Geger Perebutan Takhta Kesultanan Kasepuhan Cirebon

Kesultanan Kasepuhan Cirebon memanas. Mari mengutamakan kedewasaan, dan mengingat kembali pesan Sunan Gunung Jati.

oleh Panji Prayitno diperbarui 29 Agu 2021, 01:07 WIB
Keraton Kasepuhan Cirebon (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Cirebon - Suhu politik di lingkungan keraton Kesultanan Kasepuhan Cirebon memanas. Takhta sultan jadi rebutan usai mangkatnya Sultan Sepuh XIV Kesultanan Kasepuhan Cirebon Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat pada 22 Juli 2020. Siapa yang sah menjadi sultan selanjutnya? 

Saat ini ada dua  sosok yang mengklaim berhak atas takhta Kesultanan Kasepuhan Cirebon: Luqman Zulkaedin dan Rahardjo Djali. Luqman Zulkaedin diangkat sebagai Sultan Sepuh XV Kesultanan Kasepuhan Cirebon pada 30 Agustus 2020. Nyaris setahun kemudian, Rahardjo Djali menggelar pelantikan pada 18 Agustus 2021 sebagai Sultan Sepuh Aloeda II.

Satu takhta dua raja, tinggal menunggu waktu konflik berkobar.

Bentrok itu pun pecah di dalam lingkungan keraton pada Rabu (25/8/2021) sekitar pukul 13.00 WIB. Kelompok pendukung Sultan Aloeda II dan Sultan Luqman Zulkaedin saling melempar batu sambil mengumpat bernada marah.

Polisi sampai datang melerai. Petugas bahkan sempat menodongkan senjata api ke atas meski tanpa diletupkan. Polisi meminta kedua kelompok pendukung untuk membubarkan diri keluar dari keraton.

Sebelum bentrokan pecah, pada hari yang sama terjadi kericuhan saat prosesi pelantikan perangkat Keraton Kasepuhan Cirebon versi Sultan Aloeda II di Bangsal Jinem Pangrawit.

Saat itu, tak lama usai Rahardjo membacakan sumpah di depan perangkat Keraton Kasepuhan Cirebon, muncul Ratu Alexandra Wuryaningrat dari pihak keluarga PRA Luqman Zulkaedin yang berusaha membubarkan prosesi pelantikan. Aksi saling dorong dan adu argumen terjadi antara kedua pihak pun tak terhindarkan.

"Mohon maaf ada apa ini. Kegiatan ilegal tidak ada izin, bubar!" kata Alexandra sambil berusaha mendorong barikade yang mengawal prosesi pelantikan.

Alexandra menyebut kegiatan itu ilegal. "Di Keraton Kasepuhan itu sultan cuma satu. Tidak ada sultan dua. Kegiatan yang ada di keraton harus sepengetahuan sultan sepuh," ujarnya.

Sebaliknya Sultan Aloeda II Rahardjo menyatakan prosesi pelantikan telah resmi terlaksana. Menurutnya kericuhan tersebut hal biasa. Pelantikan tersebut menandakan sultan beserta perangkatnya di Keraton Kasepuhan siap untuk melakukan tugas-tugasnya.

"Kurang lebih 20 orang dilantik dari patih sepuh, patih dalam, pangeran kumisi sepuh, pangeran kumisi dalem," jelasnya.

Dia mengatakan pihaknya membuka diri untuk menyelesaikan polemik internal di Keraton Kasepuhan secara intelektual.

"Karena kita ini orang orang berpendidikan dan bermartabat. Jangan menyelesaikan masalah dengan cara preman. Kalau tidak puas mari selesaikan lewat jalur hukum," ujarnya.

Sejauh ini dua kubu masih ngotot dengan versi klaimnya. Konflik bakal berlarut-larut jika tak ada kata sepakat dari keluarga Keraton Kasepuhan Cirebon.

 

Saksikan Video Ini


Konflik Berakar Panjang

Kericuhan terjadi saat prosesi pelantikan perangkat Keraton Kasepuhan Cirebon versi keluarga Rahardjo, Rabu (25/8/2021). (Liputan6.com/ Panji Prayitno)

Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon sekarang dari kubu keluarga PRA Arief Natadiningrat adalah Sultan Luqman Zulkaedin. Dia anak kedua dari empat anak Sultan Sepuh PRA Arief Natadiningrat dengan permaisuri Raden Ayu Isye Natadingrat.

Luqman diangkat sebagai putera mahkota pada Desember 2018 dan disahkan sebagai penerus tahta pada 22 Juli 2020, di hari wafat ayahnya. Luqman kemudian diangkat sebagai sultan sepuh melalui proses jumenengan di Keraton Kasepuhan Cirebon pada 30 Agustus 2020

Sementara itu, sultan dari kubu lain adalah Rahardjo Djali. Sebelum pelantikan yang menobatkan Rahardjo sebagai Sultan Aloeda II, pihak Rahardjo sudah menolak pengangkatan Luqman Zulkaedin.

"Kalau merunut dari kakek moyangnya Luqman yaitu Alexander Raja Rajaningrat, beliau tidak memiliki hubungan darah dengan Sultan Sepuh ke-11," kata Rahardjo.

Ikhwal hubungan darah dengan Sultan Sepuh ke-11 ini yang menjadi dasar pihak Rahardjo menggugat kepemimpinan dinasti PRA Arief Natadiningrat. Gugatan ini tak hanya saat menolak Luqman sejak akhir Agustus 2020 usai pelantikan Luqman, tapi sudah dilakukan sejak PRA Arief Natadiningrat masih hidup.

Pada Juni 2020, Rahardjo dan beberapa orang menggembok pintu Dalem Arum Keraton Kasepuhan Cirebon. Rahardjo menyatakan aksi itu adalah wujud gugatan keturunan sah dari Sultan Sepuh ke XI Raja Jamaludin Aluda Tajul Arifin.

"Hari ini, Sabtu 26 Juni 2020 Kami Keturunan Asli Sultan Sepuh XI Jamaludin Aluda Tajul Arifin dengan ini menyatakan mengambil alih Keraton Kasepuhan dari tangan Saudara Arief. Demikian pernyataan kami buat untuk disebarluaskan ke Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat dan Masyarakat Kota Cirebon."

Aksi penggembokan keraton tersebut sebenarnya direncanakan pada 23 Maret 2020, namun ditunda seiring pandemi Covid-19 dan kebijakan pembatasan.

Kala itu Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat menyatakan situasi masih bisa dikendalikan dan kondusif. Menurut dia, aksi penyegelan dan upaya pengambilalihan kekuasaan tersebut merupakan tindakan iseng yang tidak memiliki dasar.

Dia menyatakan upaya mengambil alih kekuasaan tersebut dilakukan orang yang tidak berhak atas tahta Keraton Kasepuhan Cirebon. Baik dari silsilah, adat istiadat serta tradisi yang berlaku secara turun temurun.

"Oknum tidak berhak atas gelar kerajaan dan bukan sultan dan bukan merupakan putra sultan. Hal mana yang berhak atas gelar sultan harus merupakan putra sultan sesuai adat istiadat serta tradisi yang berlaku secara turun temurun kesultanan di Keraton Kasepuhan Cirebon."

Di sisi lain, pihak Rahardjo yang menyatakan sebagai keturunan asli Sultan Sepuh XI Jamaludin Aluda Tajul Arifin punya argumentasi sendiri. Argumentasinya, yang sah atas takhta Keraton Kasepuhan Cirebon adalah keturunan Sultan Sepuh XI Keraton Kasepuhan Cirebon Tadjoel Arifin Djamaluddin Aluda Mohammad Samsudin Radjanataningrat.

 


Sejarah Kekuasaan Cirebon Versi Kubu Rahardjo

Aparat TNI/Polri masih berjaga-jaga di sekitaran Keraton Kasepuhan Cirebon usai bentrok dua kubu berebut takhta kesultanan Cirebon. (Liputan6.com/ Panji Prayitno.

Keluarga Rahardjo Djali menyatakan bahwa aksi mereka menggugat kepemimpinan PRA Arief Natadiningrat adalah upaya meluruskan sejarah. Selain itu juga terdorong niat keluarga untuk membenahi keraton.

"Bertahun tahun kami selalu melakukan pendekatan persuasive dan tidak direspon. Bahkan berulang kali kami mengajak melakukan tes DNA juga tidak direspon," kata Rahardjo, tak lama setelah aksi penggembokan, Minggu (28/6/2020).

Pada kesempatan tersebut, dia menjelaskan silsilah keluarga Sultan Sepuh ke XI. Sultan Jamaludin Aluda Tajul Arifin memiliki dua orang istri yakni Raden Aju Radjapamerat (wafat 1922) dan Nji Mas Rukiah (wafat 1979).

Dari istri pertama dianugerahi tiga orang anak perempuan. Namun, pada perjalanannya, Sultan Sepuh XI mendapat titipan anak dari sultan Sepuh X bernama Alexander.

"Jadi dari istri pertama ada empat anak tapi yang satu bukan anak kandung," jelasnya.

Dia menyebutkan Alexander merupakan anak dari orientalis bangsa Belanda yang bermukim di Keraton Kasepuhan bernama Snouck Hurgronje. Setelah mempelajari Islam, Snouck Hurgronje ditugaskan Pemerintah Belanda ke Indonesia yakni Keraton Kasepuhan Cirebon dengan dalih mempelajari Islam lebih dalam.

Seiring berjalannya waktu, Snouck Hurgronje menikah dengan wanita kerabat Keraton Kasepuhan Cirebon yang salah satu anaknya bernama Alexander. Tidak direstui Sultan Sepuh ke X, akhirnya mereka diasingkan ke Aceh.

Singkat cerita, Sultan Sepuh ke XI menikah lagi dengan Nji Mas Rukiah. Setelah pernikahan ini Sultan Sepuh XI mengganti gelar di belakangnya dari Natadiningrat menjadi Aloeda.

Dari pernikahan keduanya itu dikaruniai lima anak, tiga perempuan dan dua laki-laki. Rahardjo mengaku keturunan Sultan Sepuh XI dari jalur ini.

Anak pertama laki-laki Pangeran Mohammad Sulung wafat waktu masih balita. Anak kedua Rt Mas Sophie Djohariah, anak ketiga merupakan kembar putra putri yakni Ratu Mas Dolly Manawijah dan Raden Soegiono. Sementara anak terakhir adalah seorang perempuan bernama Ratu Mas Alit Saleha.

"Raden Soegiono ini yang berhak menggantikan tahta Sultan Sepuh XI setelah wafat. Tapi waktu itu beliau masih belum cukup umur sehingga situasi ini dimanfaatkan pemerintah Hindia Belanda dan menunjuk Alexander sebagai Sultan Sepuh XII bernama Alexander Radja Radjaningrat," ujar Rahardjo.

Raden Soegiono pernah ditawari menjadi penerus sang ayah. Namun Soegiono enggan karena sibuk dengan karir sebagai pejabat di Bank Indonesia.

"Memang tidak mau tapi saat itu beliau berpesan siapapun sultannya harus menjaga syiar Islam dan peninggalan leluhur dengan baik," kata Rahardjo.

Sementara itu Alexander memiliki 10 anak dari hasil tiga kali pernikahannya. Anak pertama bernama Maulana Pakuningrat yang kemudian naik takhta setelah Sultan Sepuh XII Alexander meninggal dunia.

Dari hasil pernikahan Maulana Pakuningrat dengan wanita asal Bandung, dikaruniai lima anak dengan anak pertama Arief Natadiningrat. Anak pertama ini yang kemudian ditunjuk menjadi Sultan Sepuh XIV, ayah dari Luqman Zulkaedin.

Penunjukan Arief Natadiningrat sebagai putera mahkota dianggap tidak ada pemberitahuan dan persetujuan dari keluarga besar Keraton Kasepuhan Cirebon. Hingga diangkatnya Arief Natadiningrat sebagai Sultan Kasepuhan ke XIV Cirebon dianggap tanpa pemberitahuan dan persetujuan keluarga besar.

Anggapan itu diperkuat dengan gugatan ahli waris Sultan Sepuh XI saat itu pengadilan menolak forum previlegiatum Alexander. Surat putusan itu bernomor 82/1958/Pn.Tjn juncto nomor 279/1963 PT.Pdt juncto nomor K/Sip/1964.

"Artinya pada saat itu, NKRI tahun 1958 tidak pernah mengakui Alexander sebagai sultan," kata Rahardjo.

 


Pangeran Kuda Putih

Sekelompok orang yang berasal dari Santana Kesultanan Cirebon, menyegel gerbang Keraton Kasepuhan Cirebon, Selasa (17/8/2021). (Liputan6.com/ Panji Prayitno)

Konflik perebutan kekuasaan di Keraton Kasepuhan Cirebon saat ini bermuara pada kubu Natadiningrat dan Aloeda. Belakangan ini muncul tokoh lain. Indikasi ini muncul dari insiden 17 Agustus 2021.

Sekelompok orang yang berasal dari Santana Kesultanan Cirebon menyegel gerbang Keraton Kasepuhan Cirebon, Selasa (17/8/2021) pukul 8.30 WIB. Selain penggembokan, mereka juga memasang spanduk bertuliskan 'segel'.

"Kami segel agar keraton dibenahi. Kami meminta agar ada mediasi. Pemerintah juga mau melakukan apa yang menjadi keinginan kami," kata Ketua Buhun Santana Kesultanan Cirebon, Pangeran Heru Rusyamsi Arianatareja di Keraton Kaprabonan Cirebon, Selasa (17/8/2021).

Pria yang akrab disapa Pangeran Kuda Putih tersebut mengatakan penyegelan dan penggembokan gerbang Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan upaya menyampaikan aspirasi. Heru meminta agar aktivitas dan status sultan di Keraton Kasepuhan Cirebon dibekukan terlebih dahulu.

Menurutnya, keluarga sultan yang saat ini menduduki tahta bukan bagian dari pewaris. "Hingga sekarang tidak ada satu pun pernyataan saya yang menyebut saya berhak menjadi sultan. Saya hanya ingin dirapikan," kata Heru.

Heru juga mengklaim Santana Kesultanan Cirebon sebagai keluarga atau turunan dari Sunan Gunung Jati yang sah. Sebelumnya, polemik antara Santana Kesultanan Cirebon dengan Keraton Kasepuhan ini terjadi sejak tahun lalu.

"Kami ingin bicara dengan mereka. Mungkin mereka menganggap bahwa kami ingin merebut tahta," kata Heru.

 


Harapan dari Luar Tembok Keraton 

Keraton Kasepuhan Cirebon tetap dikunjungi wisatawan usai insiden tawuran antara dua kelompok pendukung sultan. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Konflik internal Keraton Kasepuhan Cirebon memicu keprihatinan di kalangan masyarakat Cirebon. Pemerhati sejarah Cirebon Mustakim Asteja mengatakan kisruh di Keraton Kasepuhan jika dibiarkan akan merusak kerukunan di Kesultanan Kasepuhan Cirebon.

"Dapat menimbulkan perbuatan anarkis yang dapat merusak cagar budaya di dalam Keraton Kasepuhan," ujar Mustakim, Jumat (27/8/2021).

Mustakim mengimbau kepada pihak-pihak yang sedang bersengketa untuk dapat bermusyawarah dan mufakat.

"Agar bisa menyelesaikan sengketa ini dengan damai, sebagaimana yang dilakukan Syekh Syarif Hidayatulah Sunan Gunung Jati jika terjadi permasalahan," katanya.

Dia berharap Pemerintah Daerah Kota Cirebon dan pemerintah pusat agar mengambil inisiatif untuk memediasi pihak-pihak yang bersengketa di Keraton Kasepuhan tersebut.

"Pemerintah harus menerbitkan surat keputusan legal formal kepada siapa yang berhak menjadi sultan di Keraton Kasepuhan, sesuai kewenangannya masing-masing sebagaimana pernah di lakukan pada masa Kolonial Hindia Belanda, agar kondusivitas, keamanan dan ketertiban di wilayah Cirebon dapat terkendali," tutur Mustakim.

Ia pun memohon kepada pihak-pihak lain dan masyarakat untuk tidak turut memperkeruh kondisi sengketa di Keraton Kasepuhan ini.

Keraton Kasepuhan merupakan cagar budaya pusaka leluhur Cirebon yang keberadaannya dilindungi oleh UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan SK Penetapan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001.

"Kawasan Keraton Kasepuhan sebagai kawasan cagar budaya di Kota Cirebon keberadaan dan kelestariannya dalam perlindungan pemerintah," katanya.

Mustakim mengajak masyarakat Cirebon secara umum untuk mengamalkan petatah petitih Sunan Gunung Jati. "Hormaten, emanen, lan mulyaken maring pusaka dan ingsun titip tajug lan fakir miskin."

Sementara itu Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Cirebon Agus Mulyadi mengatakan tidak punya mekanisme untuk ikut campur dalam polemik tersebut.

"Ini kan masalah internal ya kami harap bisa diselesaikan secara internal," kata Agus Mulyadi, Senin (23/8/2021).

Menurut dia, Pemkot Cirebon sebagai pihak luar hanya bisa mendorong agar penyelesaian masalah dilakukan sebijak mungkin. Para pihak yang sedang berselisih diminta mengedepankan prinsip kekeluargaan dan musyawarah.

"Kalau memang sedang dalam proses hukum, kedepankanlah proses hukum yang berlaku," ujar Agus.

Agus menegaskan Pemkot Cirebon hanya meminta pihak Keraton Kasepuhan Cirebon yang berselisih agar memperhatikan dua hal.

Pertama, tetap berupaya mempertahankan Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai simbol budaya bangsa. Selain itu, Agus memperingatkan polemik di Keraton Kasepuhan Cirebon jangan sampai berdampak pada situasi Kota Cirebon.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya