Liputan6.com, Jakarta Wacana mengenai rencana amandemen UUD 1945 kembali muncul. Berbagai respon pun sontak bermunculan dari sejumlah tokoh negeri.
Ada pun wacana tentang rencana amandemen UUD 1945 ini pertama kali muncul saat Ketua MPR Bambang Soesatyo menyinggungnya dalam pidato di Sidang Tahunan MPR 2021.
Advertisement
Bamsoet menyebut, amandemen konstitusi akan terbatas dan hanya fokus pada pokok-pokok haluan negara (PPHN), tidak akan melebar pada perubahan pasal lain.
"Perubahan terbatas tidak memungkinkan untuk membuka kotak pandora, eksesif terhadap perubahan pasal-pasal lainnya," ungkapnya saat di Kompleks Parlemen Senayan, Senin 16 Agustus 2021.
Selain itu, Bamsoet mengatakan PPHN diperlukan untuk memastikan potret wajah Indonesia 50-100 tahun mendatang.
"50-100 tahun yang akan datang, yang penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi," ungkap Bamsoet di Kompleks Parlemen Senayan, Senin, 16 Agustus 2021.
Dia pun mengatakan bahwaa PPHN akan payung ideologi dan konstitusional dalam penyusnan SPPN, RPJP, dan RPJM yang lebih bersifat teknokratis.
Hal tersebut belakangan memunculkan respons dari Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu. Menurutnya, wacana tersebut hanya akan menjadi kemunduran bagi demokrasi Indonesia.
"Justru membuat demokrasi kita semakin terpuruk," ungkap Syaikhu, Minggu, 29 Agustus 2021.
Berikut deretan respons tokoh negeri terkait rencana amandemen UUD 1945 dihimpun Liputan6.com:
1. PKS Menolak Amandemen UUD 1945
Presiden PKS, Ahmad Syaikhu mengatakan tidak ada urgensi melakukan amandemen UUD 1945 pada saat ini. PKS memastikan menolak apabila ada rencana amandemen untuk mengubah aturan lain seperti masa jabatan Syaiku.
Syaikhu menilai rencana amandemen UUD 1945 ibarat membuka kotak pandora atau membuka kesempatan untuk mengamandemen aturan selain Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
“Ketika dibuka suatu klausul untuk diamandemen, maka terbuka kotak pandora untuk melakukan amandemen hal-hal yang lain, tentu ini harus menjadi kesepakatan bersama terlebih dahulu, saya berharap jika tidak terlalu urgent, tidak perlu melakukan amandemen,” ungkap Syaikhu dalam keterangannya, Minggu, 29 Agustus 2021.
Selain itu, harus ada kesepakatan bersama jika mau melakukan amandemen 1945. Apalagi terkait dengan rencana penambahan masa jabatan presiden.
"Terkait dengan wacana perubahan ini harus dengan kesepakatan bersama, jangan sampai kemudian yang tadinya hanya membahas pokok-pokok haluan negara, kemudian merembet ke pasal lain misalkan menambah masa jabatan presiden menjadi tuga periode," ujar Syaikhu.
Advertisement
2. Muhammadiyah: Jangan Hanya untuk Kepentingan Pragmatis
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan dengan adanya rencana amandemen UUD 1945 ini jangan hanya untuk kepentingan pragmatis jangka pendek.
Haedar juga mengatakan harus memikirkan Pancasila dan UUD 1945 yang sudah ditetapkan oleh pendiri negeri selama 76 tahun.
“Jangan sampai di balik gagasan amandemen ini menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang bangun dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun yang silam," ungkap Haedar dalam pidato Kebangsaan bertajuk ‘#IndonesiaJalanTengah, IndonesiaMilikSemua’ yang diselenggarakan secara daring, Senin, 30 Agustus 2021 dikutip dari merdeka.com.
Haedar menegaskan, Indonesia tidak hanya raga dan fisik tapi juga bernyawa.
“Indonesia yang bukan sekadar raga-fisik, tetapi menurut Mr. Soepomo, Indonesia yang “bernyawa”. Itulah Indonesia Jalan Tengah dan Indonesia milik Bersama," jelasnya.
3. Ketua MPR: Tidak Melakukan Amandemen di saat Pandemi
Sementara itu, Wakil ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid mengatakan di masa pandemi ini yang menjadi fokus utama adalah gotong-royong untuk mengatasi Covid-19 bukan melakukan amandemen.
"Saat pandemi, bukan saat yang ideal untuk melakukan amandemen. Lebih baik energi bangsa difokuskan untuk gotong royong mengatasi Covid-19. Ini juga penting dijadikan pijakan oleh setiap anggota MPR yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan usulan perubahan konstitusi," ujar HNW.
Selain itu, HNW mengatakan MPR harus memastikan bahwa ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang menjamin demokrasi dan menjadi cita-cita reformasi. Seperti pembatasan masa jabatan presiden dan pelaksanaan pemili yang reguler selama 5 tahun, tidak diutak-atik dengan alasan pandemi.
“Pelaksanaan ketentuan-ketentuan itu sangat krusial untuk menjamin bahwa Indonesia adalah negara hukum dan menjalankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), yang tidak mengkhianati cita-cita reformasi. Jangan sampai ada upaya untuk mengkebiri hal-hal tersebut, baik dalam pelaksanaannya maupun melalui akal-akalan proses amandemen,” ungkap HNW dalam keterangannya, Selasa, 31 Agustus.
Advertisement
4. PAN: Sulit Terjadi Jika Terlalu Banyak Isu yang Dibahas
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan mengatakan amandemen UUD 1945 akan sulit terwujud bila terlalu banyak isu yang akan dibahas. Menurutnya amandemen terbatas bisa dilakukan jika hanya satu isu haluan negara yang dibahas.
"Karena pada masa itu bisa amandemen kalau isunya Cuma satu yaitu PPHN," ujar Zulhas, dikutip merdeka.com.
Dalam amandemen UUD 1945 perlu persetujuan 3/4 anggota MPR agar dapat dilakukan. Menurut Ketua MPR, partai akan sulit setuju untuk menyepakati perubahan besar.
"Jadi kalau perubahan besar teman-teman partai lain enggak akan setuju, dan ingat itu kan 3/4 , harus partai besar ikut," ujar Zulhas.
"3/4 loh nanti rapat MPR kemudian ada kelompok-kelompok, saya kira tidak mudah kalau isunya banyak," imbuhnya.
5. PKS: Wacana Amandemen UUD 1945 Jadi Berbahaya
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyatakan, amandemen UUD 1945 bukanlah suatu hal yang terlarang. Namun, saat wacana presiden tiga periode tengah berkembang seperti saat ini, sehingga melakukan amandemen maka justru berbahaya.
Hal ini menanggapi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkilfi Hasan yang melontarkan pernyataan amandemen UUD 1945 sudah berusia 23 tahun dan perlu dievaluasi. PAN juga telah menyatakan sikap bergabung dengan parpol koalisi pendukung Presiden Jokowi.
"(Amandemen) tidak dilarang, tapi dalam kondisi isu tiga periode sudah berkembang, plus perimbangan koalisi dan oposisi yang jomplang, ide amandemen berbahaya," ujar Mardani pada wartawan, Rabu (1/9/2021).
Tak hanya masalah isu tiga periode dan jomplangnya jumlah koalisi dan oposisi, situasi pandemi juga tidak memungkinkan pembahasan amandemen secara optimal. Mardani mengingatkan agar semua pihak fokus mengatasi pandemi Corona.
Mardani menyebut, apabila amandemen UUD 1945 nekat dilakukan, maka proses adu argumen dan pembahasan tidak akan optimal. Ia mengingatkan amandemen harus dilakukan secara total dan penuh kehati-hatian.
"Plus di masa pandemi kita tidak bisa optimal mengadu hujat/argumen," kata dia.
Advertisement
6. NasDem: Belum Urgensi Melakukan Amandemen UUD 45
Sementara itu, Wakil Ketua Umum NasDem Ahmad Ali mengklaim tak ada pembicaraan soal amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara parpol koalisi pemerintah dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada saat pertemuan beberapa waktu lalu.
"Kemarin ketika saya bertanya ke Ketum pasca ketemu Pak Jokowi, itu sama sekali tidak disebutkan," kata dia, Rabu (1/9/2021).
Karenanya, dia tak memahami keinginan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyinggung amandemen UUD 45 usai bertemu dengan Jokowi.
"Tidak tahu apa yang jadi agenda PAN untuk tawarkan amandemen, tapi apapun tawarannya saya selalu berpikir bagus untuk kepentingan bangsa. Tapi saya sampai saat ini belum masuk pembicaraan itu," kata Ali.
Dia pun mengungkapkan, saat ini belum ada urgensi melakukan amandemen, karena harus dilakukan dengan sangat teliti.
"Kita belum melihat apa yang urgen untuk amandemen. Karena NasDem sangat berhati-hati soal amandemen. Karena bicara amanden, potensi kegaduhannya sangat besar. Bicara bicara amandemen, di otak pengamat, praktisi yang ada adalah mengubah masa jabatan presiden, jokowi ingin 3 periode dan lainnya," kata dia.
Lesty Subamin