Liputan6.com, Jakarta - Tak sedikit cerita mengenai nasib musisi yang hidup susah di hari tuanya. Personel Koes Plus, mendiang Yon Koeswoyo, misalnya. Legenda musik itu kesulitan membayar pengobatan dan perawatan rumah sakit.
Kondisi ini membuat beberapa penggemar Koes Plus memberi sumbangan untuk biaya pengobatan Yon. Bahkan, menurut gitaris Gigi, Dewa Budjana, seperti dikutip Fimela, ketika dia bertanya langsung, Yon Koeswoyo mengaku seumur hidup tidak pernah mendapat royalti.
Kisah miris juga dialami Syam Permana. Ia merupakan pencipta lagu dangdut populer di era 90-an. Penyanyi dangdut seperti Inul Daratista, Meggy Z, Imam S Arifin, hingga Ine Shintya pernah membawakan lagu ciptaan Syam Permana.
Baca Juga
Advertisement
Syam hanya menerima royalti sebesar ratusan ribu rupiah per tahun. Dia pun sempat menjadi pemulung untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena uang dari royalti jauh dari kata cukup.
Selain itu, beberapa kejadian juga mengungkap bagaimana para pencipta lagu menjual putus karya mereka ke publisher atau label rekaman, sehingga pemegang hak cipta beralih. Kondisi keuangan pula yang biasanya menjadi alasan para pencipta lagu memilih langkah ini.
Isu royalti lagu atau musik pun sudah sejak berpuluh-puluh tahun menjadi permasalahan yang rajin diperbincangkan. Peraturan demi peraturan dibuat agar hak ekonomi komposer atau pencipta lagu terpenuhi.
Regulasi Terbaru
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik menjadi regulasi terbaru yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2021. Dalam Pasal 3 PP 56/2021 sendiri menyebutkan, setiap orang bisa menggunakan lagu dan atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan catatan harus membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta dan atau pemilik hak terkait.
Menurut PP No. 56, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) bertugas menarik royalti untuk kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota maupun yang belum menjadi anggota suatu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
LMK adalah lembaga nirlaba dengan pendanaan non-APBN yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti berdasarkan amanat Undang Undang Hak Cipta. Royalti yang dikumpulkan LMKN selain didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait, juga dipakai untuk dana operasional dan dana cadangan.
Sementara itu, bentuk layanan publik bersifat komersial yang harus membayar royalti sebagaimana dimaksud dalam PP 56 tahun 2021 yaitu: Seminar dan konferensi komersial; Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek; Konser musik; Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut; Pameran dan bazar; Bioskop; Nada tunggu telepon; Bank dan kantor Pertokoan; Pusat rekreasi; Lembaga penyiaran televisi; Lembaga penyiaran radio; Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; Usaha karaoke.
Dengan keberadaan PP 56 Tahun 2021 ini, diharapkan mampu merangkai benang kusut pengelolaan hak cipta lagu dan musik Indonesia, sekaligus menjamin kisah-kisah musisi atau pencipta lagu yang tidak memperoleh hak ekonominya hingga menyebabkan hidupnya melarat, setidaknya berkurang.
Regulasi ini juga dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait hak ekonomi, lagu, dan musik dari setiap orang yang memakainya untuk kepentingan bisnis atau komersil.
Perlu Sosialisasi
Mantan kibordis band Kerispatih, Doadibadai Hollo atau yang akrab disapa Badai, menilai sosialisasi dan edukasi masyarakat mengenai aturan royalti masih perlu digalakkan lagi. Kendati begitu, lahirnya PP 56 tahun 2021 diakuinya sebagai bukti negara hadir untuk permasalahan musik di tanah air.
Sesungguhnya, sebelumnya Indonesia sudah memiliki produk Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang sebenarnya juga telah mengatur tentang bagaimana pembayaran royalti. Sementara hak-hak dari pencipta lagu dan cara pendistribusiannya sesungguhnya juga sudah diatur dalam Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) pada UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
"Di Indonesia banyak yang tidak paham soal karya cipta, soal royalti, soal performance. Nah, kita ini harus konsisten mensosialisasikan ini secara besar-besaran," jelas Badai, yang juga pendiri Komunitas Pencipta Lagu Indonesia (Komplanesia) kepada Liputan6.com.
Badai, yang sudah menciptakan ratusan lagu, mengatakan, butuh keberanian, konsistensi, serta pengetahuan agar regulasi terkait royalti dan hak cipta dapat dijalankan secara maksimal. Menurut dia, masyarakat perlu tahu bahwa ada peraturan yang wajib dipatuhi jika menggunakan karya cipta orang lain di ruang bisnis. Para musisi juga diminta tidak diam dan rajin mensosialisasikan tentang aturan royalti dan hak cipta melalui platform-platform media sosial mereka.
Yang terpenting saat ini bagi Badai adalah kesadaran dari stakeholder bahwa ketika memakai lagu atau musik orang lain secara bisnis, ada hak ekonomi dari pencipta lagu yang wajib dibayarkan. Selain itu, hak moral pencipta lagu juga harus ditulis dalam deskripsi-deskripsi pada media yang dipakai seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan yang lainnya.
"Hal kecil dulu deh, dari situ baru kita ngomongin duitnya. Orang kebiasaannya saja belum bisa diperbaiki, ini kita sudah ngomongin duit," ujar The Pianoman, lagi.
Mengingatkan User Bayar Royalti
Musisi sekaligus Pendiri Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), Candra Darusman, menilai positif hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik. Pria yang pernah berkibar dengan Chaseiro dan Karimata di era 1980-an dan 1990-an ini, melihat ada dua bagian krusial dari PP tersebut.
"Bagian pertama adalah mengingatkan para user, para pengguna lagu untuk membayar royalti. Royalti sebenarnya sudah berjalan sejak 1991, tapi dengan PP 56/2021 ini untuk mengingatkan lagi kepada mereka yang belum bayar," kata Candra kepada Liputan6.com.
Bagian kedua adalah akan dibentuknya Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM). Hal ini ditujukan untuk memperbaiki royalti agar lebih akurat dan lebih adil.
"Sekarang database lagu itu ada masing-masih per Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan formatnya lain-lain. Ini mesti digabung semuanya, supaya tidak tumpang tindih, tidak double, dan disatukan semuanya dalam satu database nasional."
Candra mengatakan, dengan PP 56/2021 ini, semua pencipta lagu akan mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh royalti. Walaupun, nilainya akan berbeda-beda.
"Bagi mereka yang produktif, yang lagunya banyak diputar, itu jelas akan membuat mereka lebih sejahtera. Kalau lagunya sedang hits, sedang digemari, itu yang mendapat royalti yang bagus. Tapi kan tidak semua pencipta lagu yang lagunya diputar. Semua tergantung prestasi dan karya juga," ujarnya.
Di tahun-tahun sebelumnya, nilai royalti yang diterima pencipta lagu diperkirakan masih di bawah angka sesungguhnya. Selain itu, pembagiannya juga belum adil, belum sempurna.
"Makanya PP 56/2021 ini untuk mengingatkan kembali para pengusaha untuk membayar royalti. Soal pembagiannya juga diperbaiki dengan PDLM dan SILM," ujar penggagas acara musik live Jazz Goes to Campus itu menambahkan.
Candra mengatakan, tahun 2019 royalti keseluruhan mencapai angka sekitar Rp88 miliar, namun di tahun berikutnya turun hampir setengahnya karena pandemi. "Ya kita maklum karena pengusaha selama pandemi banyak yang susah, tapi banyak juga yang belum bayar."
Penghitungan Royalti
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Yurod Saleh, mengklaim pihaknya mampu mengumpulkan royalti sebanyak lebih dari Rp59 miliar pada tahun 2020. Angka itu 66 persen dari target LMKN. Dari angka itu, sejumlah Rp51 miliar telah didistribusikan kepada para pemegang hak musik atau lagu.
Pada tahun 2019, LMKN sesungguhnya juga berhasil mengumpulkan royalti dengan angka yang lebih besar yakni Rp88,5 miliar. Sebesar Rp76 miliar telah didistribusikan lembaga independen ini kepada para pemegang hak.
"Tahun ini dan 2020 tentu saja turun angka-angkanya karena terpengaruh pandemi. Bidang usaha seperti hotel, restoran, cafe, dan karaoke bahkan tutup selama pandemi. Otomatis kami tidak bisa mengumpulkan royalti dari mereka," beber Yurod Saleh.
Sementara itu untuk tahun 2021, LMKN hanya menargetkan pengumpulan royalti dari platform daring yaitu sebesar Rp65 miliar. Sejauh ini, royalti yang dikumpulkan LMKN baru Rp18 miliar.
Lalu, sebenarnya berapa biaya yang mesti dikeluarkan tempat-tempat yang memainkan musik di ruang bisnis untuk membayar royalti lagu atau musik? Berikut daftar tarifnya seperti dilansir dari situs resmi LMKN.
- Kafe dan Restoran
Pengusaha kafe dan restoran bakal dikenakan tarif royalti untuk pencipta lagu atau musik yang diputarkan sebesar Rp 60.000 per kursi dalam tiap tahunnya. Besaran biaya itu juga pun sama untuk royalti ke pemilik hak terkait. - Pub, Bar, dan Bistro
Pengusaha Pub, Bar, dan Bistro bakal dikenakan tarif royalti untuk pencipta lagu atau musik yang diputarkan sebesar Rp 180.000 per meter kubiknya dalam tiap tahunnya. Besaran biaya itu juga sama untuk royalti ke pemilik hak terkait.
- Diskotek dan Klub Malam
Pengusaha diskotek dan klub malam akan dikenakan tarif royalti untuk pencipta lagu atau musik yang diputarkan sebesar Rp250.000 per meter perseginya dalam tiap tahunnya. Sementara untuk pemilik hak terkait besaran tarifnya Rp180.000 per meter persegi dalam tiap tahunnya.
- Pesawat, Kapal Laut, Bus, dan Kereta Api
Untuk di dalam pesawat yang tengah terbang, perhitungan besaran tarif royalti lagunya berdasarkan jumlah penumpang x tarif indeks x durasi musik selama terbang x persentase tingkat penggunaan musik. Sedangkan untuk pesawat yang sedang berada di darat atau on ground perhitungan tarifnya, yakni tarif indeks x jumlah penumpang x durasi musik.
Lalu, untuk moda transportasi kapal laut, bus dan kereta api cara perhitungan tarif royalti lagu atau musiknya, yaitu jumlah penumpang x tarif indeks x durasi musik saat perjalanan x prosentase tingkat penggunaan musik.
- Nada Tunggu Telepon
Untuk nada tunggu telepon royalti lagu yang harus dibayarkan untuk pencipta dan pemilik hak terkait sebesar Rp 100.000 per sambungan telepon
- Bank dan Kantor
Royalti lagu atau musik yang harus dibayarkan pemilik bank dan kantor untuk pencipta dan pemilik hak terkait sebesar Rp 6.000 per meter persegi dalam tiap tahunnya. - Gedung Bioskop
Tiap lagu atau musik yang diputar di dalam gedung bioskop dikenakan tarif royalti untuk pencipta dan pemilik hak terkaitnya sebesar lumpsum Rp 3,6 juta per layar dalam tiap tahunnya.
- Pameran dan Bazar
Royalti yang mesti dibayarkan penyelenggara pameran dan bazar kepada pencipta atau pemilik hak terkait dari lagu atau musik yang diputar sebesar lumpsum Rp1,5 juta per harinya.
Advertisement
Tumpang Tindih LMK dan LMKN
Sejak 2009, Badai eks Kerispatih mengaku telah bergabung dengan Wahana Musik Indonesia (WAMI), yang merupakan salah satu LMK. Dia menilai transparansi penerimaan royalti yang diberikan WAMI selama ini sudah cukup baik. Namun, dia berpendapat, LMK belum memiliki kemampuan maksimal dalam penagihan royalti kepada gerai-gerai yang memainkan atau memutar lagu para komposer.
Tapi, setelah PP 56 Tahun 2021 diterbitkan, kini pusat penagihan royalti dialihkan kepada LMKN. Badai pun jadi mempertanyakan mengenai status LMK sekarang, setelah peralihan tersebut.
"Kita juga mempertanyakan kalau misalnya LMKN yang menagih, berarti fungsi LMK ini sebagai apa?"
Dari pembagian 100 persen royalti, diketahui LMKN menerima 20 persen dan LMK juga menerima 20 persen, baru 60 persen lainnya diberikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait.
Selain itu, terdapat fakta unik soal pencipta lagu yang belum menjadi anggota LMK, di mana mereka tidak akan menerima hak ekonominya dari royaltinya. Anehnya, royalti mereka malah dibagikan kepada para anggota LMK bersangkutan apabila selama dua tahun belum juga diklaim.
Jadi, anggota-anggota LMK itu menerima penghasilan dari royalti orang lain. Tidak sedikit memang pencipta lagu yang belum mendaftarkan diri ke LMK. Badai pun berharap para komposer yang belum terdaftar di LMK diberikan akses memperoleh royaltinya.
"Setiap pencipta lagu atau komposer itu punya hak untuk tidak bergabung atau mau bergabung (ke LMK). Tapi, yang tidak bisa digeser haknya adalah royaltinya dia. Itu mutlak, absolut, itu punya dia," Badai menegaskan.
Sementara itu, menurut Ketua LMKN, Yurod Saleh, masih ada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang belum setuju penarikan royalti menjadi satu pintu. Hal itu menjadi kendala LMKN dalam mengumpulkan royalti.
Sampai saat ini, Yurod mengaku pihaknya terus berupaya menjelaskan secara persuasif kepada LMK mengenai situasi yang sekarang.
Selain itu, LMKN juga berusaha membuat sosialisasi tarif kepada Pengguna Komersial dan pedoman tentang Sistem Distribusi Royalti. Sedangkan untuk SILM (Sistem Informasi Lagu atau Musik), masih dalam proses pembuatan.
"Kami juga menghadapi keberatan dari sebagian Pengguna Komersial lagu dan/atau musik terkait Tarif Royalti dan belum adanya sistem kontrol Distribusi Royalti yang sampai kepada Pemilik Hak,” ungkap Yurod.
Standarisasi
Dalam PP 56 tahun 2021 ini menyebut tentang pembangunan Sistem Informasi Lagu atau Musik (SILM), sebuah pusat data musik dan lagu di Indonesia. Nantinya, distribusi royalti dilakukan berdasarkan laporan penggunaan data lagu atau musik yang terdapat dalam sistem tersebut.
Menurut Music Publisher, Bayu Randu, yang merupakan CEO Founder Music Blast, PP 56 tahun 2021 akan lebih banyak berbicara tentang database, bukan menitikberatkan pada proses pengkolektifan royalti. Bayu berpendapat, Indonesia memang butuh sistem database agar pendataannya lebih bagus.
Music publisher adalah pihak yang mengelola, mengadministrasi, dan mengekploitasi hak cipta. Mereka adalah pihak yang diberi kuasa oleh pemegang hak cipta untuk menangani lagu ciptaannya yang bersifat komersial. Mulai dari mengurusi Hak Reproduksi, Hak Distribusi, Hak Derivatif, sampai dengan Hak Performing Rights. Music publisher bekerja di ranah lisensi dan pengelolaan royalty penggunaan musik.
"Pengolahan database pencipta lagu, saya pikir ini sangat penting, harus dikawal, jangan dipatahkan," kata Bayu Randu, yang juga merupakan produser musik, kepada Liputan6.
Sistem di Indonesia saat ini masih sangat manual. Hal ini juga menyebabkan harga royalti bisa berbeda-beda, karena semua tergantung publisher atau pemegang hak cipta lagunya. Bahkan, kata Bayu, ketika ingin memakai lagu orang lain, ada kesulitan untuk mencari siapa publisher-nya.
"Harganya bisa beda, misalnya karena perusahaan besar yang mau pakai lagu Si A, harganya bisa dimahalin sampai Rp50 juta. Sementara ketika ada brand kecil yang mau pakai lagu Si A, harganya hanya Rp5 juta," ujar Bayu yang telah memproduseri band-band/solois rock kugiran seperti Candil, Funky Kopral, Jikunspain, Bless The Knigth, Death Distortion dan lainnya.
Dengan SILM Bisa Lebih Cepat
Bayu berpendapat, apabila SILM ini sudah bisa dijalankan, sistemnya akan bisa lebih cepat dari yang sekarang, karena ketika ingin memakai lagu tertentu, sudah diketahui publisher-nya siapa dan harganya berapa. Di beberapa negara maju pun sudah menerapkan sistem seperti itu.
Dia mengambil contoh bagaimana sistem yang sudah berjalan di Music Blast, ketika ada yang hendak meng-cover lagu dari artis tertentu, maka user itu tinggal melampirkan lagunya berbentuk MP3 disertai judul lagu dan artisnya. Setelah memperoleh izin dari rekanan di luar negeri, langsung bisa digunakan dan prosesnya begitu mudah.
"Kita tinggal klik aja, misalnya Justin Bieber lagu apa, keluar itu harganya, tidak gede, misalnya hanya untuk dijual di Spotify, USD29. Kalau untuk dijual di YouTube juga misalnya, itu sudah ada rate-nya USD100. Entah siapa saja yang pakai, rate-nya ya itu," bebernya.
Jadi, harga royalti yang ditawarkan tidak tergantung siapa yang akan memakainya. Siapapun di belahan dunia yang akan memakai lagu itu, harganya serupa. Menurut Bayu, sistem seperti itu sudah berjalan di luar negeri sehingga industri musiknya hidup dan berkembang pesat.
Di sisi lain, Badai eks Kerispatih, menilai, ini menjadi PR besar bagi stakeholder musik di Indonesia dan para pengambil kebijakan. Dia berharap mengenai masalah tarif royalti dan lisensi musik atau lagu dapat melalui konsensus bersama. Situasi yang terjadi saat ini, kata Badai, karena masing-masing memiliki perspektif sehingga perlu duduk bersama menentukan semua publishing dan menetapkan tarifnya.
"Kalau bicara konsensus ya, semua pikiran harus dikosongin dulu. Jadi, jangan datang dengan 'gelas yang sudah diisi'. Kalau sudah diisi, ya susah kita isi dengan yang baru lagi kan," tutur Badai.
Menanti Aturan Dunia Digital
PP 56/2021 yang ada saat ini hanya mengatur khusus royalti musik di tempat-tempat umum. Sementara untuk dunia digital belum ada aturan mainnya.
Yang terjadi selama ini hanyalah kesepakatan pribadi antara platform dan publisher. Masalah timbul karena masih banyak pencipta lagu Indonesia yang tak memiliki publisher, terutama musisi di generasi-generasi sebelumnya.
"Kalau sekarang, ada aturan yang disepakati misalnya antara YouTube dengan publisher, tapi ada banyak sekali pemilik hak yang belum kecipratan dari YouTube. Bagi mereka yang tidak tergabung dari publisher, ya belum dapat royaltinya. Ini yang masih harus diatur lagi," beber Candra Darusman.
Ia mengatakan, untuk musik digital seperti di Spotify dan YouTube, sebagian sudah membayar ke publisher, walau belum semuanya.
"Jadi lubang atau gapnya ada di sini. Karena itu untuk yang digital akan dibikin PP lagi dan diatur lagi," ucap dia.
Advertisement