Pengakuan Korban yang Terbakar Hidup-Hidup Saat Serangan 9/11

Serangan 9/11 terjadi 20 tahun. Kesaksian seorang korban selamat menggambarkan horor yang terjadi di hari itu.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Sep 2021, 19:58 WIB
Ilustrasi tragedi teror Serangan 11 September di New York, AS (AFP/Henry Ray Abrams)

Liputan6.com, Jakarta - Serangan 9/11 yang terjadi 20 tahun lalu nyaris menamatkan nyawa Lauren Manning.

Pada 11 September 2001 pagi, sebelum jam kerja, ia memasuki Menara Utara World Trade Center. Perempuan tersebut menuju lift yang akan membawanya ke lantai 105, di mana Cantor Fitzgerald berkantor. Lauren adalah eksekutif senior di perusahaan finansial itu.

Baru saja ia melewati pintu kaca, pesawat pertama ditabrakkan ke Menara Utara, tepatnya di lantai 96. Serangan 9/11 dimulai.

Tabrakan itu memicu ledakan, api yang disulut bahan bakar avtur berkobar, lalu menjalar melalui poros lift hingga ke lobi di lantai pertama di mana Lauren berada.

"Ada suara mirip siulan yang sangat keras dan menusuk kuping. Sesaat kemudian saya dilalap api," kata dia seperti dikutip dari SkyNews, Kamis 9 September 2021.

Seketika, tubuhnya berselimut api. Mati-matian, Lauren berusaha melawan hempasan angin, menuju pintu keluar hingga trotoar.

"Rasa sakitnya sungguh tak terkira. Menghancurkan, menembus dalam dan lebih dalam lagi. Saya terbakar hidup-hidup."

Lepas dari WTC ia berlari melintasi jalanan West Street sebelum akhirnya berhenti, menjatuhkan diri, dan berguling di sebidang rumput untuk mematikan api yang membakar tubuhnya. Lauren menolak mati, ia melawan sejadinya.

Seorang pria baik hati membantunya kala itu. Setelah api yang membakar tubuhnya padam, Lauren terbaring kepayahan dengan luka parah. Saat itulah matanya menatap ngeri ke arah Menara Selatan World Trade Center.

Para teroris di balik Serangan 9/11 sedang menabrakkan pesawat kedua. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Mirip Zona Tempur

Bak adegan kiamat dalam film-film Hollywood, apa yang terjadi dalam Serangan 9/11 sungguh mengerikan.

Lauren Manning melihat orang-orang berjatuhan atau menjatuhan diri dari dua gedung pencakar langit yang terbakar hebat, sebelum menara kembar World Trade Center akhirnya rata dengan tanah.

Belakangan ia mendapat kabar, 658 koleganya di Cantor Fitzgerald meninggal dunia.

Foto dok. Liputan6.com

Sebelumnya, Manning lolos dari serangan teror bom ke World Trade Center ada 1993. Kala itu, truk bermuatan bom diledakkan pada 26 Februari 1993, menewaskan enam orang, melukai lebih dari 1.000 orang, dan memicu evakuasi sekitar 50 ribu orang.

Meski bisa keluar hidup-hidup dari lokasi Serangan 9/11, nyawa perempuan tersebut masih terancam. Ia harus menanti lama hingga ambulans datang. Luka di tubuhnya mencapai 82,5 persen. Mayoritas adalah luka bakar derajat ketiga.

Lebih dari 20 persen di antaranya adalah derajat keempat atau kelima, yang artinya korban kehilangan otot atau tulang dan harus diamputasi di beberapa bagian. "Dengan standar medis mana pun, saya seharusnya sudah mati," kata dia kepada Sky News.

Manning dilarikan ke rumah sakit dan akhirnya mengalami koma sebelum dipindahkan ke pusat spesialis luka bakar.

Tiga bulan penuh ia dalam kondisi koma. Manning yakin, dukungan dan cinta dari suami, putra semata wayang, dan kedua orangtuanya membuatnya bertahan hidup. Paramedis pun terkejut dengan semangat hidupnya.

Lauren Manning menjalani perawatan selama enam bulan di rumah sakit. Namun, pemulihan yang melibatkan sejumlah operasi makan waktu hampir 10 tahun. Itu baru luka fisik. Kengerian 9/11 tak lekang dari ingatan, bahkan setelah 20 tahun berlalu.


Mirip Zona Perang

Sebuah jet tabrak World Trade Center (WTC) di New York, Selasa, 11 September 2001. Teroris menabrakkan dua pesawat, dan menara kembar itu 110 lantai runtuh. (AP/Moshe Bursuker)

Charlie Gray mengira gempa sedang terjadi di New York saat Menara Utara World Trade Center, tempatnya bekerja, berguncang pada 11 September 2001.

Pria asal Inggris itu sedang berada di lantai 26. Tiba-tiba ia melihat puing-puing gosong berjatuhan dari lantai di atasnya. "Kami pikir ada bom," kata dia.

Tak menerima informasi apapun soal apa yang sedang terjadi, orang-orang berlarian menuju tangga darurat.

Charlie dan rekan-rekannya cepat-cepat menuruni tangga. Namun, langkah mereka kian lambat seiring makin banyak orang yang mengakses tangga darurat. Mereka bertemu dengan tiga petugas pemadam kebakaran di lantai 17.

"Dari radio yang mereka bawa, kami mendengar informasi bahwa ada pesawat lain ditabrakkan ke Menara Selatan," kata Charlie.

Ketika akhirnya berada di lantai bawah, pemandangan mengerikan menanti mereka. Mirip zona perang.

Charlie menyaksikan jasad-jasad, sebagian tak utuh, di jalanan dan di dalam mobil-mobil yang hancur tertimpa puing besar.

Jasad seseorang yang terbakar mendarat sekitar 9 meter dari tempatnya berada. Charlie juga menyaksikan sekitar 20 orang melompat dari ketinggian.

Orang-orang itu tak punya pilihan lain untuk selamat. "Tewas karena menghirup asap, terbakar hidup-hidup, atau melompat," kata Charlie.

Ketika ia menaiki feri, Charlie mendengar suara gemuruh. Menara Selatan WTC kolaps di depan mata.

"Kurang dari semenit, dok kapal di mana kami berdiri penuh dengan debu dan puing."

 


Dihantui Perasaan Bersalah

Mackenzie (kanan) dan Madison Miller dari Avonmore, Pa., Mengunjungi Wall of Names di Flight 93 National Memorial di Shanksville, Pa., Kamis, 10 September 2020, saat negara bersiap untuk memperingati 19 tahun serangan 11 September 2001. (AP Photo / Gene J. Puskar)

Charlie Gray selamat dari Serangan 9/11, namun ia kehilangan 20 temannya. Ia bertemu seorang di antaranya di lobi Menara Utara sebelum pesawat pertama ditabrakkan. Itu perjumpaan terakhir mereka.

Tak ada cedera fisik yang dialaminya. Namun, psikiater kemudian mendiagnosisnya mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD) yang disebut "gangguan rasa bersalah".

"Saya sulit memahami mengapa banyak orang yang tewas, sementara saya tidak," tambah Charlie. Ia pun pindah dari Amerika Serikat.

Setelah kembali ke Inggris pada tahun 2016, dia menjadi seorang motivator, memberikan inspirasi dan semangat pada banyak orang. Namun, Charlie tak bisa membohongi dirinya sendiri, ia masih berjuang mengatasi gangguan emosional akibat Serangan 9/11.

"Tapi saya menemukan bahwa membicarakannya dan berbagi pengalaman dengan banyak orang membantu saya melewatinya."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya