PPDI Ubah Fungsi Surat Keterangan Sehat Guna Tepis Kesenjangan Kerja Penyandang Disabilitas

Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) tahun ini terlibat dalam program Penguatan Kapasitas Jaringan Advokasi di Asia Tenggara.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Sep 2021, 10:00 WIB
Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Ghufron Sakaril (Foto: Tangkapan layar Youtube Kemensos RI)

Liputan6.com, Jakarta Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) tahun ini terlibat dalam program Penguatan Kapasitas Jaringan Advokasi di Asia Tenggara.

Program tersebut berjalan serentak di 7 negara yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Kamboja dan Laos melalui dukungan International Foundation for Electoral Systems (IFES).

Melalui program ini, PPDI telah melakukan serangkaian kegiatan untuk mengadvokasi pemenuhan kuota kerja dan inklusi disabilitas sebagai bagian dari skema pemulihan akibat dampak COVID-19 di Indonesia.

Hasil kegiatan dipaparkan pada webinar Pemenuhan Hak atas Pekerjaan yang Layak bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia pada Kamis, 9 September 2021 di Jakarta.

Salah satu hasil dari webinar tersebut adalah perubahan sudut pandang dalam penggunaan Surat Keterangan Sehat yang selama ini sangat ditakuti oleh penyandang disabilitas.

“Sebab, berpotensi menggagalkan calon tenaga kerja penyandang disabilitas karena dengan surat tersebut penyandang disabilitas dianggap tidak sehat secara jasmani maupun rohani,” kata Ketua Umum PPDI Gufroni Sakaril mengutip keterangan pers PPDI, Kamis (9/9/2021).

Maka dari itu, fungsi surat ini diubah menjadi surat keterangan untuk menentukan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas agar dapat bekerja secara optimal.


Kesenjangan Pendidikan Disabilitas

Data terbaru dari kajian terhadap indikator kesejahteraan rakyat yang dipublikasikan oleh BPS pada 2020 menunjukan bahwa masih terjadi kesenjangan pendidikan antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas.

Selain itu, ketimpangan yang terjadi semakin dalam seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan. Secara umum, pada 2019, persentase anak berumur 16-18 tahun baik disabilitas maupun non-disabilitas yang mengikuti pendidikan SMA/sederajat mencapai 72,36 persen.

Namun, hanya sekitar 43,61 persen dari anak penyandang disabilitas yang mempunyai peluang sampai ke jenjang pendidikan ini.

Rendahnya akses pendidikan penyandang disabilitas ini berdampak langsung terhadap kesempatan kerja. Hingga saat ini kesempatan penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan di sektor formal masih menghadapi tantangan dan permasalahan. Baik dari sisi internal penyandang disabilitas sendiri maupun dari eksternal berupa diskriminasi ketenagakerjaan.

Hal ini mengakibatkan rendahnya partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Kondisi ini mendorong penyandang disabilitas lebih banyak bekerja di sektor informal yang saat ini lebih rentan terpuruk lebih dalam secara ekonomi akibat pandemi COVID-19.


Pemicu Kesenjangan

Gufroni mencatat setidaknya terdapat tiga faktor utama yang memicu kesenjangan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas.

Ketiga faktor tersebut yakni:

-Kesenjangan keterampilan yang dimiliki.

-Rendahnya tingkat pendidikan penyandang disabilitas.

-Masih banyaknya sikap serta praktik diskriminatif di masyarakat dan lingkungan kerja terhadap penyandang disabilitas.


Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya