Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan tentang childfree belakangan ini kian mengemuka. Keputusan untuk tidak memiliki anak dalam menjalani pernikahan tersebut memantik perdebatan di masyarakat.
Childfree merupakan istilah untuk orang-orang yang memilih kehidupan tanpa anak. Saat ini, ada orang-orang yang menginginkan tidak punya anak, baik mereka bisa mempunyai anak, maupun mereka yang tidak bisa punya anak. Menurut penulis buku Childfree & Happy, Victoria Tunggono, pemikiran orang untuk tidak punya anak itu sudah ada pada awal 1800-an, tapi belum menggunakan istilah childfree.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi, orang-orang yang memilih tidak mau melahirkan dan tidak ingin mempunyai anak kandung di rumahnya, itulah yang disebut childfree," ujar Victoria saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 9 September 2021. Dalam pandangan Victoria, lima alasan yang membuat seseorang memilih untuk childfree.
Pertama, alasan biologis, seperti ada cacat atau DNA, genetik dan lainnya, sehingga dia tidak mau punya anak. Kedua, alasan psikologis. Miasalnya, seseorang memiliki ketidakmampuan mental untuk menjadi orangtua. Karena ketidakmampuan psikologis itu, mereka tidak ingin anaknya menjadi korban amarah orangtuanya.
Ketiga, alasan finansial atau keuangan. Misalnya, mereka yang sejak kecil tumbuh di dalam lingkungan yang tidak berada. Keempat, alasan lingkungan hidup. Mereka mungkin secara keuangan, fisik, psikologis tidak bermasalah, tapi dia melihat dunia ini semakin hancur. Salah satu faktor yang merusak lingkungan hidup adalah manusia.
"Kelima, alasan filosofis. Misalnya, buat apa melahirkan satu jiwa lagi, sementara di luar sana banyak anak yang telantar dan membutuhkan kasih sayang, seperti anak-anak yatim piatu, anak yang tidak mampu lainnya," papar Victoria.
Sejak dua bulan belakangan ini, lanjut Victoria, orang sudah mulai banyak yang mengetahui dan paham apa itu childfree. Ada yang mau mendukung, meski orang itu tetap mau punya anak, dan ada juga yang merasa takut dengan orang-orang yang childfree karena manusia bisa punah. Padahal, childfree itu satu atau dua persen dari populasi Indonesia.
"Indonesia itu memiliki beberapa ratus juta populasi. Jadi, kalau ada childfree satu atau dua persen, maka tidak akan memengaruhi populasi Indonesia, karena orang Indonesia itu punya anak tidak hanya satu, bisa tiga atau empat anak dalam satu keluarga. Jadi, anggapan manusia akan punah karena childfree itu tidak benar," ujar Victoria.
Namun, ia menyebut tekanan di Indonesia bagi orang yang mengambil keputusan itu relatif lebih berat. Pasalnya, ada kebiasaan orang untuk mempertanyakan kapan menikah dan punya anak.
"(Padahal) kebahagiaan itu tidak dari anak, tapi kebahagiaan itu dari diri sendiri, sementara anak itu bonus. Jika ia tidak bahagia dengan diri sendiri, maka anak akan dijadikan alasan," ucap Victoria yang menilai childfree belum menjadi sebuah fenomena di Indonesia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Childfree Picu Introspeksi
Sementara itu, menurut psikolog Lely Safrina, dalam perspektif psikologi, keputusan untuk memilih punya anak atau tidak termasuk urusan personal. "Secara general, mereka bebas saja untuk memilih punya anak maupun tidak," ujar Lely saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 10 September 2021.
Banyak hal yang membuat orang memutuskan untuk tidak punya anak. Salah satunya seperti peristiwa yang tidak menyenangkan waktu kecil. Selain itu, keputusan juga dianggap sah-sah saja bila orang tersebut hidup di negara yang tidak mendukung seseorang untuk punya anak.
"Orang hanya diberi cuti hanya tiga bulan merawat bayi. Bagaimana jika mereka yang tidak punya orangtua untuk membantu mengurus anaknya, dan tidak punya social support? Maka anak harus dititip di day care, karena harus bekerja. Kalau tidak masuk kerja, maka tidak akan punya duit," kata psikolog yang sedang menyelesaikan studi doktoral di Universitas Groningen, Belanda.
Jika memandang secara positif, pengambil kebijakan harus melihat alasan keinginan orang untuk tidak punya anak itu muncul. Kata Lely, childfree ini sebagai pemicu semua pihak untuk berpikir bagaimana caranya orang bahagia memiliki anak, bukan malah dianggap beban.
"Karena punya anak-anak itu penting. Negara-negara maju itu sekarang kekurangan usia produktif karena orang memilih untuk tidak punya anak. Itu berbahaya juga bagi suatu negara, seperti Jepang, Belanda. Usia produktif di negara mereka itu sudah berkurang, lebih banyak usia senja daripada usia produktif," imbuh Lely.
Meski begitu, Lely menampik anggapan bahwa di luar negeri susah untuk punya anak karena mahal biaya hidupnya. Lely mengatakan benefit untuk anak-anak sangat banyak, seperti di Belanda.
"Day care sangat murah, ada benefit jika orangtua bekerja, dapat suppport dari pemerintah. Jadi, sangat difasilitasi oleh pemerintah, bahan pokok murah, susu untuk anak juga murah. Jadi, lebih gampang punya anak di negara maju dibandingkan dengan di Indonesia," kata Lely.
Sebagai seorang orangtua, Lely mengatakan ingin memiliki anak yang berkualitas, bukan sekadar lahir, punya anak, terus anaknya dititipkan atau diserahkan ke sekolah. "Kalau mau contoh, seperti Finlandia, di mana ibu yang melahirkan itu bisa cuti selama dua atau tiga tahun, tapi gajinya di-support oleh negara. Enak sekali kan kalau punya anak di sana," ungkap Lely.
Lely melihat saat ini mulai banyak orang yang memilih untuk menjadi single forever karena sudah mapan secara penghasilan. Ia menilai childfree pun akan berkembang.
"Jadi, pernikahan itu sudah banyak yang meragukan. Kalau misalnya pemerintah peduli, mungkin harus merevisi yang namanya hak-hak anak dan hak seorang ibu. Jadi, tidak hanya menyalahkan konsep berpikirnya orang, tapi bagaimana caranya agar orang tidak childfree, kalau childfree itu dianggap salah," papar Lely.
Advertisement
Kesepakatan Bersama
Secara terpisah, psikolog klinis Lita Gading sepakat dengan Victoria bahwa saat ini childfree belum menjadi sebuah fenomena. Namun, Lita memandang bahwa ke depan, childfree bisa saja menjadi fenomena.
"Di negara maju, childfree hal yang sudah lama ada. Mereka berpikir kompleks bahwa menjadi orangtua itu bukan sekadar kesiapan materi saja, tapi juga dari sisi kesiapan mental. Mereka hidup tak hanya untuk mengurus anaknya saja. Mereka tidak mau "dipersulit" dengan kehidupan lain dalam rumah tangganya," ujar Lita kepada Liputan6.com, Jumat, 10 September 2021.
Berbeda dengan anggapan di Indonesia yang selama ini berkembang, banyak anak itu banyak rezeki. Padahal, masyarakat Indonesia masih dalam menengah ke bawah.
"Ada kemungkinan ke depannya orang akan mengarah kepada childfree. Namun, kesepakatan itu harus diambil bersama-sama, tidak boleh sendiri-sendiri," ujar Lita.
Oleh karena itu, sambung Lita, kehadiran konseling pernikahan saat ini sangat penting karena akan meminimalisir sesuatu yang kurang disepakati dalam mengarungi rumah tangga. Konseling akan memfasilitasi pasangan untuk memahami kepribadian satu sama lain sembari menetapkan tujuan pernikahan itu.
"Apakah kemudian mereka akan bahagia dengan keputusannya itu, kembali lagi pada pribadi masing- masing. Kalau mereka memang memutuskan untuk tidak punya anak dalam kesepakatan itu, ya, sudah. Mereka tentu akan enjoy-enjoy saja," kata Lita.
Kecuali, kata Lita, jika sejak awal suaminya tidak ingin punya anak, sementara istrinya menginginkan punya anak. Hal itu bisa memicu pertengkaran. "Kondisi itu bisa membuat bumerang dalam rumah tangga. Itu bukan berarti suami atau istrinya mandul, tapi mereka sejak awal menginginkan tidak punya anak," kata Lita.
Infografis Mengenal 8 Fungsi Keluarga
Advertisement