Liputan6.com, Jakarta Jaksa Agung ST Burhanuddin sempat menyatakan perlunya kajian lebih lanjut atas penyelenggaraan persidangan secara daring atau online demi efektivitas penyelesaian perkara di pengadilan. Termasuk soal potensi digitalisasi persidangan, sehingga tetap dapat terus dilakukan di kemudian hari.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Sobandi menyampaikan, sejauh ini persidangan yang dilakukan terbilang sudah baik dan efektif.
Advertisement
"Jadi persidangan secara online saya pernah melakukan, ya cukup efektif," tutur Sobandi di Gedung MA, Jakarta Pusat, Jumat (3/9/2021).
Menurut Sobandi, MA telah mengeluarkan Peraturan Mahmakah Agung (Perma) RI Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Sejauh ini, langkah tersebut dalam rangka memutus mata rantai Covid-19.
"Di mana persidangan secara online itu dilakukan dalam keadaan tertentu. Prinsipnya persidangan itu sidang langsung. Tapi dalam keadaan tertentu dapat dilakukan sidang elektronik atau online," jelas dia.
Pemerintah sendiri telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai kondisi darurat dan masuk dalam kategori keadaan tertentu, sesuai Perma Nomor 4 Tahun 2020. Adapun dalam penyelenggaraan persidangan, lanjut Sobandi, ditentukan sesuai penilaian dam kewenangan Majelis Hakim yang menangani perkara.
"Daripada semua terpapar ketika hadir persidangan langsung. Tetapi dalam beberapa pekara dibutuhkan sidang offline. Misalnya di Denpasar sidang Jerinx, tetapi ketika penbacaan dakwaan, eksepsi, maupun putusan sela online," Sobandi menandaskan.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, persidangan secara daring atau online perlu dikaji lagi terkait efektifitasnya dalam upaya untuk menyelesaikan perkara di pengadilan.
Hal ini disampaikannya dalam pembukaan Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Bidang Tindak Pidana Umum secara virtual dari Gedung Kejaksaan Agung RI Jakarta Selatan, Rabu 1 September 2021.
Menurut dia, kajian ini untuk melihat apakah sidang secara daring hanya diberlakukan dalam keadaan darurat atau memang dalam menggantikan sidang secara konvensional secara permanen.
"Perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana sidang online ini dapat dipertahankan sebagai instrumen proses penyelesaian perkara di pengadilan," kata Burhanuddin.
Benturan dengan KUHAP
Seperti dilansir dari Antara, pelaksanaan sidang secara virtual (online) diatur berdasarkan Peraturan Mahmakah Agung RI Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik yang diundangkan pada 29 September 2020.
Pelaksaan persidangan melalui telekonferensi guna melindungi tersangka/terdakwa dari ancaman penyebaran Covid-19, Mahkamah Agung melakukan perjanjian kerja sama dengan Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM pada April 2020.
Setelah adanya perjanjian tersebut, pengadilan, kejaksaan dan rumah tahanan beradaptasi dengan menggelar sidang daring untuk terdakwa yang masa penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi.
Namun, sidang secara elektronik untuk perkara pidana menemui kendala yurisdiksi dikarenakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur hal tersebut.
Di satu sisi, dari sisi internal kejaksaan, digitalisasi diperlukan untuk setiap regulasi, surat edaran, atau petunjuk teknis penanganan perkara pidana umum guna mempermudah penyebarluasan informasi produk-produk hukum dan kebijakan terbaru ke seluruh Indonesia.
Advertisement