, Tolean - Para arkeolog dari Indonesia, Australia, dan Jerman telah berhasil menganalisis DNA fosil yang ditemukan tahun 2015 di Leang Panning (Gua Kelelawar) di daerah Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Fosil ini diberi nama Besse, yaitu panggilan untuk anak perempuan dalam Bahasa Bugis-Makassar.
Advertisement
Fosil perempuan remaja yang hidup 7.200 tahun silam di Sulawesi kini diketahui memiliki hubungan DNA dengan penduduk asli Australia dan Papua yang ada saat ini.
Mengutip ABC Australia, Selasa (31/8/2021), disebutkan bahwa Profesor Adam Brumm dari Griffith University Australia yang memimpin penelitian di gua-gua yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, menjelaskan Besse merupakan orang Toalean yang hidup antara 8.000 hingga 1.500 tahun lalu.
"Orang Toalean merupakan manusia pemburu-pengumpul awal yang hidup di hutan-hutan Sulawesi Selatan, berburu babi dan mengumpulkan kerang dari sungai-sungai," kata Prof. Adam.
"Rekan peneliti dari Indonesia berhasil menemukan fosil ini saat melakukan penggalian pada tahun 2015, dan kami menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk bisa melakukan analisis DNA," jelasnya dalam wawancara dengan program Radio National ABC.
Tim yang dipimpin Prof. Adam kemudian melakukan penggalian ulang di gua Leang Panning pada tahun 2019, guna memastikan konteks penguburan Besse. Melalui proses pengukuran radio karbon, tim ini memastikan Besse berasal dari periode 7.300 hingga 7.200 tahun silam.
Ia menjelaskan, uji DNA terhadap tulang telinga bagian dalam fosil ini dilakukan setelah mereka berhasil merekonstruksi hanya sekitar 2 persen dari seluruh genom fosil Besse.
"Di seluruh kawasan kita, hanya ada dua contoh DNA manusia purba yang pernah ditemukan di dataran Asia Tenggara, yaitu di Laos dan Malaysia dengan usia sekitar 8.000 tahun, mirip dengan temuan ini," jelas Prof. Adam.
Hasil Analisis DNA
Dari analisis DNA ditemukan bahwa Besse memiliki hubungan dengan penduduk asli Australia dan orang Melanesia yang ada saat ini.
"Nenek moyang Besse, serta nenek moyang orang Aborigin dan orang Melanesia berasal dari satu populasi yang sama yang datang ke kawasan ini sekitar 50.000 hingga 65.000 tahun silam," jelas Prof. Adam.
Temuan DNA Besse yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature, adalah yang pertama di kawasan Wallacea, yaitu pulau-pulau antara Kalimantan dan Papua yang menjadi gerbang ke Benua Australia.
Besse dimakamkan dalam posisi meringkuk dan sebagian tertutup oleh batu. Perkakas dari batu dan oker merah (batu kaya zat besi yang digunakan untuk membuat pigmen) ditemukan di kuburannya, bersama dengan tulang belulang binatang.
Para arkeolog dari Universitas Hasanuddin yang menemukan fosil ini menamainya Besse, mengikuti kebiasaan dalam etnis Bugis-Makassar yang memberikan julukan Besse untuk anak perempuan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Artefak orang Toalean hanya ditemukan di sekitar 6 persen wilayah Sulawesi sehingga ini, menurut Adhi Agus Oktaviana, salah satu peneliti, menunjukkan mereka memiliki kontak yang sangat terbatas dengan budaya manusia purba lainnya.
“Kebudayaan purba ini memiliki kontak terbatas dengan komunitas awal Sulawesi lainnya atau pulau-pulau terdekat, dan selama ribuan tahun terisolasi,” kata Adhi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Indonesia.
Para arkeolog telah lama memperdebatkan asal-usul orang Toalean. Namun, analisis DNA Besse telah mengkonfirmasi bahwa orang Toalean terkait dengan manusia modern pertama yang memasuki kawasan Wallacea sekitar 65.000 tahun yang lalu, yaitu nenek moyang orang Aborigin Australia dan orang Melanesia.
"Para pemburu-pengumpul pelaut ini adalah penghuni paling awal di Benua Sahul, benua super yang muncul selama Pleistosen (Zaman Es) ketika permukaan laut turun, dan menyingkap jalur darat antara Australia dan Papua," kata Prof. Adam.
“Untuk mencapai Sahul, kelompok manusia perintis ini melakukan penyeberangan laut melalui Wallacea, namun sampai sekarang masih sedikit yang diketahui tentang perjalanan mereka,” jelasnya.
Menurut keterangan pers dari Griffith University, analisis genomik terhadap DNA Besse dilakukan oleh Selina Carlhoff dari Max Planck Institute for the Science of Human History di Jena, Jerman, di bawah pengawasan Profesor Cosimo Posth (University of Tübingen) dan Profesor Johannes Krause (Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig).
Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar setengah dari DNA Besse sama dengan DNA penduduk asli Australia saat ini dan DNA orang Melanesia. Ini mencakup DNA yang diwarisi dari manusia Denisovan yang sekarang sudah punah, sepupu jauh manusia Neanderthal yang fosilnya hanya ditemukan di Siberia dan Tibet.
"Faktanya, proporsi DNA Denisovan pada Besse terhadap kelompok manusia purba serta manusia masa kini lainnya di wilayah tersebut menunjukkan titik pertemuan penting antara spesies kita dan Denisovan berada di Sulawesi dan wilayah Wallacea lainnya," jelas Prof. Cosimo Posth.
Penelitian ini juga dapat menunjukkan bahwa nenek moyang Besse adalah salah satu manusia modern pertama yang mencapai wilayah Wallacea, tapi bukannya berpindah ke Sahul, mereka memilih tinggal di Sulawesi.
Kepada Radio National ABC, Prof Adam Brumm mengatakan bahwa Besse hidup ribuan tahun setelah lukisan-lukisan di gua-gua di wilayah itu dibuat oleh manusia purba.
"Namun saya memperkirakan Besse merupakan keturunan dari para pelukis luar biasa itu," jelasnya.
Profesor Akin Duli dari Univeristas Hasanuddin yang turut menulis laporan penelitian menjelaskan, identitas nenek moyang awal Toalean tidak akan banyak diketahui kecuali menemukan lebih banyak sampel DNA manusia purba lainnya di wilayah itu.
Para peneliti tidak menemukan jejak nenek moyang orang Sulawesi saat ini dalam DNA Besse. Hal itu tampaknya disebabkan karena umumnya penduduk Bugis Makassar sekarang berasal dari ras Austronesia yang tiba di wilayah tersebut dari Taiwan sekitar 3.500 tahun silam.
Penelitian ini mencatat bahwa pengambilan sampel genom yang lebih luas dari beragam populasi orang Sulawesi dapat mengungkapkan bukti warisan genetik orang Toalean.
"Penemuan DNA Besse dan implikasi dari keturunan genetiknya menunjukkan betapa sedikitnya pemahaman kita tentang manusia purba di wilayah ini,” papar Profesor Adam Brumm.
Penelitian di Leang Panning merupakan kerjasama antara Griffith University Australia dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Indonesia, melibatkan adalah mahasiswa PhD Griffith University Basran Burhan, Adhi Agus Oktaviana, David McGahan, Yinika Perston, dan Kim Newman.