Liputan6.com, Jakarta Jagad media sosial geger. Asbabun nuzul-nya adalah sebuah gerakan yang ingin mengubah penggunaan kata 'koruptor' dengan 'maling' atau 'garong uang rakyat'. Tidak ada asap jika tidak ada api kampanye penggunaan kata tersebut mengemuka. Bisa jadi publik akhir-akhir ini melihat perlakuan-perlakuan istimewa terhadap para perampok uang rakyat tersebut.
Terakhir, publik disuguhkan 12 tahun hukuman penjara bekas Menteri Sosial Juliari Batubara yang merampok dana bantuan sosial warga terdampak wabah Covid-19. Yang membuat kening berkerut manakala hakim memberikan hal meringankan pada Juliari karena dia mendapat caci maki masyarakat.
Advertisement
Keistimewaan koruptor?
Adalah Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana yang pada Maret 2021, memunculkan istilah 'penyintas korupsi'. Bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, penyintas berarti 'orang yang mampu bertahan hidup'. Belakangan KPK meralat dan tidak ingin memperpanjang polemik penggunaan kata itu untuk terpidana korupsi.
Tidak berhenti di situ, lembaga yang berada di bawah jenderal bintang tiga polisi Komjen Firli Bahuri itu juga mewacanakan terpidana korupsi agar bisa bisa menjadi penyuluh korupsi. Gagasan itu tak lain berasal dari Wawan Wardiana.
Kendati demikian, dalam konferensi pers capaian kinerja semester I KPK Bidang Pendidikan dan Kelembagaan pada 20 Agustus 2021 yang ditayangkan di Youtube KPK, Wawan menjelaskan, memang ada keinginan pihaknya agar para narapidana korupsi yang masa tahannya segera habis bisa memberikan testimoni kepada masyarakat akan bahayanya perbuatan rasuah tersebut.
"Ujung-ujungnya sebetulnya adalah kami berharap kepada mereka untuk bisa minimal memberikan testimoni yang akan kami jadikan pelajaran bagi penyelenggara negara atau masyarakat bahwa 'begini loh kalau orang sudah melakukan korupsi, menjalani kehidupan di penjara, dan lain-lain," kata Wawan saat itu.
Menurutnya ada sejumlah narapidana yang siap memberikan testimoninya baik di Lapas Sukamiskin Bandung dan Lapas Perempuan Tangerang. "Hanya karena pandemi ini yang empat orang dan tiga orang ini belum sempat dilakukan perekaman terhadap testimoninya," kata Wawan.
Secara singkat, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron membantah bahwa pihaknya akan mengganti istilah koruptor menjadi penyintas korupsi. Bahkan, saat ditanya apakah ada niatan untuk merekrut napi korupsi menjadi menjadi penyuluh antikorupsi, dia menegaskan itu informasi yang salah.
"Hoax, hoax itu," singkat dia kepada Liputan6.com, Senin (30/8/2021).
Nasi sudah jadi bubur, isu tersebut kembali bergulir dan menjadi buah bibir masyarakat. Kekhawatiran muncul yaitu pemberantasan korupsi hanya sekedar jargon, jauh dari unsur keadilan itu sendiri.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari memandang istilah pentintas korupsi sangat kooperatif bagi koruptor.
"Bukan malah dijadikan lawan tapi jadi sahabat. Padahal kita tahu penyitas artinya orang yang selamat dari masalah besar. Apakah maksudnya dengan penyintas itu apakah koruptor ini selamat dari bahaya korupsi, bukankah mereka itu adalah masalah utamanya," kata Feri kepada Liputan6.com, Senin (30/8/2021).
Dia memandang gaung mengubah diksi koruptor menjadi maling wajar untuk mengecam para pelaku korupsi. Tetapi tidak serta merta menghapuskan predikat tindakan rasuah adalah extra ordinary crime.
"Tidak juga karena itu peristilahan yang muncul di publik untuk mengecam pelaku korupsi. Sepanjang UU Tipikornya ada, ya pencuri uang rakyat akan selalu disebut koruptor," jelas Feri.
Dia juga mengungkapkan, perubahan diksi ini tidak juga membuat efek jera bagi para pelaku korupsi.
"Yang buat efek jera itu jenis hukuman. Itu cuma efek malu di masyarakat. Sementara koruptor sudah tidak punya rasa mau dari awal," ungkap Feri.
Karenanya, istilah diksi soal koruptor jadi maling adalah hal yang baik saja. "Mesti ditambah. Ya garong uang rakyat, pecuri uang APBN, dan lainnya," kata Feri.
Simbol Perlawanan
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman mengatakan perubahan diksi tersebut adalah salah satu bentuk perlawanan masyarakat dari sisi bahasa atau sebuah istilah.
"Kenapa? Karena masyarakat melihat bahwa pelaku tindak pidana korupsi atau yang biasa disebut koruptor itu mendapatakan banyak privilege atau keistimewaan dibandingkan dengan tindak pidana yang lain," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (30/8/2021).
Dia mencontohkan adalah masih bisanya para pelaku korupsi melempar senyum kepada awak media padahal dia mencuri uang rakyat. Lalu mendapatkan remisi, bahkan banyak perbedaan dengan tindak pidana lainnya.
"Ini ada perlawanan dalam sisi bahasa untuk memperlugas bahasa yang digunakan koruptor jadi maling atau garong. Tentu itu menaikan awareness masyarakat bahwa pelaku tindak pidana korupsi itu pada prinsipnya mengambil hak milik orang lain, mereka tidak selayaknya mendapatkan privilege," jelas Zaenur.
Menurutnya, kampanye seperti ini harus didukung oleh KPK meskipun istilah tersebut di luar hukum, semuanya bisa dilakukan dalam rangka pendidikan ke masyarakat. Dan lembaga antirasuah bisa mengambil peran tersebut.
Zaenur menjelaskan, perubahan diksi tersebut sebenarnya menggambarkan bahwa koruptor adalah seorang pencuri dan perampok hak masyarakat.
"Tentu itu akan menguntungkan KPK mendukung upaya pemberantasan korupsi oleh KPK untuk semakin mengingatkan kepada masyarakat bahwa koruptor mereka yang telah mencuri uang rakyat sehingga mereka tidak layak, tidak tepat mendapatkan berbagai keistimewaan," kata dia.
Meski tak membuat efek jera secara langsung, dia memandang hal tersebut membuat para koruptor merasa tidak nyaman dengan sebutan tersebut.
"Itu artinya bisa membuat calon pelaku berpikir ulang melakukan seperti itu. Jadi menurut saya akan meningkatan dataran efek," kata Zaenur.
Advertisement
Cara Lembek Sudah Tak Dianggap
Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, untuk mengubah perilaku jahat serta menyengsarakan rakyat kecil akibat perilaku korupsi, memang harus mempelajari berbagai ilmu.
Sehingga perubahan diksi dari koruptor menjadi maling, bisa jadi untuk mengingatkan orang terhadap perilaku rasuah.
"Kalau sudah dipakai teori yang sangat simpel untuk mengingatkan seseorang supaya tidak korup, supaya berubah, supaya orang menyadari, sehingga digunakan istilah yang paling rendah sampai paling kasar. Kita tinggal memilih apakah itu memang menjadi efektif untuk mengingatkan orang. Dalam beberapa kesempatan itu bisa dinilai efektif karena cara yang lembek sudah enggak dianggap," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (30/8/2021).
Meski demikian, dia mengingatkan, jangan sampai perubahan koruptor menjadi maling atau garong tersebut justru membuat orang lupa akan perilaku korupsi.
"Saya khawatir nanti lama-lama berubah juga kalau kita tidak pakai kata koruptor. Umpanya pakai kata maling, garong, pencuri nanti jadi bisa berubah lama-lama istilah koruptor tidak ada. Itu yang perlu diwaspadai," ungkap Saut.
Sehingga dia mengingatkan bahwa perilaku korupsi tersebut adalah kejahatan extra ordinary crime. Meski demikian, jika itu dinilai bisa efektif, bisa saja diterapkan dengan menambah diksi.
"Kita bisa melakukan penelitian apakah bisa lebih jera dengan istilah maling, pencuri, begal harta negara? Ya dalam bahasa lainnya bisa saja suatu saat masuk ke dalam KBBI. Kalau begal kekuasaan maling uang negara. Semua teman media sepakat tetapi untuk menggunakna satu kata sinonim pencuri uang negara atau perampok uang negara sama dengan koruptor. Itu lebih relevan jadi disebutkan yang dicuri apa," kata Saut.
Dia juga memberikan inspirasi bahwa masyarakat menunjukkan lelah dengan perilaku korupsi terlebih di tengah pandemi Covid-19.
"Sehingga orang harus mencari istilah baru, sebutan baru, penamaan baru yang membuat mereka lebih malu. Ya memang susah enggak ada malu juga, kadang sudah terbukti, minta maaf saja enggak mau, jadi capek juga kita," kata Saut.
Dia menyadari, bahwa ini salah satu cara untuk membuat pelaku korupsi jera. "Tapi apa yakin akan mengubah perilaku pejabat atau politisi? Belum tentu. Jadi jalan yang terbaik ialah memenjarakan mereka sebanyak mungkin dan sekeras mungkin, tidak hanya kontemporer," jelas Saut.
Lebih Luas
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta mengatakan, bisa saja menggunakan istilah maling atau garong, namun perlu disadari bahwa tindak pidana korupsi lebih luas.
"Karena korupsi dalam UU Tipikor melingkupi tindakan mencuri, menyalahgunakan wewenang, menggunakan kesempatan yang ada dengan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya dan sejenisnya. Jadi istilah koruptor dalam UU Tipikor mencakup kekuasaan. Sementara maling, garong atau pencuri konteksnya pidana dalam KUHP. Jadi silahkan pakai istilah garong dan lainnya tapi tetap harus konsisten pada peningkatan kualitas pelaksanaan UU Tipikor yang sudah ada," kata dia, Senin (30/8/2021).
Menurutnya, perubahan terminologi belum tentu berpengaruh signifikan terhadap pelaku. Dan analisis yang ada, sudah menjukkan bahwa efek jera bisa terjadi kalau pekaku dihukum berat.
"Baik dengan lama hukuman penjara, pemiskinan, dengan perampasan aset hasil korupsi, pencabutan hak politik tertentu, mengetatkan pemberian remisi dan lainnya. Tidak bisa aada efek jera bilamana hanya dengan perubahan terminologi koruptor jadi maling atau garong," kata Sudirta.
Senada, politikus NasDem Hillary Brigitta Lasut menegaskan, menyamakan definisi korupsi dapat berpotensi menyamakan aksi tindak pidana korupsi dengan tindakan pencurian.
"Yang malah menurut saya akan menurunkan esensi nilai keseriusan dan kefatalan dari perbuatan korupsi itu sendiri. Korupsi berbeda dengan pencurian. Korupsi berbicara soal menyebabkan kerugian negara dan merugikan masyarakat banyak, dan paling sering karena adanya jabatan yang diemban dibawah sumpah dan kepercayaan yang diberikan oleh negara," kata dia.
Hillary juga memandang, ini bisa membuat kebinggungan dalam penerapan hukumnya. "Kalau kita menyamakannya, akan membuat kebingungan dan cela hukum serius dalam penerapan aturannya," jelas dia.
Menurutnya, jika kita mengkategorikan koruptor dengan maling, justru ini merugikan masyarakat sebenarnya. Bayangkan, hukuman 12 tahun penjara bagi korupsi masih dianggap ringan, jika disamakan pencuri maka bisa dibawah 4 tahun penjara.
"Sehingga menurut saya, dibandingkan dengan resiko jangka panjangnya, keuntungan yang diberikan tidak sepadan, karena tidak memperberat atau mempertegas tapi malah memperingan dan mengaburkan esensi tipikor," kata Hillary.
Korupsi, lanjut dia, hanya dapat ditekan dengan perbaikan sistem dan penegakan aturan. Kalau ancaman pidana 20 tahun tidak menghilangkan korupsi atau membuat efek jera, kecil kemungkinan orang akan berhenti korupsi atau takut korupsi hanya karena takut dipanggil pencuri atau maling.
"Buat saya tidak masuk akal, tapi ini bukan berarti masyarakt tidak bebas berpendapat dan memberikan sanksi sosial. Kalau untuk dijadikan opini publik sebagai sanksi sosial buat saya sah saja," kata Hillary.
Advertisement