelaki. "Indikasinya adalah normalisasi kekerasan seksual yang dimulai sejak SD atau lebih dini dari itu," katanya dalam webinar edukasi The Body Shop Indonesia bersama Yayasan Pulih bertajuk "Support System Laki-laki Sebagai Agen Perubahan dalam Pencegahan Kekerasan Seksual," Sabtu (28/8/2021).

Percakapan di kalangan laki-laki, bahkan ketika ada perempuan di forum itu, tidak jarang mengobjekkan wanita. Itu dicontohkannya melalui stiker payudara, celana dalam, atau gambar serupa, bahkan video yang mengobjekkan perempuan secara seksual. "Itu dikuatkan sesama lelaki dan hal-hal ini dianggap wajar," imbuhnya.

Walau sekilas terlihat menguntungkan laki-laki, Boim, begitu sapaan Nur Hasyim, menjelaskan sebenarnya ada "ongkos" yang harus dibayar pria dari norma maskulinitas. Dalam hal ini, mereka dituntut untuk memenuhi ekspektasi-ekspektasi sosial.

"Kalau tidak (memenuhi ekspektasi), mereka biasanya akan dirundung, dibilang 'tidak laki,' bahkan berpotensi jadi korban kekerasan seksual," ucapnya.

Itu kemudian berpotensi berdampak lebih masif. Pasalnya, menurut Psikolog Klinis Dewasa Yayasan Pulih Jane L. Pietra, manusia, tidak terkecuali laki-laki, pada dasarnya berkeinginan untuk diterima dalam kelompok. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Setop Normalisasi Kekerasan Seksual

Webinar edukasi The Body Shop Indonesia bersama Yayasan Pulih "Support System Laki-laki Sebagai Agen Perubahan dalam Pencegahan Kekerasan Seksual," 28 Agustus 2021. (dok. tangkapan layar Zoom)

Norma maskulinitas, kata Boim, juga berdampak lain bagi laki-laki, yang mana membuat mereka punya literasi emosional yang rendah. "Laki-laki cenderung tidak membangun hubungan lebih dalam dan bermakna karena kultur itu," katanya.

Padahal, dengan meniadakannya, Boim menilai laki-laki bisa jadi versi diri masing-masing, tanpa perlu memenuhi ekepektasi sosial. Juga, bisa membangun hubungan secara lebih bermakna yang akhirnya berdampak sehat, baik secara fisik maupun mental.

"Laki-laki juga akhirnya bisa berbagi tanggung jawab dengan perempuan, sehingga bisa punya lebih banyak waktu dengan anak," sambungnya.

Pelibatan lelaki dalam mencegah kekerasan seksual, menurut Jane, bukanlah perjuangan yang terlepas dari upaya serupa oleh para perempuan."Ini jadi bagian integrasi keadilan gender yang berorientasi pada bagaimana sama-sama mengubah norma gender. Keterlibatan lelaki tidak lagi dilihat karena ia seorang laki-laki, tapi individu," urainya.

Karena itu, Boim mengatakan, sudah saatnya para pria jadi representasi lelaki baru. Caranya, dengan berhenti menormalisasi kekerasan seksual, serta menyetop candaan seksis atau melecehkan.

"Berhenti ikut berbahagia dengan candaan seksis yang dilontarkan lelaki lain. Penting bagi laki-laki untuk menyuarakan ketidaksetujuan atas tindakan kekerasan seksual, supaya lelaki lain tidak berpikir kita setuju-setuju saja," katanya.


Sahkan RUU PKS

Ilustrasi mencegah kekerasan seksual. (dok. pexels/Anete Lusina)

Di sisi lain, Yuni menjelaskan, prinsip penanganan pelaku kekerasan seksual, baik wanita maupun pria, sebaiknya tidak hanya soal dihukum secara pidana. Ini, katanya, juga soal mengedukasi supaya ia tidak mengulangi perbuatan itu di tempat lain.

"RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) ini memberi opsi penghukuman (pada pelaku kekerasan seksual), tidak hanya penjeraan, tapi juga edukasi," tuturnya.

Sejalan dengan pendapat itu, Boim mengatakan bahwa penyadaran terkait nilai-nilai keadilan gender itu penting. "Prinsip bekerja dengan pelaku itu ada namanya konfrontasi untuk memahami norma-norma yang selama ini mereka yakini. Pandangan itu harus di-challenge," katanya,

Kendati demikian, ia menegaskan, program pemulihan pada pelaku kekerasan seksual bukan dalih semata, apalagi pembebasan dari konsekuensi hukum. "Proses hukum itu harus tetap berjalan," ucapnya.

Menurut Boim, RUU PKS merupakan rancangan undang-undang yang berorientasi pada kemanusiaan semua orang. "Mencegah jadi pelaku maupun korban, dan ini memanusiawikan kita semua karena terkait otonomi dan integritas tubuh," katanya.

"(Dengan mengesahkan RUU PKS) interaksi sosial akan dibangun atas penghormatan dan penghargaan sesama manusia. Tidak cukupkah itu untuk mengesahkan RUU PKS?" tandasnya.


Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya