Banjir Tak Kunjung Surut, Burundi Jadi Tempat Krisis yang Terlupakan di Afrika Timur

Burundi, negara kecil di Afrika Timur menjadi tempat krisis yang terlupakan.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Sep 2021, 17:03 WIB
Pengungsi, seperti yang digambarkan dalam foto ini di Danau Tanganyika pada tahun 2015, pernah melarikan diri dari kekerasan politik Burundi. Sekarang, mereka mencoba melarikan diri dari bencana alam. (AP)

Liputan6.com, Gitega - Burundi, negara kecil yang terkurung di Afrika Timur telah dilanda bencana alam, dengan hampir 100.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Burundi adalah rumah bagi Danau Tanganyika, danau air tawar terpanjang di dunia, dan juga merupakan tempat "krisis yang terlupakan".

Menurut badan amal Save the Children, seperti dikutip dari Nine News, Selasa (21/09/2021), pada April 2021, ketinggian air danau naik menjadi 776,4 meter di atas permukaan laut, dibandingkan dengan rata-rata normal 772,7 meter. Ketinggian air danau tersebut mengakibatkan ratusan rumah dan lahan pertanian terendam banjir.

Sementara warga Burundi pernah meninggalkan rumah mereka karena kerusuhan dan kekerasan politik, saat ini Burundi telah menikmati stabilitas setelah pemilihan damai pada 2020. Kini, hampir semua pengungsi itu menjadi korban bencana alam.

Direktur Negara Save the Children untuk Rwanda dan Burundi, Maggie Korde mengatakan, tenda pengungsian dibanjiri keluarga dan anak-anak, yang menanggung beban krisis.

Di tenda Gatumba, yang merupakan rumah bagi 3.000 orang terlantar banjir, lebih dari 80 persen penduduknya adalah anak-anak. Sebagian besar putus sekolah dan banyak yang hanya makan satu kali sehari.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Khawatir Anak-anak Akan Mati Kelaparan

anak- anak Burundi (Sumber: Wikimedia Commons)

Arielle, yang berusia 13 tahun, mengatakan kepada Save the Children bahwa dia kehilangan rumah dan pendapatan keluarganya ketika Danau Tanganyika meluap pada 2020.

Dia sekarang tinggal di tenda pengungsian, menghasilkan $1,20 atau setara Rp 17.000 per hari dengan membawa dan menumpuk batu bata.

"Saat itu malam hari, air masuk ke dalam rumah. Saya sedang tidur dan ketika bangun ada air di dalam rumah," kata Arielle. Dia mengatakan rumah itu hancur tidak lama setelah mereka meninggalkannya.

"Ketika saya bekerja untuk uang, saya bisa mendapatkan makanan, tetapi kadang-kadang tidak bisa, itu tergantung pada hari."

Ibu tiga anak Marie (47), hampir kehilangan rumahnya karena meningkatnya air Danau Tanganyika.

"Saya adalah seorang petani sebelum banjir datang, tetapi sekarang rumah saya terendam air. Situasi banjir menjadi lebih buruk dari sebelumnya," katanya kepada Save the Children.

"Kali ini, banjir datang dan tidak pernah kembali, dan sekarang melampaui batas yang ada sebelumnya. Saya khawatir anak-anak akan mati karena kelaparan. Hari ini mereka tidak punya apa-apa untuk dimakan. Saya hampir tidak punya dukungan, dan tidak punya apa-apa untuk memberi makan anak-anak."

 

Reporter: Cindy Damara


Infografis Setahun Pandemi Covid-19, Pariwisata Dunia dan Indonesia Terpuruk

Infografis . Setahun Pandemi Covid-19, Pariwisata Dunia dan Indonesia Terpuruk

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya