, Kabul - Khalid Shinwari (25) merasa lega setelah berhasil melarikan diri dari Afghanistan yang kini dikuasai Taliban. Ia berhasil mencapai Pakistan dalam beberapa hari terakhir.
Shinwari mengaku ia dan keluarganya pertama kali pindah ke Pakistan pada tahun 1990-an, tepatnya saat perang saudara melanda Afghanistan yang akhirnya membawa Taliban berkuasa.
Advertisement
"Ayah saya berpikir bahwa Pakistan akan menjadi tempat yang aman untuk dikunjungi, mengingat situasi yang bergejolak di Afghanistan," katanya, seraya menambahkan bahwa keluarganya menetap di Kohat. "Kami menghabiskan beberapa tahun di kota itu bekerja keras siang dan malam."
Ternyata pada tahun 2007, situasi di Afghanistan kembali stabil dan banyak investasi mulai masuk ke negara itu, yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan bisnis yang berkembang pesat, kata Shinwari.
"Kami lantas memutuskan untuk kembali ke negara kami," ungkapnya kepada DW. Keluarganya pun senang bisa kembali ke tanah air mereka meskipun ada gejolak di beberapa bagian negara, demikian dikutip dari DW Indonesia, Sabtu (11/9/2021).
Khawatir Akan Nasib Anak Perempuan
Runtuhnya pemerintah sipil Afghanistan dan pengambilalihan cepat negara itu oleh Taliban pada bulan lalu kini membuat keluarga Shinwari ketakutan.
"Ada desas-desus di daerah yang berdekatan dengan kami bahwa Taliban akan meminta anak perempuan. Saya memiliki empat saudara perempuan, dua di antaranya belum menikah. Kami melakukan perjalanan yang sulit untuk menyelamatkan dua saudara perempuan saya yang belum pernah melakukan pernikahan ini," tutur Shinwari.
"Saya tidak ingin mereka dipaksa menikah dengan pejuang Taliban," tambahnya.
Meski meninggalkan rumah leluhurnya terasa menyakitkan, tetapi dia harus mengambil langkah itu demi kedua saudara perempuannya.
"Kami harus berjalan kaki selama tiga hari, membayar petugas transportasi yang berbeda yang membawa kabur uang kami. Kami meninggalkan segalanya di rumah kami dan sekarang kami tinggal di Rawalpindi. Saya bekerja di sebuah restoran sementara saudara laki-laki saya yang lain juga bekerja. Kami senang saudara perempuan kami aman sekarang," katanya.
Senada dengan Shinwari, seorang penjual sayur bernama Tariq Khan, yang juga berasal dari Nangarhar, mengatakan bahwa dia meninggalkan Afghanistan karena khawatir dengan keselamatan putrinya yang berusia 10 tahun.
"Saya tidak ingin para militan ini memandang buruk putri saya. Khawatir akan keselamatan putri saya, saya datang ke sini ketika Taliban menguasai daerah pedesaan."
"Sekarang, ketakutan terburuk saya menjadi kenyataan," katanya, seraya menambahkan bahwa kakak laki-lakinya Mir Bacha memiliki tiga anak perempuan berusia antara 12 dan 17 tahun. Saudara laki-lakinya yang lain, Majid Khan, memiliki empat anak perempuan berusia antara 10 dan 16 tahun.
"Mereka semua khawatir tentang putri mereka, takut bahwa Taliban pasti akan meminta mereka untuk menikahkan anak perempuan dengan militan mereka," ujar Khan.
Mengincar Perempuan
Syed Muhammad Ullah, seorang pemuda dari distrik Jaghori di provinsi Ghazni, dahulu mengelola fasilitas kebugaran di kota kelahirannya. Dia mengatakan kepada DW bahwa desas-desus tersebar luas bahwa Taliban mengumpulkan informasi tentang perempuan muda yang belum menikah dan janda.
"Ini bukan hanya rumor. Memang benar bahwa Taliban telah mengumpulkan informasi tentang perempuan-perempuan muda dan janda-janda. Ini membuat takut banyak keluarga, yang kemudian bermigrasi ke Pakistan," tutur Ullah.
Anwar Hussaini, seorang etnis Hazara dari distrik yang sama, mengatakan bahwa dia bersama keluarga harus melarikan diri karena khawatir akan rumor tersebut. Putrinya, Fariba Hussaini, mengatakan bahwa karena dia adalah seorang guru yang bekerja untuk sebuah LSM, dia harus melarikan diri bersama anggota keluarganya untuk menghindari Taliban.
Kepada DW, Ali Raza, dari kota Quetta di Pakistan barat, mengatakan bahwa Taliban berusaha memberi kesan di daerah perkotaan Afghanistan bahwa mereka telah berubah. "Tetapi di daerah pedesaan mereka tidak hanya menargetkan mantan pegawai pemerintah, tetapi juga berniat menyakiti perempuan, memaksa mereka meninggalkan rumah mereka."
Dalam beberapa hari terakhir ada laporan tentang beberapa perempuan Pakistan yang menikah dengan pria Afghanistan, kembali dari provinsi Badakhshan di Afghanistan ke wilayah Gilgit-Baltistan utara Pakistan. Mereka ditemani oleh saudara perempuan suami mereka dan perempuan lain. Mereka kembali ke Pakistan karena khawatir para perempuan yang belum menikah bisa menjadi korban pernikahan paksa angota Taliban.
Seorang juru bicara pemerintah Gilgit-Baltistan, Ali Taj, membenarkan bahwa sekitar 55 keluarga, termasuk perempuan yang menikah dengan warga Afghanistan, telah kembali ke wilayah tersebut. Namun, dia mengatakan kepada DW bahwa para perempuan itu kembali karena situasi keamanan yang tidak menentu di negara yang dilanda perang itu.
Masih banyak yang berencana untuk melarikan diri. Warga Afghanistan yang melarikan diri ke Pakistan mengatakan bahwa janji Taliban tidak dapat dipercaya.
"Ada banyak ketakutan di antara orang-orang pada umumnya, dan di kalangan non-Pashtun terutama karena masa lalu para militan," kata Syed Muhammad Ullah.
Aktivis Hazara mengatakan lebih dari 7.000 orang komunitas mereka telah tiba di Pakistan dalam beberapa minggu terakhir. Banyak dari mereka berencana untuk pergi ke negara lain dari Pakistan.
Advertisement