Dirut BUMN Rawan Terjerat Korupsi, Bagaimana Aturan Hukumnya?

BUMN memiliki peran ganda yakni sebagai agent of development sekaligus sebagai business entity.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Sep 2021, 00:05 WIB
Ilustrasi Korupsi (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana didefinisikan oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagai badan usahan milik negara, BUMN memiliki peran ganda yakni sebagai agent of development sekaligus sebagai business entity.

Dimana, BUMN sebagai perpanjangan tangan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat, namun di sisi lain sebagai entitas perusahaan, BUMN juga wajib memperoleh keuntungan (profit oriented).

Akan tetapi, dalam menjalankan usahanya BUMN dan Anak Perususahaan BUMN dapat saja mengalami kerugian. Kondisi ini akan menjadi suatu permasalahan apabila dihadapkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi BUMN itu sendiri. Terutama jika kerugian tersebut dianggap sebagai kerugian keuangan negara, bukan sebagai entitas bisnis.

Berdasarkan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), pengurus dan pegawai BUMN dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana atas dugaan tindak pidana korupsi karena menyebabkan kerugian keuangan negara.

“Hal inilah yang menjadi kekhawatiran direksi BUMN dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam mengelola, mengatur dan mengambil keputusan terkait dengan bisnis yang dijalankan BUMN sehari-hari,” ungkap Partner K&K Advocates, Aldi Andhika Jusuf dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (17/9/2021).

Aldi menjelaskan, terkait dengan pertanggungjawaban direksi tersebut, terdapat suatu doktrin dalam tatanan hukum Indonesia yang dikenal dengan doktrin Business Judgement Rule (BJR), dimana hal ini menjadi pilar yang penting bagi perlindungan direksi dalam pengambilan keputusan.

Doktrin tersebut pada pokoknya mengatakan bahwa direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kesalahan pengambilan keputusan dan/atau karena kerugian perseroan.

Pada intinya, Business Judgement Rule (BJR) merupakan peraturan yang membebaskan manajemen dari tanggung jawab dalam transaksi korporasi yang dilakukan dalam kekuasaan korporasi dan wewenang manajemen, dimana terdapat dasar yang masuk akal untuk menunjukkan bahwa transaksi dilakukan dengan hati-hati dan itikad baik.

Mencermati hal itu, pelaku bisnis di lingkungan BUMN wajib memiliki pemahaman secara komprehensif terkait dengan penerapan BJR, serta administrasi keuangan negara agar potensi terjadinya kerugian pada perusahaan yang berdampak pada dugaan korupsi dapat diminimalisasikan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Konsep BUMN

Ilustrasi Korupsi. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Sementara itu, Ahli Hukum Administrasi Negara Dian Puji Nugraha Simatupang menegaskan bahwa BUMN konsepnya adalah kepemilikan (privat) dan bukan penguasaan, sehingga negara berkedudukan sebagai pemegang saham atau sebagai pemilik modal, bukan berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan publik atau pengelola keuangan negara pada umumnya.

Oleh sebab itu, penyertaan modal negara dilakukan pemisahan, dengan maksud agar tata kelola dan tata tanggung jawab termasuk hak dan kewajibannya berpisah dan berpindah kepada BUMN, tidak kepada negara atau APBN.

"Sebagai pemegang saham, negara tidak sedang mengelola keuangan publik untuk mencapai tujuan bernegara layaknya kementerian atau lembaga, tetapi sedang berbisnis, sehingga penilaiannya bukan authority judgement, tetapi business judgement," jelas Dian.

Dia menyatakan, demikian halnya terhadap Anak Usaha BUMN, negara tidak mempunyai hak mengelolanya, karena hak negara sebagai badan hukum publik hanya mendirikan BUMN.

Jika negara menginginkan Anak Perusahaan tunduk pada ketentuan mengenai pengurus dan pertangungjawabannya, Negara harus mempunyai saham langsung, dan tidak dapat langsung ikut campur melalui tangan publiknya, karena menyalahi asas contrarius actus.

Dian juga menyoroti terkait ketidakpastian hukum (legal uncertainty) yang berpotensi terjadi dalam BUMN yakni terpenuhinya unsur merugikan negara, sehingga keputusan bisnis, kebijakan korporat, dan tindakan usaha yang dianggap keliru merupakan kerugian negara.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya