Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Matahari di timur Danau Melintang tertutup mendung. Jarum jam menunjukkan angka enam. Ramsyah bergegas menuju perahu milik Pemerintah Desa Muara Enggelam, Kutai Kartanegara.
Tenaga Kesehatan di desa yang berada Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara itu tampak semringah. Dia sangat bahagia karena program vaksinasi Covid-19 digelar di desanya.
Bukan tanpa alasan Ramsyah sangat bersemangat hari itu. Sebab selama ini warga desa Muara Enggelam harus ke pusat kecamatan untuk vaksinasi.
Baca Juga
Advertisement
“Banyak yang dikorbankan, terutama waktu, jika warga harus ke puskesmas di pusat kecamatan untuk suntik vaksin,” kata Ramsyah.
Desa Muara Enggelam adalah desa yang hidup di atas perairan Danau Melintang, danau seluas 11 ribu hektar. Tidak ada daratan dan warga hidup di atas air.
Tidak ada akses darat sama sekali. Untuk aktivitas sehari-hari, warga menggunakan perahu bermesin tempel. Demikian pula jika hendak bepergian keluar desa, harus menggunakan perahu.
“Untuk ke pusat kecamatan warga harus melintasi Danau Melintang. Jika badai dan ombak tinggi, bisa lebih lama waktunya,” ujar Ramsyah.
Dari Desa Muara Enggelam ke pusat Kecamatan Muara Wis, butuh waktu perjalanan tiga hingga empat jam dengan perahu. Di awal program vaksinasi, warga desa ini harus menempuh perjalanan itu, bolak-balik.
Ramsyah sudah berada di atas perahu. Mereka menyebutnya longboat. Maksimal hanya untuk 20 orang. Itupun harus berdesakan.
Bersama seorang motoris, tenaga kesehatan itu bergegas ke pusat kecamatan untuk menjemput dokter dan tenaga medis lainnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak juga video pilihan berikut
Menembus Hujan Lebat
Pagi itu, Kamis (2/9/2021), cuaca di kawasan Danau Melintang memang sedang mendung. Matahari tampak malu-malu untuk menunjukkan dirinya.
Pukul 09.00 WITA, seluruh rombongan sudah di atas perahu yang tambat di Dermaga Muara Wis. Pagi yang sejuk menemani rombongan itu.
Kotak yang menyimpan vaksin disimpan dengan sangat hati-hati. Mereka sudah mempersiapkan segala kemungkinan cuaca yang dihadapi selama perjalanan. Mulai dari kardus bekas hingga terpal.
Benar saja, baru 30 menit perjalan menyusuri Sungai Mahakam gerimis turun. Ramsyah yang duduk paling depan untuk membantu motoris agar kapal tak menabarak kayu mengambil terpal.
Langit tampak gelap. Di ujung sungai, sejauh mata memandang, tampak awan hitam seolah tak sabar memuntahkan air.
Setelah menyusuri Sungai Mahakam, perahu memasuki sungai kecil bernama Sungai Rebak Rinding. Sungai ini yang menghubungkan Sungai Mahakam dengan Danau Melintang untuk akses Kecamatan Muara Wis.
Baru beberapa menit memasuki sungai kecil itu, hujan deras turun. Ramsyah yang di depan merapatkan terpal ke tubuhnya. Dia juga harus melindungi barang bawaan untuk proses vaksinasi nantinya.
Beberapa saat kemudian Ramsyah kaget, tubuhnya sudah berada di dinding sungai yang dipenuhi rerumputan liar. Rupanya motoris terlambat memindahkan selang bensin sehingga mesin mati.
Motoris sudah menyiapkan 3 bensin jeriken untuk bekal perjalanan itu. Jika bensin di jeriken yang sedang digunakan akan habis, motoris harus segera memindahkan ke jeriken lainnya.
Karena mesin mati, sementara arus sungai deras, perahu hanyut ke tebing sungai sehingga membuat Ramsyah berada di antara rerumputan itu. Dia kemudian mengarahkan motoris untuk mengatur posisi kapal sambil berupaya menyalakan kembali mesin perahu.
“Situasinya menegangkan. Hujan deras, angin kencang, mesin perahu mati. Suasana yang mencekam,” kata Candra, tim dokumentasi yang ikut di rombongan tersebut.
Advertisement
Badai di Danau melintang
Suasana mencekam paling terasa saat perahu hendak menyeberangi Danau Melintang. Hujan deras disertai angin kencang menghantam perahu tanpa pelindung.
Perjalan di sungai kecil tadi, terpaan angin kurang begitu terasa karena badan sungai dilindungi pepohonan dan rerumputan. Namun saat melintasi danau, angin kencang langsung menerpa perahu.
Angin yang kencang menimbulkan ombak yang cukup besar. Perahu yang terbuat dari fiber itu sangat terasa menghantam air setiap melewati ombak.
Jarak pandang juga terbatas karena kabut tebal menyelimuti perairan Danau Melintang. Kecepatan perahu pun harus dikurangi.
30 menit yang mencekam di Danau Melintang itu langsung hilang sesaat setelah rombongan melihat pintu gerbang Desa Muara Enggelam. Sebuah pintu gerbang yang ikonis itu langsung menghapus ketegangan tenaga kesehatan di atas perahu.
Rombongan dari Puskesmas Muara Wis berjumlah 10 orang, dua diantaranya adalah dokter. Salah satu dokter merupakan kepala Puskesmas Muara Wis.
Antusias warga desa terpencil dalam mengikuti vaksinasi ini juga menyemangati tenaga kesehatan yang rela datang, melewati badai, untuk sampai ke desa mereka.
“Alhamdulillah kami senang sekali. Antusiasme warganya, meskipun di sini zona hijau, tapi upaya mencegah Covid-19, kesadarannya tinggi sekali,” kata Kepala Puskesmas Muara Wis, dr Tomy Prabowo.
Pelaksanaan vaksin dilaksanakan di sebuah bangunan tinggi yang biasa digunakan sebagai lapangan futsal oleh warga setempat. Sebanyak 190 dosis disiapkan.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 144 warga mendaftar untuk divaksin. Namun hanya 125 yang bersedia divaksin.
Dua Desa
Sebenarnya, Desa Muara Enggelam bukan desa terakhir yang terpencil di Kecamatan Muara Wis. Ada satu desa lagi yang lebih jauh yakni Desa Enggelam.
Kedua desa ini dihubungkan oleh sungai kecil, Sungai Enggelam. Sungai ini bermuara di Danau Melintang. Jika di hulu sungai berdiri Desa Enggelam, maka di muaranya berdiri Desa Muara Enggelam.
Di Desa Enggelam mayoritas dihuni Suku Dayak. Sedangkan di Desa Muara Enggelam kebanyakan dihuni warga Suku Kutai.
Butuh dua jam perjalanan menyusuri Sungai Enggelam, menembus belantara Hutan Kalimantan untuk sampai ke Desa Enggelam dari Desa Muara Enggelam. Pada program vaksinasi kali ini, Desa Enggelam diikutkan.
Kepala Desa Enggelam, Mong menyebutkan, sekitar 60 warganya diberangkatkan ke Desa Muara Enggelam untuk mengikuti vaksinasi. Seluruh biaya transportasi dan kosumsi ditanggung pemerintah desa.
“Kami bersyukur adanya program vaksinasi di Desa Muara Enggelam karena lebih mendekatkan ke kami. Kalau ke pusat kecamatan, jauh sekali dan tentu saja warga kesulitan mengikuti program ini,” kata Mong.
Untuk memobilisasi warganya, Mon menyiapkan enam perahu. Dua perahu besar berupa longboat, dan empat perahu kecil.
“Walaupun masih harus menempuh dua jam perjalanan menuju desa terdekat ini, kami berterima kasih kepada pemerintah untuk vaksinasi ini. Kami juga berterima kasih kepada Desa Muara Enggelam yang telah memfasilitasi kami untuk ikut vaksinasi,” tambahnya.
Advertisement
Mendekatkan ke Warga
Program vaksinasi langsung ke desa terpencil ini adalah upaya pemerintah untuk mendekatkan warga ke program tersebut. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak divaksin.
Tomy Prabowo menyebut, Desa Muara Enggelam termasuk kawasan zona hijau Covid-19. Sehingga, pemberian vaksin ini sebagai bentuk kewaspadaan.
“Jangan dibilang tidak ada hambatan dari masyarakat. Tentu ada. Misalnya mereka menolak divaksin karena merasa zona hijau, jadi merasa aman. Program vaksinasi di desa ini sebagai bentuk antisipasi dan kewaspadaan,” kata Tomy.
Jenis vaksin yang diberikan untuk warga dua desa terpencil itu adalah AstraZenica. Proses pemberian vaksin pun menggunakan skema prioritas yang telah ditelaah oleh Puskesmas Muara Wis.
“Petugas kami itu sebenarnya sedikit. Jadi harus diatur sebaik mungkin untuk program vaksinasi ini. Jadi vaksin datang dari kabupaten, kami atur skala prioritas mana yang lebih dulu,” paparnya.
Untuk proses penyimpanan vaksin selama perjalanan, Tomy menjamin sudah sesuai standar prosedur yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan. Meski perjalanan lebih dari dua jam, suhu vaksin terjaga dengan sangat baik.
“Suhunya terjaga dengan baik karena ada pengukur suhu. Selama perjalanan petugas kami selalu memantau,” sambung Tomy yang sudah bertugas di kecamatan ini selama 8 tahun.
Tomy menjelaskan, Kecamatan Muara Wis memiliki tantangan geografis yang lebih sulit. Tujuh desa di kecamatan ini kebanyakan harus diakses lewat perjalanan sungai dan danau.
“Tadi perjalanan lewat sungai dan danau. Hujan deras dan banyak ombak. Tapi semua itu tertutupi dengan antusiasme warga yang tinggi, semua terobati. Lega,” pungkasnya.