HEADLINE: Tragedi Kebakaran Lapas Tangerang Renggut Nyawa 41 Narapidana, Perlukah Negara Minta Maaf?

Hilangnya nyawa 41 narapidana akibat kebakaran ini lantaran petugas kesulitan menyelamatkan korban karena lapas yang kelebihan kapasitas.

oleh Pramita TristiawatiDelvira HutabaratFachrur RozieLizsa EgehamYopi Makdori diperbarui 09 Sep 2021, 22:04 WIB
Penampakan Lapas Kelas I Tangerang usai kebakaran, Rabu (8/9/2021). (dok Kemenkumham)

Liputan6.com, Jakarta - "Pasrah saja, memang takdir mau diapakan," ujar Nursin di Lapas Kelas 1 Tangerang, Rabu 8 September 2021.

Nursin adalah orangtua dari Rezkil Khairi (22), narapidana Lapas yang luluh lantak dilahap si jago merah, Rabu dini hari. Berpeci hitam dia berupaya tegar menunggu kabar sang anak sulung yang saat ini belum jelas keadaannya itu, meski sesekali matanya tampak berkaca-kaca ketika perkataannya itu menyinggung sang anak.

Dia tidak menyangka bahwa malam sebelum kejadian, percakapan melalui video call adalah percakapan terakhirnya. Tidak hanya Nursin, Rezkil yang terjerat kasus narkotika itu juga sempat berbincang dengan empat orang adiknya.

"Dia kangen sama adik-adiknya," kata Nursin dikutip dari Merdeka.com.

8 September 2021 sekitar pukul 01.50 WIB mendadak mencekam. Kobaran api muncul dari Blok C Lapas Kelas 1 Tangerang, Banten. Ratusan narapidana yang ada di dalam jeruji besi terjebak dan terkunci. Api seketika mengepung para narapidana di dalam bui. Sebagian selamat dan mengalami luka rigan hingga berat. Namun 41 orang narapidana tewas mengenaskan akibat tragedi tersebut. 

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly menegaskan, api dengan cepat membesar disaat para napi masih terkunci dalam sel. Penguncian sel merupakan prosedur tetap. 

"Mengapa dikunci? Memang protapnya lapas harus dikunci. Kalau engga dikunci melanggar protap. Maka disitu korban ditemukan," kata Yasonna.

"Api yang cepat membesar, beberapa kamar tidak smpat dibuka. Karena api yang sudah cepat," dia melanjutkan.

Tidak hanya warga negara Indonesia, dua napi warga negara asing, Portugal dan Afrika Selatan. Sementara korban meninggal lainnya adalah warga binaan kasus terorisme, pembunuhan dan sisanya narapidana penyalahgunaan narkoba.

Yasonna menduga kebakaran Lapas Kelas I Tangerang disebabkan hubungan arus pendek listrik. Dugaan tersebut muncul lantaran sudah puluhan tahun Lapas Kelas I Tangerang tidak pernah melakukan perbaikan instalasi listrik sejak dibangun pada akhir 1970-an.

"42 tahun sejak itu (dibangun) kita tidak memperbaiki instalasi listrik. Ada penambahan daya, tapi instalansi tidak," ujar Yasonna saat mengunjungi Lapas Kelas I Tangerang, Rabu (8/9/2021).

Namun untuk penyebab pastinya, pihaknya masih menunggu hasil penyelidikan kepolisian.

"Sekarang Puslabfor Polda Metro Jaya sedang meneliti sebab musabab dari kebakaran tersebut, karena kita enggak mau spekulasi. Kasat mata dugaannya arus pendek," ujar Yasonna.

 

Infografis Tragedi Kebakaran Lapas Tangerang. (Liputan6.com/Abdillah)

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Negara Harus Minta Maaf

Hilangnya nyawa 41 narapidana ini lantaran petugas kesulitan menyelamatkan korban karena lapas yang kelebihan kapasitas. 

Kepala Bagian Humas dan protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Rika Aprianti mengatakan, dalam Blok C2 yang terbakar terdapat 19 sel tahanan. Sel tersebut seharusnya diisi 40 tahanan saja, namun nyatanya diisi oleh 120an tahanan.

Sementara secara keseluruhan Lapas Kelas I Tangerang seharusnya hanya diisi oleh 900 tahanan, namun saat ini diisi oleh 2.072 orang. Bisa dikatakan, kelebihan kapasitas di Lapas Tangerang mencapai 400 persen.

Pengamat Pemasyarakatan dan Kriminolog, Leopold Sudaryono mengatakan, selain kelebihan kapasitas, tragedi meninggalnya 41 narapidana saat insiden kebakaran adalah karena faktor keamanan fasilitas dan bangunan yang kurang memadai.

Leopold yakin lembaga pemasyarakatan tidak memiliki anggaran untuk melakukan perawatan rutin terhadap fasilitas dan bangunan lapas.

"Ini (listrik) seharusnya diperiksa oleh pihak yang punya keahlian untuk itu. Jadi jangan petugas sendiri. Tapi dari kanwil, misalnya ada kontraktor yang mengecek keamanan di setiap lapas, saya menduga ini nggak ada," ujar Leopold kepada Liputan6.com.

Kemudian, seharusnya di setiap lapas sudah ada prosedur keamanan dalam kondisi bencana. Di mana para tahanan bisa meninggalkan area bahaya.

"Apakah prosedur ini bisa dijalani di lapangan? Bayangkan di lapas ada puluhan ribu, petugasnya belasan itu fire drill-nya bagaimana?," kata dia.

Sulitnya menjalani prosedur keamanan ini, karena jumlah petugas lapas yang tak sebanding dengan jumlah narapidana. Jika dilihat dari data, kata Leopold, dalam satu sif hanya ada 5 sampai 7 petugas yang harus menjaga 2079 narapidana di Lapas Tangerang. 

"Petugas rasionya jangan terlalu jauh, sekarang secara nasional kan 1:45, sementara di banyak lapas itu 1:500. Ini menyulikan untuk memastikan pengamanan dan penjagaan," kata dia.

Leopold mengatakan, atas insiden kebakaran ini, negara memiliki tanggungjawab yang sangat berat. Sebanyak 41 nyawa hilang lantaran tragedi ini. Untuk itu dia berharap negara meminta maaf kepada keluarga narapidana.

"Ini berat sekali, pada saat mereka dipidana negara hanya merampas kemerdekaan, bukan merampas nyawa mereka. Jadi ini tragedi dan pukulan berat bagi kemenkumham dan negara. Apapun yang dilakukan pemerintah tidak bisa mengembalikan jiwa yang sudah hilang," kata Leopold.

Namun, Kemenkumham dapat mencegah agar peristiwa ini tidak terulang kembali. Dia berharap Kemenkumham memiliki anggaran untuk pemeliharaan bangunan, memastikan petugas mengetahui prosedur jika bencana terjadi dan menambah jumlah petugas jaga.

"Tentu juga harus berusaha mengurangi over kapasitas," tandas Leopold.

Sementara Kriminolog dari Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin mempertanyakan SOP yang dijalankan petugas lapas saat terjadi kebakaran. Apalagi, sampai merenggut nyawa 41 narapidana.

"Lapas dan rutan itu setiap saat akan terkunci. Ada banyak manusia yang ada di dalamnya sudah pasti akan ada SOP mitigasi, bagaimana menghandel kebakaran, gempa bumi, banjir. Kalau sampai misalnya 41 napi yang meninggal, itu suatu yang patut ditelusuri, apakah SOP-nya jalan, apakah petugas melakukan prosedur yang benar pada saat peristiwa itu terjadi," kata Iqrak.

Jika ada kelalaian dari petugas lapas, kata Iqrak, maka harus ada penindakan dan perbaikan total oleh Kemenkumham.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa tragedi kebakaran di Lapas Kelas 1 Tangerang bukan kebakran biasa. 

"Tapi juga masalah hak asasi manusia. Kejadian ini semakin menunjukkan urgensi untuk mengatasi masalah penjara di Indonesia yang sarat pelanggaran hak-hak asasi manusia," kata Usman.

Usman mengatakan, para tahanan kerap ditempatkan dalam penjara yang sesak dan mengancam hidup dan kesehatan mereka.

"Semua tahanan berhak diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat. Tempat penahanan harus menyediakan ruang, penerangan, udara, dan ventilasi yang memadai," beber Usman. 

Kapasitas penjara yang terbatas dengan jumlah penghuni yang berlebihan adalah akar masalah serius dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Salah satunya adalah dengan mengubah orientasi politik kebijakan dalam menangani kejahatan ringan, termasuk yang terkait penggunaan narkotika.

"Pemerintah dapat membebaskan mereka yang seharusnya tidak pernah ditahan, termasuk tahanan hati nurani dan orang-orang yang ditahan atas dasar pasal-pasal karet dalam UU ITE," tegas Usman.

Solusi Kemenkumham

Kelebihan kapasitas adalah salah satu penyebab sulitnya menyelamatkan korban kebakaran Lapas Kelas I Tangerang. 

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, kelebihan kapasitas adalah masalah klasik yang tak kunjung usai untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam lapas.

Dia mengungkap 50 persen penghuni lapas adalah narapidana kasus narkoba. Sehingga, Yasonna mengusulkan untuk segera merevisi Undang-Undang Narkotika. Dengan begitu, dia berharap pengguna narkoba tidak dijebloskan kedalam lapas, tetapi menjalani rehabilitasi.

"Kalau kita masukin semua ke lapas, nggak akan muat. Diperkirakan lebih dari 4 juta orang pemakai narkoba, sekarang saja 270 ribu (kasus narkoba) isi lapas sudah mabuk kepayang, nggak mampu," kata Yasonna.

Sementara, tidak memungkinkan membangun lapas dengan percepatan pertumbuhan kejahatan narkotika.

"Membangun lapas bukan harga murah, tidak sama dengan bangun rumah. Satu sel lapas bisa Rp 100 juta lebih," kata Yasonna.

Selain mengajukan revisi UU Narkotika, Yasonna mengaku sudah berusaha mengurangi kapasitas lapas dengan melakukan redistribusi. Yaitu memindahkan narapidana dari lapas yang padat ke lapas yang kurang padat. 

"Itupun sudah dilakukan redistribusi ke beberapa tempat, akhirnya padat juga," kata dia.

Kemudian, Yasonna juga mengaku sudah mengeluarkan kebijakan dengan memberi asimilasi kepada puluhan ribu narapidana saat pandemi Covid-19.

"Saya mengeluarkan kebijakan asimilasi dan integrasi di rumah yang mengurangi jumlah tahanan di lapas tapi belum cukup mengurangi kapasitas," ujar dia.

Untuk saat ini, Yasonna meminta agar tahanan yang proses hukumnya belum inkrah untuk tidak ditempatkan di Lapas. 

Yasonna berharap dengan usulan revisi UU Narkotika ini dapat mengurangi kelebihan kapasitas di lapas. 

"Hulunya dulu diatasi, yaitu kebijakan dan jangan pakai narkoba," tandas Yasonna. 

 

Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyebut rencana pembangunan lapas karena masalah overcapacity sebenarnya sudah sejak 2004. Hanya saja, rencana tersebut tak terealisasi karena masalah anggaran.

"Kami berencana segera membangun lapas-lapas karena sudah overkapasitas, ini sejak tahun 2004 itu dibiarakan terus antara pemerintah dengan DPR. Tetapi selalu tidak jadi karena pertimbangan anggaran, pertimbanagn ini itu," jelas Mahfud dalam konferensi pers, Rabu (8/9/2021).

Dia mengaku telah membahas soal kondisi lapas yang overcapacity dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Bahkan, Mahfud telah beberapa kali mengunjungi lapas-lapas di daerah dan memang kondisinya tak lagi kondusif.

"Saya sudah berkeliling sejak tahun 2004 saya menjadi anggota DPR, berkeliling ke seluruh Indonesia melihat lapas-lapas kita, itu penuh," katanya.

Menurut dia, dalam satu kamar yang tak terlalu luas biasanya diisi oleh 30 sampai 40 narapidana. Untuk itu, Mahfud menuturkan pemerintah akan fokus mengatasi masalah overcapacity di dalam lapas.

"Saya katakan kalau orang membangun itu kan perlu uang dan perlu tanah, saya katakan sudah saya yang cari tanahnya anda perlu berapa ribu hektare nanti kita cari biayanya," tutur Mahfud.

Pemerintah, kata dia, berencana untuk membangun lapas di tanah milik obligor dan debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Saat ini, pemerintah telah menguasai 49 bidang tanah dengan total luas 5,2 juta meter persegi terkait BLBI yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Darimana ribuan hektare ini, saya sudah bicara dengan kementerian keuangan tadi, tanah tanah dari BLBI yang sekarang kami kuasai itu, oke nanti lembaga pemasyarakatan perlu berapa, di seluruh Indonesia," ujar Mahfud.

Kepala Bagian Humas dan protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Rika Aprianti mengatakan, meskipun lapas kelebihan kapasitas, namun dia menjamin hak-hak narapidana terpenuhi. 

"Hak-hak dasar tetep terpenuhi, makan, kesehatan, dan terpenuhinya rasa aman kami penuhi, mengenai kelebihan itu memang masalah klasik dan menjadi permasalahan kita bersama yang harus kita pecahkan bersama-sama," kata Rika kepada Liputan6.com.

Sementara untuk keluarga korban, Rika menjamin akan memberikan fasilitas yang terbaik. Namun, sampai saat ini, kata Rika korban kebakaran masih diidentifikasi.

"Untuk pemakaman kami akan fasilitasi semua," kata Rika.


Kelebihan Kapasitas Jadi Akar Masalah

Staf dan petugas polisi menjaga pintu masuk utama Lapas Kelas I Tangerang Banten, setelah kebakaran, Rabu (8/9/2021). Selang dua jam lebih kemudian, api yang membakar Lapas Kelas I Tangerang baru bisa dipadamkan oleh petugas. (AP Photo/Dita Alangkara)

Pengamat Pemasyarakatan dan Kriminolog, Leopold Sudaryono mengungkap kelebihan kapasitas ini akibat arus masuk para tahanan lebih banyak ketimbang arus keluar. Hal ini sangat terlihat ketika saat pandemi Covid-19 Kemenkumham mengeluarkan kebijakan asimilasi bagi para narapidana. Namun ternyata arus masuk narapidana ke lapas lebih besar.

"Saat pandemi ada 90 ribu napi dikeluarkan melalui program asimilasi. Tapi ternyata yang masuk lebih banyak lagi, yaitu 92 ribu orang," kata Leopold kepada Liputan6.com.

Dalam 5 tahun ini saja, kata dia, penambahannya mencapai 120 ribu narapidana sejak tahun 2014 yang jumlahnya 150 ribu orang.

Untuk mengurangi beban kapasitas ini, Leopold berharap narapidana kasus narkoba tidak dimasukkan ke dalam lapas, tetapi menjalani hukuman di lapas terbuka, di mana mereka dapat pembinaan dan rehabilitasi.

"Di lapas terbuka akan ada program mengurangi ketergantungan, aspek rehabilitasi medis, atau bapas, jadi mereka wajib lapor, mereka dikembalikan ke orang tua tapi wajib lapor, itu menjalankan pidana juga. Ini bisa dilakukan kemenkumham untuk mempercepat pengeluaran," kata dia.

Kemudian, yang paling penting, kata dia, adalah penegak hukum saling bekerjasama untuk memastikan bahwa yang ditangkap adalah pengedar dan bandar, karena selama ini angka pengguna yang ditangkap juga tinggi. Padahal mereka sebenarnya pelaku tetapi juga korban.

"Daripada negara keluar anggaran begitu besar bagi puluhan ribu orang ini lebih baik mereka menjalani rehabilitasi dan diperbaiki ketergantungan. Kalau di penjara malah menciptakan pasar, di mana pengguna ketemu pengedar, terjadilan peredaran narkoba dalam lapas," ujar dia.

Sementara Kriminolog dari Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin mengatakan kelebihan kapasitas lapas dapat diatasi dengan mengevaluasi cara kerja penegak hukum.

"Problem utamanya terletak dari cara kerja kepolisian, kejaksaan, pengadilan, kalau mereka doyan menghukum orang tentu banyak orang di lapas. Karena lapas itu tidak berada dalam posisi boleh menolak adanya napi baru," kata Iqrak kepada Liputan6.com.

Iqrak mengatakan, sebanyak 50 persen penghuni lapas adalah pelaku pelanggaran narkotika. Dari angka tersebut, 20 persennya adalah pengguna. Sehingga dia mendorong agar pengguna narkoba tidak dimasukkan dalam lapas tetapi direhabilitasi.

"Penjara bukan tempat yang tepat untuk pengguna. Lapas tidak dirancang untuk rehabilitasi. Kalau pengguna narkoba diberiputusan menjalani rehabilitasi, maka akan mengurangi 20 persen kapasitas lapas," tandas Iqrak.

Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengatakan, ada solusi untuk mengurangi warga binaan agar lapas tidak over capasity. Salah satunya dengan pembaruan sistem peradilan pidana untuk tidak lagi bergantung pada pidana penjara, perubahan paradigma harus disegerakan.

"Polisi, Jaksa, dan Hakim harus didorong untuk memiliki perhatian pada kondisi Lapas, bisa dimulai dengan mendorong penggunaan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan, termasuk untuk kasus pengguna narkotika yang angkanya begitu banyak," jelas dia.

Selain itu, Maidina juga mendorong adanya formasi KUHP untuk memperkuat alternatif pemidanaan non pemenjaraan dan juga menghindarkan penggunaan hukum pidana berlebih dalam RKUHP.

"RKUHP tidak boleh memuat penggunaan pidana penjara yang lebih besar dari KUHP sekarang, tingginya angka pemenjaraan dan jumlah perbuatan pidana yang semakin besar, akan berdampak buruk pada Lapas, misalnya pidana yang berhubungan dengan privasi warga negara atau pidana tanpa korban," kata dia.

Maidina menambahkan, reformasi kebijakan narkotika dengan menjamin dekriminalisasi penggunaan narkotika lewat adanya diversi dengan pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika juga menjadi cara mengurangi overcrowd di Lapas. 

Dirinya meyakini, kebijakan narkotika jelas merupakan masalah utama dari problem Lapas.

"Sehingga perlu trobosan perubahan kebijakan, dekriminalisasi penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi, dan memperketat rumusan pidana agar tidak lagi secara eksesif mengincar pengguna narkotika harus disegerakan," jelas dia.

Maidina menilai, keadilan bersifat restoratif yang berbasis kesukarelaan tanpa paksaan yang memberdayakan korban untuk kasus-kasus dengan kerugian terukur atau tanpa korban juga dapat menjadi solusi.

"Terakhir, kami menyerukan adanya perhatian khusus dari pemerintah terhadap korban dan keluarga korban musibah kebakaran Lapas ini," kata dia.

 


Evaluasi Seluruh Lapas

Penampakan Lapas Kelas I Tangerang usai kebakaran, Rabu (8/9/2021). (dok Kemenkumham)

DPR RI meminta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkumham, mengevaluasi sistem menyeluruh pemadam kebakaran di seluruh lapas Indonesia. Hal itu terkait tragedi kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang.

"Ke depan kita minta kepada Dirjen Lembaga Permasyarakatan untuk kemudian mengevaluasi tidak hanya di Tangerang, tapi di semua lapas, untuk penanganan sistem kebakaran supaya tidak terjadi lagi hal-hal seperti ini," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada wartawan, Rabu (8/9/2021).

Dia meminta perhatian dan perawatan total harus diberikan pada para korban kebakaran Lapas Tangerang.

"Kami minta kepada aparat penegak hukum untuk supaya bergerak cepat memulihkan keadaan, kemudian merawat korban yang luka-luka, dan juga mendampingi secara psikologis bagi para tahanan yang dalam keadaan selamat tapi masih dalam keadaan traumatik," kata Dasco.

Ketua DPP Gerindra ini juga menyoroti masalah kelebihan kapasitas lapas. Ia berharap ada terobosan dan perbaikan kapasitas sesegera mungkin.

"Fenomena over capacity itu saya pikir memang tidak bisa dihindari, karena memang sudah lama ini antara kapasitas dan penghuni memang tidak sebanding, sehingga perlu memang nanti terobosan-terobosan," kata Dasco.

Senada, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Aboebakar Al-Habsy meminta Dirjen PAS segera mengevaluasi SOP evakuasi lapas jika terjadi kebakaran.

"Seharusnya ada pola mitigasi yang bisa dilakukan, sehingga jika terjadi kebakaran di lapas tidak akan memakan korban sebanyak ini. Apalagi banyak lapas di Indonesia yang mengalami over kapasitas," katanya.

Aboe mengaku prihatin dan sangat menyayangkan terjadinya kebakaran tersebut dan meminta aparat keamanan untuk melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap penyebab kebakaran lapas tersebut.

"Sebagai anggota Komisi III saya minta Dirjend PAS segera membuat Langkah tanggap darurat untuk memberikan pertolongan terharap 73 warga binaan yang terluka. Harus diberikan perawatan terbaik untuk mereka semua, baik yang dirawat di rumah sakit, di rawat di klinik, maupun yang masih berada di lapas," ungkap dia.

Aboe menambahkan, perlu pengaturan secara khusus untuk prosedur indentifikasi dan pengembalian jenazah yang meninggal agar protokol Kesehatan tetap terjaga dengan baik. Selain itu ia mendesak adanya audit.

"Dirjen PAS perlu melakukan penyelidikan mengenai penerapan SOP penanganan kebakaran di lapas. Harus dilakukan audit, bagaimana sebenarnya kejadian kebakaran ini, dan kenapa sangat banyak korban yang meninggal dunia, apakah memang ada SOP yang tidak dilakukan, ataukah ada kelalaian dari petugas yang menyebabkan warga binaan tak tertolong," kata Politikus PKS ini.

Sementara, Anggota Komisi III Arsul Sani mendesak Menkumham tidak menutupi penyebab kebakaran apakah ada unsur kelalaian atau tidak.

"Pertama, atas peristiwa tersebut maka harus diselidiki secara tuntas apakah ada unsur kesengajaan ataupun kelalaian. Jadi dalam hal ini biarkan Bareskrim Polri melakukan penyelidikan untuk menuntaskannya, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi," ujarnya.

Selain itu, ia meminta Menkumham segera melakukan audit keamanan Lapas. "Kedua, Menkumham perlu melakukan audit keamanan secara menyeluruh terhadap kondisi lapas-lapas kita di seluruh Indonesia agar peristiwa seperti di Lapas Tangerang itu tidak terulang," kata Arsul.

Tak ingin tragedi serupa berulang, Arsul memunta kebakaran Lapas Kelas I Tangerang ini menjadi landasan untuk melakukan renovasi sistem lapas secara menyeluruh.

"PPP meminta agar peristiwa kebakaran yang membawa korban begitu banyak ini menjadi stepping stone untuk merenovasi lapas secara sistemik, yakni baik UU-nya, politik hukum pemidanaan kita, kelembagaan pemasyarakatan serta budaya kerja, maupun sosial yang ada di lembaga pemasyarakatan," kata dia.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya