Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Kemendikbudristek) kembali menuai polemik. Belum reda silang pendapat mengenai pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), kini Peraturan Mendikbud (Permendikbud) 6/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah Reguler ditolak Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan.
“Kami menilai sikap NU, Muhammadiyah, PGRI, Taman Siswa, dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik yang menolak Permendikbud 6/2021 bisa dipahami. Kami berharap Mas Menteri Nadiem Makarim bisa menanggapi penolakan ini bijak,” ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dalam keterangannya, Sabtu (4/9/2021).
Advertisement
Dia mengatakan penerbitan aturan jumlah minimal siswa sekolah penerima BOS akan mengancam kelangsungan pendidikan terutama pendidikan anak usia dini. Dengan aturan ini akan ada ribuan PAUD yang dikelola kelompok-kelompok masyarakat tidak menerima alokasi dana BOS.
“Situasi ini akan memunculkan persoalan pelik bagi penyelenggara pendidikan dari organisasi masyarakat. Setelah operasional mereka terganggu karena banyak orang tua siswa yang mengalami kesulitan ekonomi di masa pandemi, kini mereka tidak bisa lagi menerima alokasi dana BOS,” ujarnya.
Dia menilai alokasi dana BOS bagi penyelenggara PAUD merupakan sumber keuangan yang substansial. Menurutnya banyak PAUD yang dikelola masyarakat mengantungkan sebagian besar biaya operasional mereka ke dana BOS.
“Jika mereka terpaksa tidak menerima dana BOS bisa dipastikan akan banyak PAUD yang gulung tikar,” ujarnya.
Huda menilai syarat minimal 60 siswa bagi penyelenggara PAUD bakal dirasa cukup berat. Menurutnya sebagian besar PAUD rata-rata per kelas hanya 10-15 orang saja. Jika ada dua tingkat yakni A dan B bisa jadi siswa di satu PAUD hanya berkisar 20-30 orang saja.
“Dengan situasi ini, jika syarat penerima BOS dipatok harus punya siswa minimal 60, pasti sebagian besar dari mereka tidak bisa menerima alokasi dana BOS,” katanya.
Selain mengancam penyelenggaraan pendidikan di level PAUD, kata Huda Permendikbud Ristek Nomor 6/2021 akan mengancam penyelenggaraan pendidikan di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T). Menurutnya banyak sekolah tingkat dasar dan menengah di daerah 3T yang mempunyai siswa di bawah 60 orang. Sekolah-sekolah tersebut harus tetap dipertahankan karena bisa jadi hanya satu-satunya sekolah di wilayah tersebut.
“Kalau memandang kondisi pendidikan di daerah Jawa-Bali saja mungkin syarat sekolah harus mempunyai 60 siswa untuk bisa menerima dana BOS masuk akal. Tetapi jika kita tengok daerah di luar Jawa terutama di wilayah-wilayah 3T maka syarat tersebut akan sangat memberatkan,” katanya.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua
Akses Pendidikan Negeri Sangat Terbatas
Politikus PKB ini mengungkapkan fakta jika penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tidak bisa dipegang sendiri oleh pemerintah. Ada ketidakseimbangan antara jumlah peserta didik dengan fasilitas pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah. Maka sudah wajar jika penyelenggaraan pendidikan di tanah air butuh peran serta masyarakat baik secara berkelompok maupun individual.
“Dilihat dari perbandingan jumlah sekolah swasta dan negeri saja kita bisa tahu betapa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sangat butuh peran masyarakat,” katanya.
Secara umum, kata Huda hanya di level pendidikan dasar, jumlah sekolah swasta lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah negeri. Sedangkan di level PAUD, level SMP, dan SMA/SMK jumlah sekolah negeri jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah swasta.
“Fakta ini menunjukkan akses pendidikan anak Indonesia akan sangat terbatas jika hanya mengandalkan sekolah-sekolah negeri milik pemerintah. Bantuan pemerintah seperti BOS ini sebenarnya membantu pemerintah sendiri untuk memberikan layanan pendidikan kepada seluruh anak-anak Indonesia,” katanya.
Advertisement