Liputan6.com, Canberra - Australia, Minggu (19/9) mengatakan "menyesali" keputusan Prancis untuk segera memanggil duta besarnya untuk Canberra dan Washington sebagai tanggapan atas kesepakatan baru yang akan menjadikan Australia sebagai negara ketujuh yang memiliki kapal selam bertenaga nuklir.
Australia membatalkan kontrak pertahanan bernilai miliaran dolar dengan Prancis setelah bergabung dengan aliansi baru AUKUS bersama AS dan Inggris, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (21/9/2021).
Advertisement
Negara itu akan membangun armada baru kapal selam bertenaga nuklir dengan bantuan dari AS dan Inggris. Secara luas pakta itu dilihat sebagai upaya untuk melawan pengaruh China di Laut Cina Selatan yang diperebutkan.
Sejumlah pejabat Australia menyatakan tidak meyakini Attack Class, kapal selam bertenaga diesel yang dipesan dari Prancis dapat melakukan hal itu.
Perdana Menteri Scott Morrison mengatakan akan "lalai" untuk melanjutkan kesepakatan, yang dilaporkan telah lama tertunda. Itu bertentangan dengan saran dari badan intelijen Australia dan militernya.
Armada kapal selam baru Australia diperkirakan tidak akan beroperasi selama beberapa dekade. Namun untuk sementara Australia dapat menyewa atau membeli kapal dari Amerika Serikat atau Inggris.
Morrison mengatakan aliansi itu dapat meningkatkan keamanan regional.
"Ini dipandang sebagai langkah positif untuk ikut mewujudkan perdamaian dan stabilitas. Semua negara akan berinvestasi bagi peningkatan kemampuan pertahanan mereka, bahkan China pun demikian, malahan seperti yang kita ketahui, mereka telah banyak berinvestasi dalam kemampuan pertahanannya."
Australia Mengaku Jujur dan Transparan
Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton, Minggu (19/9), membela penanganan Canberra atas kontrak kapal selam bernilai miliaran dolar dengan Prancis. Ia menggambarkan pemerintahnya sebagai "terus terang, terbuka dan jujur" dalam berurusan dengan Paris.
Prancis tidak setuju. Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengatakan.
"Ini benar-benar menikam. Kami membina hubungan kepercayaan dengan Australia, dan kepercayaan itu dikhianati," katanya.
Perselisihan itu dapat berimplikasi yang lebih luas. Prancis menyatakan tidak akan dapat mempercayai Australia dalam beberapa pembicaraan tentang perumusan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa, meskipun para pejabat Uni Eropa bersikeras bahwa negosiasi akan berlanjut.
Hervé Lemahieu, direktur penelitian di Lowy Institute, lembaga think-tank independen yang berbasis di Sydney, menilai tanggapan Prancis atas aliansi AUKUS tidak terduga. Akan tetapi ia mendesak presiden Prancis Emmanuel Macron agar tidak bereaksi secara berlebihan.
"Ini belum pernah terjadi bagi Prancis, atau negara mana pun, memanggil dua duta besar secara bersamaan dari dua negara yang berbeda. Prancis harus berhati-hati untuk tidak bertindak secara berlebihan. Kemarahan Prancis wajar dan dapat dimengerti namun tidak boleh dibiarkan mengambil kendali atas kebijakan luar negeri mereka. Tidak jelas, apakah [Presiden Prancis Emmanuel] Macron berbicara mewakili seluruh Eropa mengingat negara Uni Eropa lainnya diam," papar Lemahieu.
Lemahieu memaparkan ambisi militer China di kawasan Indo-Pasifik juga dapat menghadapi tantangan yang lebih besar dari aliansi AUKUS yang baru.
"China akan mengintepretasikannya sebagai eskalasi tindakan. Tidak diragukan itu akan meningkatkan persaingan kekuatan besar. Sekarang, pertanyaannya adalah apakah itu lebih banyak menciptakan stabilitas atau justru menguranginya? Itu akan menjadi pertanyaan kunci bagi negara-negara lain di Indo-Pasifik," katanya.
China menuduh mitra aliansi baru itu memiliki "mentalitas Perang Dingin."
Advertisement