Liputan6.com, Jakarta Negara Islam Indonesia (NII), Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan Darul Islam (DI) adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa yang berada di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gerakan ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa "Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam" atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa "Negara Berdasarkan Islam" dan "Hukum tertinggi adalah Alquran dan Hadist".
Advertisement
Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada 1962, gerakan Darul Islam menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh pemerintah, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini juga menyebar ke banyak wilayah.
Salah satunya adalah Pemberontakan DI/TII di Aceh yang dimulai pada 20 September 1953. Pemberontakan ini tercatat sebagai yang terbesar dan terkuat yang dilakukan oleh pihak yang membawa nama DI/TII dan NII diluar kelompok di bawah pimpinan Kartosoewirjo.
Pada tanggal itu, pernyataan proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia dibacakan oleh Daud Beureueh. Proklamasi itu menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) di bawah kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Peristiwa Proklamasi NII Aceh pada 20 September 1953 makin menampar wajah pemerintah pusat di Jakarta karena bersamaan dengan saat Presiden Sukarno meresmikan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-III di Stadion Teladan Medan, Sumatera Utara.
Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer.
Peranannya sebagai seorang tokoh dan ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie.
Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh, dia dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.
Cerita Sebelum Pemberontakan
Sebenarnya, keterlibatan ulama di Aceh dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 sangat besar. Meskipun berita tentang Proklamasi Kemerdekaan RI di Aceh agak terlambat, para pemimpin di Aceh yang mayoritasnya ulama, memperingatkan rakyat Indonesia bahwa kemungkinan besar Belanda akan menjajah kembali.
Kecurigaan tokoh-tokoh pimpinan Aceh tersebut terbukti pada September 1945 ketika pasukan Belanda mulai menyusup dan telah berada di Kota Medan.
Patriotisme perjuangan rakyat Aceh yang dibalut dengan semangat jihad fi sabilillah, membuat Belanda mengurungkan niatnya menyerang Aceh. Kendatipun, Belanda telah mendirikan markas-markasnya di Medan dan Inggris di Sabang. Agresi militer pertama Belanda pada 21 Juli 1947 gagal masuk ke Aceh.
Pada pertengahan 1948, Presiden Sukarno mengunjungi Aceh dan mengumpulkan para tokoh dan pedagang Aceh untuk membantu perjuangan. Waktu itu semua anggota masyarakat terutama para pedagang mengumpulkan dana dan emas untuk membeli sebuah kapal terbang.
Tokoh Aceh yang menjadi Gubernur Militer pada waktu itu, Tgk. M. Daud Beureueh, meminta kepada Bung Karno untuk mengizinkan diberlakukannya syariat Islam di daerah Aceh.
Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, Pemerintah Pusat menetapkan Tgk. Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Keputusan tersebut tertulis dalam Keputusan Presiden pada 26 Agustus 1949, No. 4/WKP/U/47.
Latar belakang munculnya kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh, disebabkan sampai Maret 1950 Pemerintah belum menetapkan Aceh sebagai provinsi. Pemerintahan mengadakan sebuah sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status.
Salah satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya sebagai Daerah Istimewa, setelah penyederhanaan tersebut dimulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara.
Hal ini sangat ditentang oleh tokoh-tokoh pimpinan Aceh termasuk para ulama, kondisi ini menjadi permasalahan yang menimbulkan ketegangan hubungan Aceh dengan Pemerintah. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan NKRI di masa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950).
Penghapusan Provinsi Aceh menyebabkan pembangunan dan perkembangan Aceh menjadi terhambat. Rasa tidak puas mulai muncul di tengah masyarakat. Sebagai suatu Keresidenan, banyak hal yang berubah. Para pegawai yang berasal dari Aceh, banyak yang dinon-aktifkan.
Pelabuhan Ulee Lheue ditutup, semua barang dari Aceh harus melalui Belawan, Medan. Begitu juga halnya dengan penutupan Pelabuhan Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merasa dianaktirikan dan rasa tidak puas itu akhirnya meledak.
Advertisement
Berakhir dengan Keistimewaan Aceh
Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.
Tidak lama setelah pemberontakan pecah, Pemerintah RI melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo segera memberikan penjelasan secara runut tentang peristiwa tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada 28 Oktober 1953.
Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama anggota NII yang dipimpin oleh Sekarmadji akhirnya diatasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Untuk menghadapi gerakan itu, pemerintah mengirim pasukan yang dilengkapi persenjataan lengkap.
Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, kelompok DI/TII mulai terkikis dari kota-kota yang ditempatinya. Tentara Nasional Indonesia pun memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari kesalahpahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan RI.
Akhirnya datang ke Aceh suatu misi resmi dari Pemerintah Pusat dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia, Mr. Hardi. Misi ini kemudian terkenal dengan nama Missi Hardi.
Persoalan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai kendati harus melalui proses negosiasi yang alot dan melelahkan. Diputuskan bahwa diberikan hak otonomi sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan boleh menerapkan syariat Islam sebagai aturan daerah yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Pemberian keistimewaan itu dituangkan dalam Keputusan Perdana Menteri No. 1/Missi/1959, dan sejak waktu itu Provinsi Aceh dinamakan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Tanggal 18-22 Desember 1962, sebuah upacara besar bertajuk Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) dihelat di Blangpadang, Aceh, sebagai simbol perdamaian. (Dari berbagai sumber)