Oleh: Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat
Liputan6.com, Jakarta - Ketika mulai menjabat sebagai presiden AS ke-46 pada Januari 2021, Presiden Joe Biden meraih job approval margin sebesar +17% dengan 53% approve dan 36% disapprove, berdasarkan data poling yang dikompilasi FiveThirtyEight. Bahkan hingga akhir Juli lalu, Biden masih mempertahankan job approval di kisaran 52%, dengan margin dukungan +10% dan job approval di kalangan Partai Demokrat di atas 90%.
Advertisement
Tapi, stabilitas job approval Biden yang cukup fantastis di era divisive politics tersebut mendadak terjun bebas ketika penarikan pasukan dan warga AS dari Afghanistan memicu kepanikan dan membuat 13 tentara AS dan 169 warga Afghanistan terbunuh. Tak tanggung-tanggung, job approval margin Biden masuk ke zona merah dan kini (14/9) bertahan di -2,9%, dengan 49% disapprove dan 46,1% approve, berdasarkan data FiveThirtyEight.
Jika diingat, penarikan mundur AS dari Afghanistan yang disepakati Presiden Donald Trump dan pemimpin Taliban pada Februari 2020 tersebut mendapat dukungan luas. Hingga April 2021, poling Morning Consult/Politico menyebutkan, 84% pemilih Partai Demokrat dan 52% pemilih Partai Republik mendukung kebijakan tersebut.
Pelajaran penting yang dipetik Biden dari blunder di Afghanistan adalah bahwa kebijakan warisan Trump yang mendapat dukungan luas dari publik, bisa seketika menjadi masalah besar jika eksekusi atau dampaknya tidak sesuai harapan publik AS.
Perang Dagang dan Teknologi, 'Ranjau' Terbesar Warisan Trump
Perseteruan AS dengan China berupa perang dagang dan perang teknologi barangkali menjadi 'ranjau' terbesar Trump yang tidak mudah dijinakkan pemerintah Biden. Presiden Partai Demokrat ini memutuskan untuk melanjutkan warisan Trump yang satu ini karena kebijakan anti-China selalu mendapat dukungan bipartisan luas dari publik.
Poling Pew Research Center Februari 2021 menyebutkan mayoritas atau 89% publik AS menganggap China sebagai pesaing atau musuh, sehingga mereka menganggap membatasi kekuatan dan pengaruh China harus menjadi prioritas utama pemerintah AS. Poling Morning Consult pada Agustus 2020 sebelumnya mengungkapkan, 73% warga AS dewasa menganggap China sebagai ancaman terhadap dominasi teknologi dan inovasi AS.
Masalahnya, ketegangan AS dengan China sangat kompleks dan berimplikasi luas, tidak hanya terhadap kondisi ekonomi dan situasi politik dalam negeri, tapi juga menyangkut hubungan AS dengan para sekutu dan negara sahabatnya di berbagai belahan dunia lain.
Menurut Greg Austin, Senior Fellow for Cyber, Space and Future Conflict, International Institute for Strategic Studies (IISS), perang dagang China-AS hanya menyangkut pertukaran barang dan jasa antar kedua negara dengan nilai kurang dari US$ 1 triliiun. Sedangkan perang teknologi berdampak langsung pada kontinuitas jasa keuangan global yang jika diuangkan nilainya bisa mencapai lebih dari 3000 kali lipat.
Saya tidak mencoba memverifikasi hitung-hitungan tersebut kepada narasumber atau mencari sumber informasi lain sebagai pembanding. Tapi saya setuju bahwa perang teknologi AS-China membawa dampak yang luar biasa besar.
Terutama jika perseteruan ini diakhiri dengan dekopling teknologi (technology decoupling) yang berarti terciptanya dua blok perdagangan produk teknologi global: Blok China dengan mitra-mitranya yang didukung rantai pasokan tertentu pada satu sisi; dan blok AS beserta mitra-mitranya dengan dukungan rantai pasokan berbeda lagi pada sisi lain.
Semikonduktor, Teknologi 'Multilateral' dengan Rantai Pasokan yang Kompleks
Era Trump bisa dikatakan sebagai pemicu perang teknologi yang sengit antara AS dengan China melalui penerapan Entity List, yakni daftar hitam perusahaan, organisasi atau individu yang dilarang menggunakan teknologi AS tanpa persetujuan pemerintah AS. Dalam empat tahun masa jabatannya, Trump memasukkan setidaknya 162 entitas China ke dalam Entity List. Biden menambah panjang daftar tersebut dengan memasukan 37 entitas pada bulan-bulan pertama jabatannya. Pembatasan pasokan produk dan teknologi semikonduktor AS kepada entitas China dalam Entity List menjadi inti dari perang teknologi antar kedua negara.
Bila mengacu data IC Insight, Junfu Zhao, assosiate professor di bidang ekonomi, Universitas Utah, di MonthlyReview, China telah menjadi pasar integrated circuit terbesar lebih dari 15 tahun dan pada 2020 mencapai US$143,4 miliar dengan pasokan dalam negeri hanya 15,9% saja.
Zhao menyebut AS selama ini mendominasi rantai nilai semikonduktor global, terutama untuk integrated device manufacturer atau IDM (51%), fabless design (65%) dan manufacturing equipment (40%), sehingga total pangsa pasarnya mencapai 47%. Di sisi lain, Taiwan menguasai 63% pangsa pasar produksi chip (foundry), disusul Korea Selatan dengan 18%. Sementara China memonopoli pasokan unsur tanah jarang atau rare earth elements (REE), unsur penting yang dibutuhkan di industri semikonduktor.
REE adalah kumpulan 17 unsur kimia dalam Tabel Periodik yang terdiri dari 15 unsur Lantanida, ditambah Yttrium (Y) dan Scandium (Sc). Ke-15 unsur tersebut adalah Lanthanum (La), Cerium (Ce), Praseodymium (Pr), Neodymium (Nd), Promethium (Pm), Samarium (Sm), Europium (Eu), Gadolinium (Gd), Terbium (Tb), Dysprosium (Dy), Holmium (Ho), Erbium (Er), Thulium (Tm), Ytterbium (Yb), dan Lutetium (Lu).
Industri semikonduktor mengunakan beberapa REE untuk membuat high-k dielectrics untuk chip dan sejumlah aplikasi lain. REE juga dibutuhkan dalam smartphone, perangkat telekomunikasi, bahan bakar nuklir, mobil listrik, turbin angin, pesawat tempur, kapal selam dll. Satu pesawat F-35, misalnya, memerlukan 920 pon (417) kg REE, sedangkan pembuatan kapal selam terbesar AS USS Ohio membutuhkan 9200 pon (4,17 ton) REE.
Menurut data China Power Project CSIS, pada tahun 2010 saja China menguasai 97,7% produksi pertambangan REE global. Angka tersebut turun ke 62,9% pada 2019 setelah beberapa negara terutama Jepang tidak mau tergantung pasokan dari China. Tapi tetap saja, hingga 2018 lalu tercatat 98,5% impor REE Eropa, 95,2% impor REE AS, dan 90,9% impor REE Korea berasal dari China.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa industri semikonduktor merupakan industri ‘multilateral’ yang melibatkan rantai pasokan global yang sangat kompleks sehingga hampir mustahil bisa dikuasai satu negara tertentu.
Terlepas dari realistis tidaknya dekopling teknologi antara AS dan China, studi bertajuk “How Restrictions to Trade with China Could End US Leadership in Semiconductors” yang dirilis The Boston Consulting Group bisa memberi gambaran apa yang mungkin terjadi jika dekopling teknologi antara AS dan China menjadi kenyataan
Skenario Pertama, Perang Teknologi Mengalami Status Quo
Jika terjadi status quo, yakni perang teknologi berlanjut, dimana AS terus membatasi akses teknologinya oleh entitas-entitas China melalui penerapan Entity List, maka akan ada empat implikasi besar: (1) Perusahaan-perusahaan teknologi global akan mengalihkan sebagian rantai pasokan ke luar China sehingga bisa tetap melayani pasar AS tanpa terkena sanksi; (2) Konsumen dan perusahaan di luar China akan enggan membeli produk teknologi China karena pertimbangan kualitas dan fungsionalitas, sehingga pangsa pasar perusahaan China di AS dan negara maju anjlok dan perusahaan AS akan kehilangan pangsa pasar di China, karena pembeli menghindari produk AS; (3) Perusahan-perusahaan China dalam entity list mengganti komponen berteknologi AS dengan komponen dari pemasok China, Eropa dan Asia.
Dengan sejumlah asumsi terkait substitusi pemasok AS oleh pemasok dari negara lain, dampak dekopling terhadap perusahaan semikonduktor AS antara lain: (1) Perusahaan-perusahaan AS akan kehilangan lebih dari 50% bisnis mereka di China; (2) Industri semikonduktor AS akan mengalami penurunan pangsa pasar global sebesar 8% yang setara dengan penurunan pendapatan 16% atau US$36 miliar jika mengacu pada angka tahun 2018; (3) Dengan penggantian komponen mengikuti siklus yang pendek untuk produk seperti smartphone, PC dan elektronik, maka sebagian besar dampak akan terasa dalam 2-3 tahun.
Skenario Kedua, Dekopling Teknologi Benar-Benar Terjadi
Jika proses dekopling teknologi benar-benar terjadi akibat eskalasi larangan ekspor teknologi AS secara total, maka respon pertama China adalah melarang software dan perangkat AS masuk ke pasar China dan mempercepat proses penggantian teknologi asing yang sudah dimulai di lembaga pemerintah dan institusi publik pada 2020.
Dengan sejumlah asumsi terkait akses terhadap teknologi-teknologi alternatif dari luar AS, maka dampak jangka pendek dekopling terhadap perusahaan-perusahaan China antara lain: (1) Produk PC, server dan perangkat infrastruktur ICT asal China tidak lagi kompetitif di pasar internasional; (2) Smartphone dan produk elektronik China lain akan kehilangan pangsa pasar di negara-negara berpendapatan tinggi; (3) Perusahaan-perusahaan China akan memperluas pasar domestik sehingga mampu mengembalikan 75% pendapatan internasionalnya di China.
Sedangkan dampak dekopling bagi perusahaan-perusahaan semikonduktor AS antara lain: (1) Hilangnya pendapatan sebesar 37% (senilai US$83 miliar jika mengacu angka di 2018) karena tidak ada pembelian dari perusahaan-perusahaan teknologi China dan sebagian pelanggan di negara lain memilih bergabung di kubu teknologi China; (2) Anggaran R&D akan dipangkas 30% atau US$12 miliar, bahkan bisa mencapai 60%; (3) Hilangnya 124.000 lapangan pekerjaan, 37.000 diantaranya di industri semikonduktor; (4) Penurunan pangsa pasar dari 48% menjadi 30% serta hilangnya pamor AS sebagai pemimpin industri di pasar global.
Pada sisi lain, perusahaan-perusahaan China dalam jangka pendek bisa tetap tumbuh dari menggarap pasar domestik terkait program penggantian teknologi asing. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, China mungkin akan sukses mengembangkan industri desain semikonduktor di dalam negeri, sehingga bisa memenuhi 85% kebutuhan domestik. Dengan begitu, pangsa pasar semikonduktor China di pasar global akan naik menjadi 30% dan menggeser kepemimpinan AS sebagai pemimpin pasar dunia.
Advertisement
Tidak Sesederhana Itu
Skenario dekopling teknologi yang mengarah pada transisi kepemimpinan semikonduktor global dari AS ke China tentu tidak sesederhana itu. Korea Selatan dan Taiwan misalnya, memerlukan waktu 15-20 tahun untuk menjadi pemimpin global, masing-masing di industri memori dan pabrikasi wafer semikonduktor. Industri semikonduktor AS pun tidak mudah menciptakan kemandirian pasokan REE karena membangun pengolahan REE perlu setidaknya 10 tahun.
Memutus rantai manufaktur adalah aspek yang paling sulit dilakukan dalam proses decoupling karena, menurut redaktur senior People’s Daily, Ding Gang di Globaltimes, rantai high-end tidak bisa dipisahkan dengan rantai menengah dan rantai low-end.
Mengambil ilustrasi sederhana, misalnya sebuah perusahaan perangkat teknologi AS yang saat ini beroperasi di China memindahkan pusat produksinya ke negara Asia lain. Komponen-komponen utama mungkin bisa dipasok dari berbagai negara di luar China, tapi perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan dalam pengadaan beragam komponen ‘printilan’ seperti komponen elektronik, mur dan baut ukuran mikro, serta lainnya yang kini hanya bisa dipasok secara ekonomis dari China. Kalaupun pabrik-pabrik komponen tersebut bisa dibangun di luar China, ini akan memakan waktu dan membuat biaya produksi membengkak.
Agenda Politik adalah Raja
Dampak paling serius dari dekopling teknologi bagi AS adalah naiknya harga-harga produk teknologi yang dibutuhkan konsumen dan kalangan dunia usaha. Jika industri membeli produk teknologi untuk menghasilkan barang-barang konsumen, maka harga jual produknya otomatis akan naik.
Konsekuensi politik dari dekopling teknologi akan sangat jelas: Pemilih yang kecewa dengan kenaikan harga berbagai kebutuhan sehari-hari, akan menghukum presiden dan para politisi pemerintah berkuasa dengan memilih anggota Kongres dan presiden oposisi di pemilu sela (midterm) dan pilpres. Pemilih akan lupa dengan sikap anti-China mereka.
Padahal di tengah job approval yang berada di zona merah, Biden masih menghadapi berbagai persoalan pelik lain, seperti penuntasan evakuasi warga AS dari Afghanistan dan penentangan repatriasi warga Afghanistan pro-AS, lalu penerapan UU pemilu restriktif di sejumlah negara bagian yang berpotensi menggusur sejumlah anggota DPR dan Senat Partai Demokrat serta mengancam peluang Biden di 2024. Selain kebuntuan agenda-agenda progresif Biden akibat penentangan sejumlah anggota DPR dan Senat berhaluan moderat, ancaman terhadap Roe vs. Wade sebagai salah satu cornerstone ideologi liberal Partai Demokrat, serta pandemi COVID-19 yang belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Di China, dekopling teknologi hampir dipastikan akan berimbas pula pada warga dan dunia bisnis. Mereka akan semakin terisolasi dari dunia luar dan harus puas dengan menggunakan produk lokal. Tapi dengan sistem pemerintah satu partai tanpa pemilu langsung dan presiden yang bisa berkuasa seumur hidup, mereka tidak punya pilihan lain selain ‘nrimo’.
'Gencatan Senjata' Sebagai Solusi Realistis
Dengan fakta-fakta tersebut, Saya meyakini bahwa demi kepentingan politik dalam negeri AS, Biden akan ‘terpaksa’ melakukan ‘gencatan senjata’ dengan pemerintah China di front perang dagang dan perang teknologi.
Di front perang dagang, mungkin ada berbagai kesepakatan dan konsesi win-win yang akan mengakhiri perang dagang, sehingga perusahaan-perusahaan AS akan kembali bebas berbisnis di pasar China dan konsumen AS akan senang karena harga barang-barang dari China dan perangkat teknologi menjadi lebih murah.
Di front perang teknologi kemungkinan juga akan terjadi kesepakatan damai. Entitas-entitas China yang fokus pada produk teknologi konsumen dan bisnis mungkin akan dikeluarkan dari Entity List. Sedangkan entitas-entitas yang dicurigai bisa terlibat dalam pengembangan kekuatan militer China akan terus bercokol di Entity List.
Sebaliknya, China pun akan melonggarkan penerapan pembatasan terhadap perusahaan dan warga AS. Transisi menuju kemandirian teknologi akan mengalami relaksasi demi untuk menyerap teknologi AS sebagai bagian dari kesepakatan damai tersebut.
Komunikasi telepon selama 90 menit antara presiden Biden dengan pemimpin China Xi Jinping pada Kamis lalu yang intinya mendiskusikan agar persaingan diantara kedua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tersebut tidak mengarah pada konflik, seperti yang dilaporkan Reuters, menjadi indikasi adanya upaya menuju kesepakatan damai AS-China.
Apalagi sebelumnya pada 5 Agustus kemarin, lebih dari 30 kelompok bisnis paling berpengaruh menyerukan kepada pemerintah Biden untuk memulai kembali pembicaraan dengan China terkait perdagangan dan tarif impor karena perang dagang membuat konsumen menderita dan dunia bisnis dirugikan, seperti dilaporkan the Wall Street Journal.
Bagi Indonesia, gencatan senjata AS-China tentunya menjadi berita baik. Karena seperti kata pepatah, jika ada dua gajah bertarung, maka korbannya adalah pelanduk (kita) yang berada di tengah-tengah mereka!