Liputan6.com, Jakarta - Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, bermunculan beragam istilah, salah satunya revenge travel atau juga disebut dengan 'wisata balas dendam'. Istilah tersebut kemudian kian lumrah dan makin banyak digunakan oleh publik.
"Istilah revenge travel atau revenge tourism baru muncul dalam dunia modern baru-baru ini saat terjadi peristiwa dahsyat Covid-19. Usai PSBB, banyak orang seperti tak sabar untuk berwisata," kata Deputi Bidang Pengembangan Produk dan Penyelenggara Kegiatan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Rizki Handayani kepada Liputan6.com, Sabtu, 28 Agustus 2021.
Baca Juga
Advertisement
Rizki menambahkan, saat ini wisata sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Mereka ingin refresh lagi dengan berwisata dan saat ini wisata domestik sudah bagus.
"Beberapa tahun lalu, terjadi fenomena milenial yang lebih memprioritaskan berwisata ketimbang membeli rumah. Nah, saat ini fenomena tersebut masih berjalan. Namun, tiba-tiba berhenti atau direm mendadak (akibat Covid-19). Semoga kesehatan masyarakat semakin membaik, karena banyak orang tidak sabar untuk berwisata," ujar Rizki.
Rizki mencontohkan, jangankan berwisata, mereka yang cukup lama bekerja dari rumah pun banyak yang rindu untuk berada ke kantor. Padahal, banyak kegiatan yang bisa dilakukan melalui Zoom, tapi ada sesuatu yang seperti kurang afdol jika tidak dilaksanakan di kantor, seperti menerima tamu.
"Itu urusan pekerjaan, bagaimana dengan wisata. Mereka ingin melihat pantai, ingin santai-santai, melihat suasana baru. Jadi, kalau tidak siap destinasinya, maka dikhawatikan menimbulkan kemacetan, terjadinya penumpukan orang. Oleh karena itu, disampaikan kepada pihak destinasi untuk bersiap-siap. Dalam kondisi seperti ini bagaimana manajemen pengunjung diberlakukan," papar Rizki.
Bagi Rizki, revenge travel sebenarnya sudah terjadi di negara-negara maju, terutama di objek heritage. Mereka misalnya hanya menerima pengunjung sehari hanya 1000, mendaftar secara online.
Dari situ akan ketahuan, mereka bisa masuk pada jam berapa dan kalau hanya menerima 1000 pengunjung, maka lebih dari jumlah tersebut pihak pengelola tidak akan menerima lagi.
"Pengalaman tersebut sempat saya alami saat di Spanyol, kebetulan saat itu saya bukan yang mendaftar secara online. Beruntung saya bisa masuk, setelah menunggu selama dua jam. Kalau kalau saat itu hanya menerima pengunjung 500 dan saya berada pada 501, maka saya nggak bisa masuk," ucap Rizki.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tak Sekuat India dan Eropa
Dihubungi secara terpisah, pengamat pariwisata Nyoman Sukma Arida mengatakan revenge travel tidak akan sekuat dengan India atau Eropa. Karantina di Indonesia tidak seketat dengan mereka, seperti PSBB maupun PPKM.
"Orang masih bisa jalan-jalan di sekitar rumahnya dengan cara staycation. Jadi, revenge travel tidak akan sedahsyat dengan negara-negara lain," kata Arida kepada Liputan6.com, Sabtu, 29 Agustus 2021.
Meski demikian, lanjut Arida, keinginan berlibur atau berwisata dengan jarak yang cukup jauh, seperti ke luar negeri, banyak terdapat di Indonesia karena selama hampir dua tahun, banyak hambatan, baik di Indonesia maupun di negara destinasi.
"Ini yang akan lebih kentara terlihat, tapi untuk domestik, saya kira tidak terlalu dahsyat. Orang masih bisa ke Jawa, meski lebih ketat. Orang masih banyak yang takut terhadap pandemi," sambung Arida.
Dalam skala global, pengajar dari Universitas Udayana Bali ini mengungkapkan wisata balas dendam belum pernah terjadi sebelumnya. Pandemi seperti saat ini dalam sejarah terakhir terjadi saat adanya flu spanyol pada 1830.
"Setelah itu, entah pandemi karena penyakit atau krisis lainnya bersifat kawasan saja atau lokal, seperti per negara. Kalau yang berdampak secara global, baru kali ini. Ini (revenge travel) fenomena baru dan bisa kita amati bersama-sama, seperti apa model wisata balas dendam itu," ucap Arida.
Advertisement
Berkah bagi Pariwisata Indonesia
Pandangan senada disampaikan oleh Co-Founder Whatravel, Muhammad Arief Rahman. Bagi Arief, dampak revenge travel, tempat-tempat wisata mulai didatangi pengunjung, kebanyakan adalah wisata alam, karena berwisata di alam terbuka dikatakan dapat mengurangi risiko terpapar virus Corona dibandingkan dengan melakukan kegiatan bersama di ruangan tertutup dengan sirkulasi udara yang kurang baik.
"Dampak tersebut kami harapkan positif untuk pariwisata Indonesia, karena sebelum pandemi pun, traveling sudah bukan lagi menjadi gaya hidup, melainkan sudah menjadi kebutuhan. Ketika situasi mulai membaik di Indonesia, dalam artian kasus Covid makin lama makin turun, tingkat vaksinasi makin tinggi, yang mengakibatkan risiko terpapar virus mengecil, orang pasti ingin traveling lagi untuk menyelesaikan rencana yg tertunda atau batal selama satu setengah tahun ke belakang," papar Arief.
Selama ini, lnajut Arief, revenge travel belum pernah terjadi, paling hanya terjadi pada level individu atau keluarga. Namun, revenge travel yang terjadi pascapandemi ini bisa dibilang lebih global dan merata.
"Harapan kami, revenge traveling dapat menjadi berkah bagi dunia pariwisata, sepanjang dilakukan dengan bijaksana. Bijaksana di sini dapat diartikan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang berlaku, mengutamakan vaksinasi dan tes antigen sebelum bepergian, juga mendahulukan kesehatan dahulu dibanding kesenangan pribadi," katanya.
Dampak Revenge Travel, Kasus Positif Covid-19 Kembali Melonjak
Advertisement