Liputan6.com, Jakarta - Tingginya angka prevalensi perokok di Indonesia berpotensi terus menambah masalah terhadap kesehatan publik. Sehingga produk tembakau alternatif dinilai dapat menjadi terobosan baru dalam menurunkan jumlah perokok sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tembakau.
“Produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik maupun snus, sejauh ini telah menerapkan konsep pengurangan risiko tembakau (tobacco harm reduction) terhadap kesehatan,” kata Wakil Ketua Yayasan Manusia Welas Asih (Mawas) Dimas Syailendra dikutip dari Antara, Sabtu (11/9/2021).
Advertisement
Ia menjelaskan berdasarkan sejumlah penelitian baik dari dalam dan luar negeri, produk rokok elektrik maupun snus ini disebut lebih rendah risiko hingga 90-95 persen dari pada rokok konvensional.
Sementara dari sisi penerimaan negara, pada 2018 produk tembakau alternatif yang masuk kategori hasil produk tembakau lainnya (HPTL) mencatatkn penerimaan cukai hingga Rp 99 miliar.
Jumlah ini pun mengalami kenaikan 331,1 persen menjadi Rp 427,01 miliar di 2019 dan kembali naik 59,2 persen pada 2020 menjadi Rp 689 miliar.
Namun akibat pandemi Covid-19, penerimaan HPTL turut mengalami penurunan. Hingga Juni 2021, realisasinya hanya Rp 298 miliar, turun 28 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 415 miliar.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Hasil Riset
Salah satunya adalah riset yang dilakukan badan eksekutif dari Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, Public Health England yang berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco" bahwa hasil dari kajian ilmiah tersebut menyatakan profil risiko dari produk tembakau alternatif 95 persen lebih rendah daripada rokok.
“Dengan didukung oleh hasil-hasil riset ilmiah sebagai bukti yang menggambarkan betapa rendah risikonya, jelas itu sebuah terobosan yang baik bagi kesehatan publik,” kata Dimas.
Pada Februari 2021, Public Health England juga telah menerbitkan laporan independen ketujuh yang merangkum bukti terbaru tentang rokok elektrik.
Pada 2020, sebanyak 27,2 persen orang menggunakan rokok elektrik sebagai bantuan untuk berhenti merokok dalam kurun waktu 12 bulan dibandingkan dengan 15,5 persen orang yang menggunakan terapi nikotin, dan 4,4 persen yang menggunakan obat varenicline.
Dimas berpendapat hasil riset yang mendukung pengurangan risiko ini sejalan dengan misi Mawas, yaitu membangun kesadaran masyarakat terhadap potensi risiko, salah satunya kesehatan. Oleh sebab itu, kehadiran produk tembakau alternatif dapat dimaksimalkan untuk mengurangi prevalensi perokok.
“Adanya produk dengan risiko jauh lebih rendah dari rokok tentu akan semakin baik. Masyarakat cerdas yang sadar risiko akan semakin terbentuk untuk menciptakan bangsa yang lebih baik,” ujar Dimas.
Advertisement