Liputan6.com, Denpasar - Setiap pasangan berhak memutuskan apakah mereka ingin punya anak atau tidak (childfree). Keputusan yang dibuat pun atas pertimbangan bersama dengan memerhatikan dari beberapa aspek penting, seperti kesehatan reproduksi, usia, atau pertimbangan yang bersifat personal lainnya.
Psikolog Oktina Burlianti, mengatakan, selama pasangan memiliki visi yang jelas dan siap akan konsekuensi atas pilihannya untuk childfree, tentunya tidak akan mengganggu kehidupan pernikahan mereka.
Advertisement
Satu hal penting yang perlu diperhatikan, apakah pasangan muda sudah memiliki visi dalam pernikahan mereka? Baik itu visi jangka pendek, menengah dan jangka panjang yang ingin dicapai dari pernikahan mereka.
Ada konsekuensi pada setiap keputusan. Termasuk pilihan childfree tersebut. Berbagai pertimbangan perlu dipikirkan dengan melihat dari beberapa aspek sosial, kultural, agama, dan hukum.
“Setiap pasangan harus memikirkan siapa ahli warisnya kelak. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di kemudian hari,” katanya saat dihubungi Health Liputan6.com belum lama ini.
Wanita yang akrab disapa Ulli juga menjelaskan tentang berbagai kemungkinan yang mendasari pilihan childfree, seperti kondisi mental, pertimbangan usia, pengalaman buruk tentang pengasuhan anak, atau bisa saja karena keduanya masih memiliki banyak cita-cita yang ingin dicapai ke depannya.
Pilihan untuk childfree alias tidak memiliki anak bukan karena bentuk pengabaian atau mungkin pelarian. Akan tetai bisa saja mereka khawatir tidak bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya kelak.
Antisipasi Penolakan Orang Sekitar Terhadap Keputusan Childfree
Ulli juga menyebutkan perihal langkah antisipasi penolakan orang-orang sekitar terhadap keputusan childfree tersebut.
“Apalagi di Indonesia ya, Mbak. Budaya begitu kental dengan masyarakatnya cenderung menolak keputusan childfree. Orangtua kita pun masih begitu menanti punya cucu dari anaknya," katanya.
Pada kondisi ini pasangan bisa perlu menyampaikan dari awal pernikahan dengan cara santun dan diplomatis tentang apa maksud mereka memilih untuk tidak punya anak. Bila semua alasan tersebut mendasar dan sang anak dinilai bertanggung jawab atas keputusannya pastinya orang tua pun dapat menerimanya.
Advertisement
Childfree dari Kacamata Psikolog
Bila ditilik dari segi kesehatan reproduksi, keputusan childfree perlu diwaspadai terutama dari sisi perempuan. Sebagaimana dijelaskan Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Konsultan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Rumah Sakit Kasih Ibu, Bali, dr I Wayan Kesumadana Sp. OGKFER.
“Perempuan memiliki batas usia produktif di mana puncak masa subur dengan kualitas telur terbaik yaitu dikisaran usia 20-30 tahun. Khawatir akan sulit punya anak jika melewati masa itu,” katanya saat dihubungi Health Liputan6.com di waktu terpisah.
Jadi, lanjut, Wayan, alangkah baiknya sebelum memutuskan childfree sudah melewati pertimbangan yang matang. Jangan sampai menyesal di kemudian hari karena menunda, lalu tiba-tiba ingin hamil dan punya anak setelah melihat lingkungan sekitar yang notabene memiliki anak padahal usia produktif sudah jauh melewati.
Menurut Wayan, ini tak hanya akan mengganggu kondisi fisik bahkan bisa mempengaruhi mental dan keberlangsungan rumah tangga itu sendiri.
Dari kedua perspektif ahli tersebut dapat dijadikan bekal mendasar dalam membuka pemahaman para pasangan muda sebelum memutuskan childfree atau sebaliknya.
INFOGRAFIS: Waspada Anak Tertular COVID-19
Advertisement