Menanti Hari Tani yang Membahagiakan di Aceh

Hari Tani di depan mata, tetapi penyelesaian konflik agraria masih seperti mengurai benang kusut. Simak pernyataan Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul berikut ini menjelang peringatan hari yang cukup sakral tersebut:

oleh Rino Abonita diperbarui 22 Sep 2021, 16:05 WIB
Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Pada 24 September nanti, Indonesia akan memperingati Hari Tani Nasional. Hari Tani dapat dikatakan hari yang diperuntukkan sebagai jalal tertinggi bagi rakyat tani Indonesia serta memiliki sejarah yang cukup panjang.

Hari Tani ditandai dengan terbitnya Keppres No 169/1963. Keppres yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno ini merupakan memorial terhadap UU No 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

UUPA jadi tonggak penting bagi bangunan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia yang pengesahannya memakan waktu sampai 12 tahun. Dimulai dari pembentukan Panitia Agraria Yogya 1948 sampai Rancangan Sadjarwo 1960 hingga diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPR-GR.

UUPA juga merupakan perwujudan amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (naskah asli). UU ini menyapu Agrarische Wet 1870 yang merupakan hukum kolonial.

Belakangan, lahir Perpres No 86/ 2018 tentang Reforma Agraria sebagai estafet dari reforma agraria yang tertuang dalam UUPA. Perpres ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo tepat pada peringatan Hari Tani 2018 lalu.

Oleh Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, sejarah panjang lahirnya Hari Tani seharusnya ditandai dengan perwujudan reforma agraria. Kenyataannya, sebaran kasus konflik agraria berkelindan di dalam cita-cita reforma agraria itu sendiri.

"Perampasan-perampasan lahan dalam skala besar yang dikuasi oleh individu melalui korporasi mengakibatkan hilangnya wilayah kelola dan pemukiman masyarakat," cetus Syahrul kepada Liputan6.com, ditemui di ruang kerjanya, Senin (20/9/2021).

Setidaknya, terdapat sejumlah konflik lahan yang masuk dalam daftar penanganan kasus LBH Banda Aceh sejak 2012. Di antaranya, konflik lahan antara PT R dengan masyarakat empat desa (Paya Rahat, Tengku Tinggi, Desa Tanjung Lipat I, Tanjung Lipat II)—yang merupakan konflik wilayah lahan pertanian masyarakat.

Total lahan yang diduga dirampas seluas 144 hektare dengan jumlah korban terdampak mencapai 1.500 jiwa. Konflik tersebut juga berdampak terjadinya kriminalisasi terhadap 12 orang warga serta penculikan terhadap 9 orang warga.

Masih di kabupaten yang sama, lanjut Syahrul, PT R diduga mengklaim Desa Sungai Iyu sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan (10 hektare). Konflik tersebut berdampak terhadap 120 kepala keluarga, termasuk kriminalisasi terhadap 25 orang warga, serta pengambilalihan sekolah menjadi gudang pupuk perusahaan.

 

Simak video pilihan berikut ini:


Badan Tak Berwujud

Petani menanam tanam pare setelah mengalami gagal panen di Desa Sukaringin, Sukawangi, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (10/9/2021). Menurut petani, musim kemarau membuat sawah kekeringan dan gagal panen yang sudah berlangsung selama delapan bulan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Konflik serupa terjadi di 3 kabupaten lain. Konflik melibatkan PT SS di Bireuen, PT FBB di Nagan Raya, dan PT DPL di Aceh Barat Daya, dengan total korban terdampak sebanyak 2.159 orang warga, termasuk di dalamnya kriminalisasi terhadap 22 orang warga.

Dari konflik tersebut, lanjut Syahrul, masyarakat kehilangan 2.634 hektare wilayah kelola pertanian dan pemukiman penduduk. Kondisi ini berdampak tergerusnya sumber ekonomi masyarakat setempat.

Konflik berlarut-larut tersebut, lanjut Syahrul lagi, seharusnya dapat ditangani dengan kehadiran Badan Pertanahan Aceh, sesuai amanat Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Sayangnya, badan yang dimaksud sampai saat ini belum ada wujudnya sama sekali.

Padahal, dalam pasal 253 UU khusus itu, disebutkan bahwa Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan kabupaten/kota menjadi perangkat Daerah Aceh dan perangkat daerah kabupaten/kota paling lambat awal tahun anggaran 2008. 

"Karena itu, Pemerintah Aceh harusnya segera mengoptimalkan penyelesaian konflik kewenangan dengan percepatan peralihan dari Badan Pertanahan Nasional menjadi Badan Pertanahan Aceh," tegas dia.

Keseriusan juga bisa ditunjukkan oleh Pemerintah Aceh melalui pembentukan tim penyelesaian konflik agraria. Sebagai informasi, saat ini terdapat perusahaan yang telah membatalkan wilayah konsesi setelah gugatan perusahaan bernama PT CA tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung namun lahan eks HGU perusahaan belum dibagikan kepada masyarakat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya