Liputan6.com, Canberra - Australia-Inggris-Amerika Serikat kemarin mengumumkan perjanjian baru di bidang pertahanan bernama AUKUS. Progam pertamanya adalah menyiapkan armada kapal selam nuklir untuk Australia.
Ada drama geopolitik yang terjadi karena Prancis tak terima dengan keputusan itu sehingga menarik duta besarnya dari AS dan Australia, pasalnya Australia berjanji membeli kapal selam dari Prancis.
Advertisement
Lantas faktor apa yang mendorong sampai Australia berubah pikiran? Para pengamat menyebut AUKUS dirancang untuk menghadapi dominasi China di kawasan ini.
Dilansir ABC Australia, Minggu (18/9/2021), China dinilai telah menutup setiap celah keunggulan militer Amerika sedemikian rupa sehingga Laksamana Phillip Davidson dari AS menyebut China bisa "secara paksa mengubah status quo".
China telah berinvestasi dalam kemampuan rudal jelajah dan balistik anti-kapal untuk melawan kekuatan Angkatan Laut AS.
Ini adalah strategi yang dikenal sebagai penolakan anti-akses/area (A2/AD). Bagi Beijing, hal ini merupakan pencapaian tujuan yang telah mereka sampaikan yaitu memenangkan peperangan regional.
Pentagon menggambarkan strategi A2/AD China sebagai sarana untuk "menghalangi, atau jika diperlukan, mengalahkan intervensi pihak ketiga terhadap serangan berskala besar" dari Tentara Pembebasan Rakyat China.
Bagian dari strategi ini adalah menargetkan kapal bertenaga nuklir milik AS. Rudal balistik bersenjata DF-21D China dirancang untuk menyerang kapal yang bergerak.
China juga telah membawa rencana perang ke luar angkasa. Negara itu memiliki 200 satelit di orbit Bumi, beberapa di antaranya dirancang untuk tujuan militer dan pengawasan maritim.
China bahkan memiliki rencana yang disebut sebagai "Pearl Harbor Ruang Angkasa", merujuk ke serangan Jepang di Hawaii dalam PD II. China bisa meluncurkan serangan mendadak untuk menghancurkan satelit AS dan melumpuhkan militer negera itu.
Ekspansi militer China ke pulau-pulau yang dipersengketakan di Laut China Selatan memberinya keunggulan penting untuk mengerahkan pesawat tempur dan peluncur rudal bergerak.
Tantangan untuk AS
Lembaga think tank AS Rand Corporation, melihat tantangan keamanan di Asia-Pasifik antara tahun 2030 dan 2040, menyebutkan Amerika memang menghabiskan lebih banyak anggaran untuk pertahanan daripada China, namun menyebar tipis secara global.
Sementara Beijing dapat fokus pada wilayah sekitarnya sendiri.
Hal itu, katanya, menjadikan "kedua kekuatan militer di kawasan itu lebih seimbang dan mungkin memberi China keunggulan di wilayahnya."
"China akan semakin mampu menantang kemampuan Amerika untuk secara langsung membela sekutu dan kepentingannya di sekitar wilayah China," tambahnya.
Profesor Michael Beckley dari Universitas Tuftsmengatakan Amerika sedang berpacu dengan waktu.
Ia mengatakan negara itu harus mengubah arah, mengurangi misi di tempat lain dan lebih fokus pada China.
"Jika Amerika Serikat tidak mengambil kesempatan untuk mengamankan keunggukan militernya atas China, mungkin tidak akan ada kesempatan lainnya," tulis Prof Beckley dalan jurnal Foreign Affairs.
Amerika, kata Prof Beckley, salah jika mengandalkan kapal perang besar dan pesawat jarak pendek yang semuanya kini bisa dihancurkan China.
Sistem persenjataan mahal Amerika, katanya, tak lebih dari "sasaran empuk untuk rudal-rudal China".Profesor Beckley menjelaskan, AS sebenarnya tidak siap berperang dengan China. Amerika telah mengakui ancaman itu, katanya, sekarang perlu memikirkan kembali strateginya.
"Alih-alih menunggu perang dimulai dan mengirimkan kapal induk yang rentan ke Asia Timur, Amerika Serikat dapat memasang 'ladang ranjau' berteknologi tinggi di daerah itu dengan menempatkan peluncur rudal, drone bersenjata, dan sensor di laut dan di wilayah sekutu dekat garis pantai China. Jaringan amunisi yang tersebar ini akan sulit dinetralkan oleh China," jelasnya.
Advertisement
China Selangkah di Depan?
Jatuhnya Kabul telah menimbulkan pertanyaan tentang masa depan pengaruh Amerika. Jika AS tidak dapat mengalahkan Taliban, harapan apa yang tersisa untuk bisa menghadapi negara seperti China?
Pertanyaan retoris ini sebenarnya mengabaikan kekuatan Amerika yang masih sangat besar.
Seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan Adam Tooze:
"AS telah mendefinisikan tatanan global sejak tahun 1940-an, ketika pertama kali muncul sebagai kekuatan militer dahsyat dengan Angkatan Laut besar dan Angkatan Udara bersenjata nuklir yang tak tertandingi. Itu masih terus berlanjut. Penarikan pasukan dari Afghanistan tidak menghilangkan keunggulan ini."
Afghanistan, katanya, telah lama berhenti menjadi "medan pertempuran yang menentukan".
"Perang melawan terori bisa tampak seperti pengalih perhatian. Ketika AS menyia-nyiakan sumber dayanya demi memburu Bin Laden dan senjata pemusnah massal (Irak) yang tidak ada, China telah semakin maju," tulis Profesor Tooze di media New Statesman.
Penarikan dari Afghanistan, katanya, merupakan bagian dari penataan kembali strategi Amerika yang dimulai di bawah Pemerintahan Obama.
AS di bawah Presiden Joe Biden telah meningkatkan belanja militer dan beralih dari perang terakhir ke perang potensial yang akan datang, perang dengan konsekuensi yang jauh lebih besar.
Kepresidenan Biden tidak akan ditentukan oleh Afghanistan tetapi oleh China. Australia berada di persimpangan momen bersejarah ini.
Kita telah meninggalkan mantra bahwa kita tidak harus memilih antara Beijing dan Washington. Kita semua bersama Amerika. Sekarang kami telah mengambil opsi nuklir.
Namun, terlepas dari kesepakatan baru antara Australia, Amerika dan Inggris dan seruan untuk membela Indo-Pasifik, kita harus mengejar ketinggalan. China dipandang sudah mulai menyiapkan diri untuk bertempur.