Liputan6.com, Jambi - Alunan gemuruh air mengiringi langkah kaki ketika mulai menjejak ke kawasan Geopark Merangin di Desa Air Batu, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Jambi. Debit air Sungai Merangin itu mengalir deras dan menghantam bebatuan besar yang banyak menyembul dari dasar sungai.
Ketika sampai di lokasi titik pertama, mata Akmal tertuju pada tebing di seberang sungai. Akmal, warga Desa Air Batu yang menjadi pemandu dadakan membawa saya ke lokasi inti geopark melalui jalur tracking.
Advertisement
Akmal menunjuk pada sebuah tebing di seberang sungai. Yang ditunjuk Akmal adalah lapisan batu yang menyimpan fosil berumur ratusan juta tahun silam. Fosil itu adalah pohon purba, dalam bahasa ilmiiahnya disebut Araucarioxylon.
Namun, debit sungai yang sedang naik menutup seluruh batang fosil dan struktur akarnya. Dan juga tak semua fosil dedauan jenis Cardaites di lokasi itu dapat tertengok karena terendam.
Akmal mengatakan fosil pohon Araucarioxylon itu memiliki panjang 2,4 meter dan berdiameter 1,6 meter. Pangkal batangnya terangkat dan tegakannya terlihat miring. Sedangkarnya akar-akarnya yang sudah menjadi fosil menjulur terputus-putus dengan panjang sekitar tujuh meter.
“Warga desa sini menyebutnya itu batu tuo (batu tua),” kata Akmal awal April lalu.
Desa Air Batu adalah desa inti geopark. Di kawasan itu, fosil-fosil tumbuhan, kerang, dan bebatuan purba mudah ditemukan di banyak titik dan menyebar di Sungai Merangin.
Melewati perkebunan warga, Akmal lalu membawa saya ke Sungai Teluh. Sungai itu airnya jernih mengalir ke sungai Merangin. Di aliran Sungai Teluh yang terlapisi batu itu ditemukan fosil hewan laut kerang yang tercetak membatu di batu endapan lava dan abu vulkanik gunung purba.
Kerang itu dari kerabat moluska atau hewan bercangkang. Menurut Akmal, kawasan ini dulunya diperkirakan laut dangkal. Hasil pendataan yang dilakukan Akmal dan komunitasnya, di kawasan itu ditemukan ratusan fosil batu kerang.
Tak hanya fosil kerang, di kawasan itu juga ditemukan daun pakis yang sudah menjadi fosil. Fosil daun pakis itu ditemukan tak jauh dari air tejun Muara Karing. Terkadang saat air sedang tinggi, fosil tersebut terendam.
Akmal mengatakan, ada dua pilihan menyusuri kawasan Geopark Merangin, Jambi. Bisa menggunakan rafting (arung jeram ) atau memilih jalur tracking. Rafting di Geopark Merangin sudah dikenal di kancah nasional. dan menjadi andalan wisatawan minat khusus yang hobi menantang adrenalin.
Alamnya di sana juga menawarkan eksotisme. Menyusuri aliran Sungai Merangin di Desa Air Batu memang begitu eksotis. Di tambah kicauan burung dan gemuruh aliran air deras saling berirama damai.
Di balik alirannya yang deras, di kawasan Geopark Merangin, Jambi itu menyimpan ilmu pengetahuan tentang evolusi bumi ratusan juta tahun yang lalu.
Simak video pilihan berikut ini:
Keunikan Geopark Merangin
Geopark Merangin juga dikenal dengan nama Fosil Flora Merangin, yang mulanya dikenalkan oleh peneliti bernama Tobler pada 1922 dan disebutnya sebagai Porfietuff. Beberapa tahun kemudian setelah penemuan itu, dua naturalis Barat Jongmans dan Gothan mengenalkannya sebagai Jambi Flora pada 1935.
Fosil berumur Jura atau 300 juta tahun yang lalu (tyl) itu tersingkap sangat baik di sepanjang Sungai Merangin di dalam Formasi Mengkarang. Kehadiran fosil Flora Jambi menunjukkan bahwa Formasi Mengkarang adalah endapan dataran aluvium yang sangat mempengaruhi aktivitas gunung api saat itu.
"Dari stratigafinya, batuan yang paling tua disebut Formasi Mengkarang dan kemudian ditindih selaras dengan Formasi Teluk Wang. Umurnya pada Permian awal, kemudian diterobos Granit Tantan pada umur Trias Akhir hingga Jura Awal,” kata Dr Mohamad Sapari Dwi Hadian, Geolog dari Universitas Padjajaran Bandung.
Sapari yang juga pengajar di Fakultas Teknik Geologi UNPAD itu telah lama meneliti Geopark Merangin bersama Profesor Fauzi Hasibuan, ahli geologi kesohor. Sapari mengaku takjub melihat fenomena geologi di Merangin yang tak ditemukan di belahan dunia manapun.
Geopark Merangin kata Sapari, mempunyai keunikan tersendiri. Jambi Flora atau Geopark Merangin menyambung hingga ke Blok China. Fosilisasi Geopark Merangin memakan waktu yang sangat panjang. Sebagai perbandingan fosil flora di Cina Utara, berdasarkan kesimpulan para ahli, bahkan sedikit lebih muda dari pada Jambi Flora.
Selain itu, yang unik lagi di Geopark Merangin, kata dia, ditemukan fosil botani berupa pohon Araucarioxylon. Fosil tersebut diperkirakan berumur Permian Awal. Dia mengatakan ada tiga lokasi di dunia yang ditemukan pohon purba sejenis. Dibandingkan dengan keduanya itu kata Sapari, yang paling tua di Merangin.
Pohon Araucarioxylon berada di endapan laut dangkal. Tak jauh dari keberadan fosil Araucarioxylon itu merupakan kawasan endapan danau yang memiliki kandungan karbon.
Fosil pohon Araucarioxylon tercetak di bebatuan gunung api yang berisipan dengan laut dangkal. Geopark Merangin disebut Sapari, beberapa kali mengalami erupsi gunung api.
"Sistematika pengedapan paleoforest, di situ salah satu pulau muncul ada gunung api dan kemudian berada di sekitar laut dangkal, sehingga pohon fosil diakibatkan dari endapan letusan dari gunung api purba dan terawetkan," kata Sapari kepada Liputan6.com lewat sambungan telepon.
Fosil-fosil yang banyak ditemukan di Geopark Merangin tersebut, merupakan sisa peninggalan periode Parem Awal-Jura Akhir (299-250 juta tahun lalu). Parem kata Sapari, adalah periodesasi bumi di masa Paleozoikum.
Parem akhir menuju peralian dikenal dengan Permian. Periode Permian, yakni antara 290 juta tahun yang lalu dikenal sebagai periode kepunahan.
Umur bumi diperkirakan 4,6 miliar tahun. Menukil dari Ensiklopedia Zaman Prasejarah, periode geologi pembentukan bumi dalam lima periode masa: Arkeozikum (4,5-2,5 miliyar tahun), Proterozoikum (2,5 miliyar-550 juta tahun), Paleozoikum (590-250 juta tahun), Mesozoikum (250-65 juta tahun), Kenozoikum (65 juta tahun-sekarang).
Di Geopark Merangin, Sapari menjelaskan, ada tiga formasi geologi. Yang pertama disebut Formasi Mengkarang. Pada formasi ini terdapat sisipan batu gamping dan endapan batu bara. Hal ini merupakan transisi laut dangkal dengan daratan.
Kemudian di Formasi Teluk Wang dapat ditemui beberapa jenis batuan berpasir ter-metaforkan (kuarsit), granit, konfigurasi aliran, lavakuno, breksi, konglomerat dan batu lempung hitam. Selain itu, ada pula Formasi Palepat. Formasi ini kata Sapari, tersusun dari lava andesit.
"Data ini saya temukan dari bukunya Tobler tahun 1935," ujar Sapari.
Advertisement
Ladang Riset Mempelajari Evolusi Bumi
Keberadaan Geopark Merangin menurut Sapari, adalah kekayaan alam yang patut dilestarikan. Selain sebagai destinasi wisata unggulan, Geopark Merangin menjadi ladang riset untuk mempelajari evolusi bumi.
Geopark Merangin bisa dikatakan sebagai "kampus bumi". Menyusuri Sungai Merangin, dari Desa Air Batu ke hilir sampai ke Teluk Wang, kita bisa mempelajari sejarah pembentukan geologi dari periode Permian sampai ke umur yang paling muda 2 juta tahun.
"Di sana kita bisa mempelajari singkat umur batuan, dengan menyusuri jarak 5 kilo di Geopark Merangin kita bisa mempelajari proses pembentukan geologi," kata Sapari.
Selain mengundang wisatawan, Geopark Merangin telah banyak mengundang ahli dan peneliti untuk riset. Pada Desember 2015, peneliti UNESCO yang dipimpin salah satu petinggi GGN, Guy Martini turun langsung untuk melihat salah satu taman bumi terindah di Indonesia dan disebut tertua di Asia, yakni Geopark Merangin.
Dalam kesempatan itu, Guy Martini yang sudah puluhan tahun meneliti berbagai taman bumi di dunia mengakui dan mengagumi bahwa Geopark Merangin lebih dari sekadar taman bumi.
"Geopark Merangin juga sebagai tempat migrasi peradaban manusia," ujar Guy Martini di Merangin, Rabu 16 Desember 2015 lalu usai berkunjung ke Geopark Merangin.
Geopark Merangin resmi menjadi anggota geopark nasional pada 25 September 2013 bersama lima kawasan lain, yaitu Danau Toba (Sumatra Utara), Gunung Rinjani (Nusa Tenggara Barat), Raja Ampat (Papua), Kawasan Kars Sewu (Jawa Tengah) dan Green Canyon (Jawa Barat).
Namun sejak masuk jajaran geopark nasional, taman bumi Geopark Merangin tercatat sudah dua kali gagal menjadi anggota UNESCO Geopark Global (UGG). Keberadaan tambang emas ilegal di Kecamatan Renah Pembarap, ditengarai menjadi penggajal penetepan UGG ini.
Geopark Merangin menurut Mohamad Sapari Dwi Hadian, dari sisi geologi, biodiversity, dan culture sudah memadai menjadi anggota jaringan geopark dunia atau UGG. Namun, yang perlu ditata kembali adalah sistematika organisasi perlu dilakukan penataan ulang.
"Bisa difokuskan untuk luas kajian UGG-nya," kata Sapari.
Kemudian yang lebih penting lagi, Sapari menambahkan, dari segi pembedayaan masyarakat perlu ditata dan difokuskan. Intinya kata Sapari, keberadaan Geopark Merangin, harus bisa menyejahterakan penduduk lokal dan melestarikan bumi.
"Tentu masyarakat harus bisa disejahterakan dengan kekayaan alam yang kita punya," ujarnya.
Terangkai dengan Hutan Adat Guguk
Di sela menjelaskan fosil purba itu, Akmal menjelaskan soal penamaan tanah kelahirannya itu. Penamaan Desa Air Batu, kata dia, bukan datang begitu saja. Namanya berawal dari banyaknya bebatuan besar yang teronggok di Sungai Merangin yang melewati desa ini.
Itulah disebut Desa Air Batu. Desa yang berjarak 35 kilometer dari pusat Kota Bangko Merangin itu dapat ditempuh 30 menit perjalanan darat.
Desa Air Batu ini merupakan tetangga Desa Guguk, sebuah desa yang memiliki hutan adat. Hutan hujan seluas 690 hektare yang dibentengi aturan adat itu relatif masih terjaga.
"Ini adalah potensi, betapa kayanya negeri kita ini," ujar Akmal yang juga pemandu arung jeram di desanya itu.
Apa yang digemborkan Akmal memang nyata. Provinsi Jambi, sebuah provinsi di Sumatera--yang berjuluk "sepucuk Jambi sembilan lurah" itu memang punya segudang kekayaan alam, peninggalan geologi, hingga peninggalan perdaban budaya.
Untuk geologinya, kawasan Geopark Merangin sendiri memiliki luas 20.360 kilometer persegi yang terbagi ke dalam 4 geoarea, yakni Paleobotani Park Merangin, Highland Park Kerinci, Geo-cutural Park Sarolangun, dan Gondwana Park Pegunungan Tigapuluh.
Khusus di kawasan Paleobotani Park Merangin, memiliki luas kawasan 1.551 kilometer persegi. Majalah Geomagz yang terbitan Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam menyebutkan, kawasan Paleobotani Park Merangin ini terbagi ke dalam dua zona konservasi, yakni Geo-conservation dan Bio-conservation.
Geo-conservation menemati dua blok, yaitu kawasan Jambi Flora yang berada di Desa Air Batu hingga Desa Biuku Tanjung dan kawasan Karst Sengayau di Sungai Penuh.
Sedangkan Bio-conservation menempati hutan lindung dan Hutan Adat Guguk. Hutan Adat Guguk di Desa Guguk terangkai dengan Paleobotani Park Merangin. Hutan Adat Guguk yang dikelola masyarakat hukum adat (MHA) Guguk itu memberi warna tersendiri karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
Hasil survei yang dilakukan kelompok pengelola hutan adat yang dibantu KKI Warsi, di hutan ini terdapat 84 jenis kayu, di antaranya kayu jenis kelas tinggi seperti pohon balam (Shorea spp), meranti (Shorea spp), kelapa tupai dan tembesi (Diospyros spp), mersawa (Anispotera spp).
Selain itu hutan ini juga menjadi rumah bagi harimau sumatera, dan 22 jenis mamalia seperti kijang muncak, tapir sumatera (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malaynus), kijang muncak, landak raya, kucing batu, dan satwa primata seperti beruk dan simpai.
Kemudian merupakan habitat primata siamang. Dan juga habitat bagi 89 jenis burung dengan di antaranya 37 jenis burung dilindungi seperti Rangkong Gading (Baceros vigil), Kuau Raja (Arguasianus argus).
Komiji, Staf Dinas Pariwisata Kabupaten Merangin mengatakan, daerah Merangin memiliki destinasi wisata yang cukup komplit. Mulai dari rafting di geopark, juga ada wisata traking di hutan adat dengan mengamati keragaman hayatinya.
"Hutan Adat Guguk yang merupakan warisan leluhur dan terangkai dengan geopark telah mengangkat nama Merangin dalam segi wisata, kata Komiji.
Bicara kekayaan geologi yang memberi pengetahuan tentang evolusi bumi, ditambah keragaman hayati hutan adat membuat kita kagum. Keduanya mengajarkan bagaimana kita bijak mengelola hutan dan menjaga ibu bumi.
(Selesai)
Ini adalah bagian terakhir dari seri tulisan tentang Hutan Adat Guguk: Harapan untuk masa depan hutan hujan Sumatera yang tersisa. Simak laporan pendahulunya:
“Adat Terpatri, Hutan Lestari (Bagian ke-1)”
“Tak Serakah Mengambil Manfaat di Hutan Ulayat (Bagian ke-2)”
“PETI di Hutan Adat Kami (Bagian ke-3)"
*Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund, Pulitzer Center
Advertisement