Jadi Korban Dugaan Penindasan dan Pelecehan, Kasus Pegawai KPI Malah Dianggap Sepele Polisi

Mirisnya, polisi tak merepon serius laporan karyawan KPI bernama MS dan mengeluarkan kata-kata yang malah tak mengenakan di hati.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 02 Sep 2021, 18:09 WIB
Ilustrasi penganiayaan di Kalimantan Barat, Ilustrasi: Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Seorang karyawan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI Pusat yang menjadi korban penindasan dan pelecehan seksual dari rekan kerjanya.

Mirisnya, polisi tak merepon serius laporan MS, pegawai KPI, dan mengeluarkan kata-kata yang malah tak mengenakan di hati.

MS mengaku sudah dua kali bertandang ke Polsek Gambir. Pertama kali pada 2019. Ia datang untuk membuat laporan polisi. Namun polisi malah memberikan jawaban tak enak.

"Lebih baik adukan dulu saja ke atasan. Biarkan internal kantor yang menyelesaikan." kata MS dalam keterangan tertulis, Rabu (1/9/2021).

MS melanjutkan, ia kembali mendatangi Polsek Gambir pada 2020. Dengan membawa segudang harapan bahwa laporannya segera diproses dan para pelaku dipanggil untuk diperiksa. Namun, lagi-lagi harapannya kembali pupus.

"Petugas tidak menganggap cerita saya serius dan malah mengatakan, 'Begini saja pak, mana nomor orang yang melecehkan bapak, biar saya telepon orangnya,'" cerita MS.

Padahal, polisi menjadi satu-satunya harapan MS untuk mencari keadilan terhadap pelecehan seksual dan penindasan yang dialami.

"Saya ingin penyelesaian hukum, makanya saya lapor polisi. Tapi kenapa laporan saya tidak di-BAP? Kenapa pelaku tak diperiksa? Kenapa penderitaan saya diremehkan?," terang dia.

 


Timbulkan Trauma

Ilustrasi Penganiayaan (iStockphoto)​

MS kembali menceritakan, kejadian yang dialami betul-betul menimbulkan trauma yang mendalam. Bayangkan, alat vital dilecehkan, bahkan dicoret dan difoto oleh para rekan kerja.

"Tapi semua itu dianggap hal ringan dan pelaku masih bebas berkeliaran di KPI Pusat. Wahai Polisi, dimana keadilan bisa saya dapat?," kata dia.

Pikir MS, yang dialami sekarang dianggap hal sepele oleh pihak kepolisian. Terbukti, hingga bertahun-tahun lamanya tidak ada upaya untuk menyeret para pelaku ke meja hijau.

"Apakah harus jadi perempuan dulu supaya polisi serius memproses kasus pelecehan yang saya alami? Apakah tangan saya harus dibacok sampai putus atau perut saya diiiris berdarah dulu baru penganiayaan yang saya alami diperhatikan orang lain," tandas dia.

Terkait hal ini, Liputan6.com sudah berusaha menghubungi Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Hengki Haryadi dan Kapolsek Metro Gambir AKBP Kade Budiyarta namun hingga berita ini diturunkan belum mendapat respon.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya