Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memvonis bersalah panitia tender, Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), dan PT Astragraphia Tbk telah melakukan kongkalikong dalam tender penerapan Elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) tahun 2011-2012.
Ketiga terlapor itu dinilai Majelis Hakim KPPU telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tak terima dengan vonis tersebut, PNRI pun mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (10/12/2012). Melalui kuasa hukumnya, Jimly Simanjuntak menyatakan, putusan KPPU itu tanpa disertai bukti-bukti yang kuat dan cukup. Karena itu, PNRI menilai Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-L/2012 tidak tepat.
"Putusan KPPU itu sudah sepantasnya dibatalkan. Kenapa? Karena telah melanggar prinsip minimum pembuktian. Dan lagi, putusan itu dibuat tanpa ada alat-alat bukti yang cukup," ujar Jimly di PN Jakarta Pusat.
Selain itu, Jimly juga melihat, ada hal lain kenapa pihaknya menyatakan putusan KPPU itu tidak tepat. Yakni, adanya perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari majelis hakim KPPU saat sidang putusan, 13 November 2012 silam.
Karena itu, Jimly menilai, ada keraguan dari majelis hakim mengenai bukti-bukti bahwa ada kongkalikong pada proses penerapan e-KTP apakah sudah cukup kuat atau belum. "Kalau majelis hakim KPPU yakin benar ada persengkongkolan, masa sih yang namanya ketua majelis dan salah satu anggota majelis bisa dissenting opinion? Berarti di antara mereka sendiri masih ragu-ragu apa benar bukti-bukti ini terpenuhi atau tidak. Itu paling sederhana kita melihatnya," kata Jimly.
Menurut Jimly, salah satu majelis hakim menyatakan pendapatnya yang berbeda dengan majelis yang lain. Yakni, belum adanya cukup bukti untuk menyatakan ada kongkalikong. "Itu pandangan mereka dalam dissenting opinionnya sehingga mereka tidak berani ambil kesimpulan ini adalah sebuah persengkongkolan," katanya.
Seperti diketahui, Majelis KPPU pada 13 November 2012 lalu memutuskan, panitia tender beserta dua perusahaan percetakan melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam tender penerapan KTP elektronik tahun 2011-2012.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Komisi Sukarmi, panitia tender selaku terlapor I beserta Konsorsium PNRI (terlapor II) dan PT Astragraphia Tbk (terlapor III) dinyatakan telah melakukan pelanggaran.
Tiga pihak lain yakni PT Kwarsa Hexagon (terlapor IV), PT Trisakti Mustika Graphika (terlapor V), dan PT Sumber Cakung (terlapor VI) dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Melalui putusan dengan perkara Nomor 03/KPPU-L/2012, majelis komisi menghukum Konsorsium PNRI (terlapor II) membayar denda Rp20 miliar yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja KPPU melalui bank pemerintah dengan kode penerimaan 432755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).
Majelis Komisi juga menghukum PT Astragraphia Tbk selaku terlapor III membayar denda Rp4 miliar yang juga harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda.
"Putusan itu memunculkan pertanyaan besar. Kalau memang dinyatakan ada persekongkolan, kenapa tidak serta-merta membatalkan kontrak? Bisa jadi majelis ragu. Yah, kelihatannya putusan itu cuma untuk menyenangkan para pihak lain," ucap Jimmy seraya mengelak menjelaskan para pihak yang dimaksudkan, kala itu.
Apalagi, lanjut Jimmy, investigator KPPU tidak mampu membuktikan kongkalikong yang terjadi. "Semua berdasarkan asumsi, bukan fakta. Tidak ada bukti pertemuan itu. Semua peserta tender yang kalah juga mengakui tidak ada pertemuan di luar," kata dia. (Ary)
Ketiga terlapor itu dinilai Majelis Hakim KPPU telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tak terima dengan vonis tersebut, PNRI pun mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (10/12/2012). Melalui kuasa hukumnya, Jimly Simanjuntak menyatakan, putusan KPPU itu tanpa disertai bukti-bukti yang kuat dan cukup. Karena itu, PNRI menilai Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-L/2012 tidak tepat.
"Putusan KPPU itu sudah sepantasnya dibatalkan. Kenapa? Karena telah melanggar prinsip minimum pembuktian. Dan lagi, putusan itu dibuat tanpa ada alat-alat bukti yang cukup," ujar Jimly di PN Jakarta Pusat.
Selain itu, Jimly juga melihat, ada hal lain kenapa pihaknya menyatakan putusan KPPU itu tidak tepat. Yakni, adanya perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari majelis hakim KPPU saat sidang putusan, 13 November 2012 silam.
Karena itu, Jimly menilai, ada keraguan dari majelis hakim mengenai bukti-bukti bahwa ada kongkalikong pada proses penerapan e-KTP apakah sudah cukup kuat atau belum. "Kalau majelis hakim KPPU yakin benar ada persengkongkolan, masa sih yang namanya ketua majelis dan salah satu anggota majelis bisa dissenting opinion? Berarti di antara mereka sendiri masih ragu-ragu apa benar bukti-bukti ini terpenuhi atau tidak. Itu paling sederhana kita melihatnya," kata Jimly.
Menurut Jimly, salah satu majelis hakim menyatakan pendapatnya yang berbeda dengan majelis yang lain. Yakni, belum adanya cukup bukti untuk menyatakan ada kongkalikong. "Itu pandangan mereka dalam dissenting opinionnya sehingga mereka tidak berani ambil kesimpulan ini adalah sebuah persengkongkolan," katanya.
Seperti diketahui, Majelis KPPU pada 13 November 2012 lalu memutuskan, panitia tender beserta dua perusahaan percetakan melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam tender penerapan KTP elektronik tahun 2011-2012.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Komisi Sukarmi, panitia tender selaku terlapor I beserta Konsorsium PNRI (terlapor II) dan PT Astragraphia Tbk (terlapor III) dinyatakan telah melakukan pelanggaran.
Tiga pihak lain yakni PT Kwarsa Hexagon (terlapor IV), PT Trisakti Mustika Graphika (terlapor V), dan PT Sumber Cakung (terlapor VI) dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Melalui putusan dengan perkara Nomor 03/KPPU-L/2012, majelis komisi menghukum Konsorsium PNRI (terlapor II) membayar denda Rp20 miliar yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja KPPU melalui bank pemerintah dengan kode penerimaan 432755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).
Majelis Komisi juga menghukum PT Astragraphia Tbk selaku terlapor III membayar denda Rp4 miliar yang juga harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda.
"Putusan itu memunculkan pertanyaan besar. Kalau memang dinyatakan ada persekongkolan, kenapa tidak serta-merta membatalkan kontrak? Bisa jadi majelis ragu. Yah, kelihatannya putusan itu cuma untuk menyenangkan para pihak lain," ucap Jimmy seraya mengelak menjelaskan para pihak yang dimaksudkan, kala itu.
Apalagi, lanjut Jimmy, investigator KPPU tidak mampu membuktikan kongkalikong yang terjadi. "Semua berdasarkan asumsi, bukan fakta. Tidak ada bukti pertemuan itu. Semua peserta tender yang kalah juga mengakui tidak ada pertemuan di luar," kata dia. (Ary)