Apa Bedanya Krisis Keuangan Imbas Covid-19 dengan 1998 dan 2008?

Kementerian Keuangan menjelaskan perbedaan krisis keuangan di masa pandemi dengan Krisis Keuangan Tahun 1998 dan 2008

oleh Tira Santia diperbarui 08 Sep 2021, 12:00 WIB
Ilustrasi (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menjelaskan perbedaan krisis keuangan di masa pandemi dengan Krisis Keuangan Tahun 1998 dan 2008 terletak pada penyebabnya.

“Indonesia pernah mengalami dua kali krisis ekonomi yang dipengaruhi kondisi perlambatan global pada tahun 1998 dan 2008. Lalu apa bedanya ya dengan krisis yang kita alami saat ini karena pandemi Covid-19?,” tulis keterangan dikutip dari Instagram resmi @djpprkemenkeu, Rabu (8/9/2021).

Dalam postingannya, DJPPR menjelaskan bahwa krisis perekonomian yang diakibatkan pandemi covid-19 saat ini jauh lebih kompleks dibanding krisis 1997-1998 dan 2008-2009, karena penyebabnya belum bisa ditahan dan dihentikan.

Sementara, sumber krisis utama krisis global saat ini belum bisa diatasi karena masih dibutuhkan banyak pengujian dan mutasi virus yang masih terus berkembang. Disisi lain, penyebab krisis kali ini dinilai mengancam jiwa manusia.

Pada tahun 1997-1998, penyebab krisis dapat ditahan dengan baik. Sama halnya dengan krisis keuangan tahun 2008, penyebabnya jelas lembaga keuangan dan korporasi. Sehingga kalau sudah dinyatakan bangkrut, beberapa kerugian sudah dihitung dan krisis bisa ditahan.

Sedangkan pada krisis saat ini, tidak ada yang mampu menahan krisis karena tidak ada yang mengetahui kapan pandemi covid-19 ini akan usai.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


PPKM Diperpanjang, Tengok Prospek Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2021

Deretan gedung perkantoran di Jakarta, Senin (27/7/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta mengalami penurunan sekitar 5,6 persen akibat wabah Covid-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM hingga 13 September 2021 di Jawa-Bali dan 20 September di luar Jawa-Bali. Meski begitu pemerintah memberikan beberapa kelonggaran kebijakan di wilayah dengan PPKM level 3.

Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira menilai mobilitas masyarakat ke mal pada bulan September 2021 sudah mengalami peningkatan dibandingkan pada bulan Juli di tahun yang sama. Bila pada pertengahan juli mengalami kontraksi hingga minus 35 persen, maka per tanggal 2 September berada di titik 0 persen.

"Mobilitas masyarakat ke pusat perbelanjaan ada perbaikan dari minus 35 persen di pertengahan Juli saat PPKM darurat menjadi 0 persen dari baseline per 2 September 2021 saat mulai pelonggaran," kata Bhima kepada merdeka.com, Jakarta, Selasa (7/9/2021).

Bhima melanjutkan, data tersebut bermakna ada indikasi masyarakat mulai berbelanja kembali. Sayangnya hal ini tidak merata di seluruh kelompok pengeluaran.

Belanja masyarakat kelas menengah bisa langsung dilakukan karena memiliki dana yang cukup untuk dibelanjakan. Sementara bagi masyarakat kelas masih tertahan karena masih belum bisa menghasilkan pendapatan lagi. Kondisi ini pada akhirnya akan menyebabkan pemulihan konsumsi terjeda dari adanya pelonggaran mobilitas.

"Lapisan menengah atas diperkirakan lebih pede berbelanja, sementara kelas menengah bawah masih menunggu pemulihan sisi serapan kerja dan perbaikan pendapatan. Kalau orang kaya mereka simpan uang di bank, tinggal geser ke belanja," tuturnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya