HEADLINE: Potensi Banjir Bandang Ancam 19 Provinsi, Antisipasi Bencana?

Potensi banjir kembali menghantui Tanah Air. Jangan sampai menyalahkan hujan lagi, sementara perubahan iklim tak bisa dihindari dan deforestasi masif terjadi.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 21 Sep 2021, 19:30 WIB
Awan mendung menggelayut di langit Jakarta, Kamis (1/2). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi curah hujan dari sedang hingga tinggi akan terjadi hingga 1 minggu ke depan. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Potensi bencana banjir kembali menghantui Tanah Air. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan peringatan dini, adanya potensi hujan lebat di 19 daerah di Indonesia yang bisa menyebabkan banjir. Menurut prakiraan cuaca BMKG, hujan lebat disertai petir dan angin kencang antara lain berpeluang terjadi di wilayah Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.

Wilayah Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua juga menghadapi potensi hujan lebat disertai petir dan angin kencang. Sementara itu, wilayah Provinsi Sumatera Utara, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Gorontalo diprakirakan menghadapi hujan dengan intensitas yang lebih ringan.

BMKG menyampaikan bahwa selama 20 sampai 21 September 2021 wilayah Provinsi Aceh, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan masuk dalam kategori waspada banjir bandang. Wilayah Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua juga masuk dalam kategori waspada banjir bandang dalam kurun itu.

BMKG dalam lamannya juga menyebut, hujan lebat tersebut dipegaruhi sirkulasi siklonik yang terpantau di sekitar wilayah Thailand dan di perairan barat Filipina, yang membentuk daerah konvergensi (pertemuan dan perlambatan kecepatan angin), dan memanjang di sekitar sirkulasi siklonik tersebut. Daerah konvergensi juga terpantau memanjang dari Laut Banda hingga Selat Makassar bagian tengah dan di Papua.

Kondisi itulah yang menyebabkan meningkatkan pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut.

Sementara itu, Peneliti Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto mengatakan, cuaca ekstrem tersebut menjadi salah satu dampak krisis iklim di Indonesia.

Laporan terbaru Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) PBB, katanya, menemukan perubahan iklim mengintensifkan siklus hidrologi atau air di alam. Jadi sangat sering terjadi suatu wilayah akan mendapatkan curah hujan ekstrem yang bisa menyebabkan banjir, namun di saat musim kemarau wilayah tersebut akan mengalami kekeringan yang intens.

"Perubahan iklim juga akan menyebabkan pola curah hujan di wilayah tropis berubah dan intensitasnya tergantung dengan wilayah," katanya.

Daerah pesisir juga akan mengalami dampak dari kenaikan tinggi muka laut sepanjang abad ke-21 yang berkontribusi terhadap banjir pantai yang lebih sering di daerah pesisir serta menyebabkan erosi pantai. Dia juga mengingatkan bahwa untuk kota seperti Jakarta, Makassar, Medan dan Surabaya juga akan mengalami respons berbeda.

"Terutama di kota sendiri sudah ada fenomena yang disebut dengan fenomena panas perkotaan," jelasnya.

Secara umum saat ini rata-rata suhu udara permukaan Indonesia lebih rendah dari rata-rata global. Namun, jika dilihat secara spesifik per kota seperti Jakarta maka ditemukan tingkatnya lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. "Kalau kita lihat kota per kota seperti Jakarta itu akan 1,4 derajat Celsius lebih kuat, dibandingkan rata-rata global," katanya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak juga video pilihan berikut ini:


Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia dan dampaknya sudah mulai dirasakan saat ini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Urusan ini perlu ‘diseret’ ke tengah ramainya perbicangan di media sosial dan televisi, atau perlu menjadi tajuk utama di media massa, sehingga porsinya lebih banyak ketimbang perbincangan soal bebasnya Saipul Jamil.

Persoalan ini juga sudah waktunya dibebaskan dari beban kelompok tertentu, yang disebut Social Justice Warrior (SJW). Sehingga tak perlu menunggu menjadi SJW untuk bisa turut andil mengurangi terjadinya perubahan iklim.

Pasalnya, IPCC melalui Sekjen PBB Antonio Guterres pada 9 Agustus 2021 juga telah memberikan peringatan keras berupa ‘Kode Merah Bagi Umat Manusia’ terkait perubahan iklim yang belakangan masif terjadi. Tentu peringatan ini bukan hanya untuk beberapa negara saja, melainkan juga untuk semua negara, termasuk Indonesia.

Bahkan, yang menyedihkan, forum ilmiah itu juga menyebut, 20 tahun ke depan cuaca ekstrem yang terjadi karena perubahan iklim tidak bisa lagi dikendalikan, jika manusia masih saja melakukan aktivitas menyebar emisi karbon secara ekstrem. Gelombang panas dalam periode yang panjang akan memicu kebakaran hutan.

Sementara saat musim hujan, intensitas turunnya air bisa sangat tingi sehingga menyebabkan banjir bandang. Peristiwa banjir bandang yang terjadi di NTT belum lama ini seharusnya bisa menjadi warning bagi orang Indonesia, untuk mulai bergerak mengurangi terjadinya perubahan iklim, dengan cara mengurangi emisi karbon dan merawat hutan.

Sayangnya, menurut catatan WALHI, kondisi lingkungan hidup di Indonesia saat ini dalam keadaan yang sangat tidak baik-baik saja. Hutan di Kalimantan hingga Papua masih terus mengalami eksploitasi dan penghancuran oleh korporasi, yakni berupa penggundulan hutan untuk dialihkan menjadi industri ekstraktif.

Aktivitas industri ekstraktif yang mengeksploitasi alam ini bukan hanya berdampak pada menyusutnya hutan yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon dioksida, namun sekaligus ikut memperparah laju pemanasan global dan mengancam sumber penghidupan puluhan juta masyarakat adat.

Data yang dikutip Liputan6.com dari laman walhi.or.id menyebut, lahan seluas 159 juta hektare di Indonesia sudah terkapling dalam izin investasi industri ekstraktif. Luas wilayah daratan yang secara legal sudah dikuasai oleh korporasi yakni sebesar 82.91 persen, sedangkan untuk wilayah laut sebesar 29.75 persen.

Bahkan Data IPBES 2018 juga menyebut, tiap tahun Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu hektare. Angka itu menjadi angka deforestasi terbesar di antara negara-negara di Asia Tenggara.

Sementara data WALHI dari tahun 2013 hingga 2019 disebutkan, penguasaan lahan sawit di Indonesia selama ini ternyata hanya dikendalikan oleh 25 orang taipan. Total luasan hutan yang dikuasai oleh konglomerat sawit ini sebesar 12.3 juta hektare. Dari total luas hutan yang sudah mendapat lampu hijau dan mengantongi izin tersebut, sebanyak 5,8 juta hektare di antaranya sekarang ini sudah menjadi perkebunan sawit.

 


Deforestasi di Papua dan Kalimantan

Papua dan Kalimantan tercatat yang paling merana. Catatan WALHI menyebut, di Papua selama 20 tahun terakhir terjadi deforestasi seluas 663.443 hektare. Dimana 71 persen di antaranya terjadi sepanjang tahun 2011 sampai 2019. Penyumbang deforestasi terbesar yakni ditujukan untuk pembukaan perkebunan sawit seluas 339.247 hektare. Namun dari hasil penelusuran ternyata hanya 194 ribu hektare saja yang sudah ditanami sawit, selebihnya dalam kondisi rusak.

Sementara itu, belum lama ini juga video foto luasan hutan di Kalimantan yang menyusut dari tahun ke tahun. Foto viral tersebut kemudian dihubung-hubungkan dengan bencana banjir bandang yang belum lama ini terjadi di Kalimantan Selatan.

Setali tiga uang, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, saat dimintai pendapatnya juga tak menampik banjir bandang Kalimantan Selatan lebih disebabkan karena terjadinya alih fungsi lahan secara gila-gilaan.

"Jadi dari banyak data-data menyebutkan 1,2 juta hektare dari luas Kalsel sudah konsesi pertambangan, sudah berubah alih fungsi lahan, hutannya sudah gundul mengalami deforestasi," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com.

Pengalihan fungsi lahan 1,2 juta hektare membuat kawasan hutan di Kalimantan Selatan menjadi kritis. Sehingga saat hujan turun dengan intensitas sedang, hutan tak bisa menyerap air dengan baik. Akibatnya, air hujan mengalir ke sungai dan meluap.

"Jadi jelas perubahan alih fungsi lahan menjadi tambang, sawit, hak pengusahaan hutan (HPH) menjadi penyebab utama kerusakan kawasan di Kalimantan Selatan yang saat ini mengakibatkan banjir," katanya.

Menurut Merah Johansyah, pemerintah sebetulnya sudah tahu pengalihan fungsi lahan merupakan penyebab utama banjir di Kalimantan Selatan. Bahkan, pemerintah tahu kawasan transmigrasi hingga kawasan pertanian di Kalimantan Selatan digusur untuk pertambangan.

"Jadi tidak usah pura-pura (tidak tahu). Pemerintah mengatakan (penyebab banjir) karena curah hujan itu mengejek akal sehat," ucapnya.

Jatam membeberkan data, terdapat 814 lubang tambang di Kalimantan Selatan. Ratusan lubang tambang ini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Selatan.

"Lubang tambang saja di sana ada 814 di seluruh Kalsel," kata Johansyah.

Yang menyedihkan, selain lubang tambang, Merah Johansyah mencatat terdapat 700 hektare lahan tambang di Kalimantan Selatan tumpang tindih dengan permukiman masyarakat. Bahkan, kawasan transmigrasi di Kalimantan Selatan digusur untuk pertambangan.


Klaim KLHK

Sementara itu, pada Maret 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis data terbaru deforestasi di Indonesia. Data tersebut didapat dari pemantauan daratan Indonesia seluas 187 juta hektare, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, dan berdasarkan penyesuaian terhadap peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), yang terdapat dalam program Kebijakan Satu Peta (KSP). Pemantauan ini dilakukan menggunakan citra satelit yang disediakan LAPAN dan di identifikasi secara visual oleh tenaga teknis penafsir KLHK yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dari hasil pemantauan hutan Indonesia pada 2020 menunjukkan, luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 95,6 juta hektare atau 50,9 persen dari total daratan, di mana 92,5 persen dari total luas berhutan atau 88,4 juta hektare berada di dalam kawasan hutan.

Untuk informasi, deforestasi netto tahun 2019 -2020 baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 115,5 ribu hektare. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 119,1 ribu ha dikurangi angka reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 3,6 ribu hektare.

Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 104,4 ribu hektare, di mana 58,1 persen atau 60,64 ribu hektare berada di dalam kawasan hutan dan sisanya seluas 43,7 ribu hektare atau 41,9 persennya ada di luar kawasan hutan.

Sebagai pembanding, hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2019 menunjukkan bahwa deforestasi netto tahun 2018-2019, baik di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 462,5 ribu hektare, yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 465,5 ribu hektare dengan dikurangi reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 3 ribu hektare.

Dengan memperhatikan hasil permantauan tahun 2020 dan 2019 dapat dilihat bahwa secara netto deforestasi Indonesia tahun 2019-2020 terjadi penurunan 75 persen, demikian juga untuk deforestasi bruto terjadi penurunan sebesar 74,4 persen. Dari temuan itu, KLHK mengklaim pengurangan hutan di Indonesia masih relatif rendah dan cenderung stabil.


Antisipasi BNPB

Demi mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bakal terjadi imbas dari cuaca ekstrem, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) baru-bari ini meluncurkan salah satu platform digital bernama Peta Bencana. Ini dilakukan sebagai salah satu langkah membangun kesadaran masyarakat agar dapat terhindar dari bencana alam.

"Karena dia multi platform (berbagai macam media), artinya bisa dikirim dari berbagai platform yang disukai oleh masyarakat. Sehingga dia bisa mendapatkan banyak sekali masukkan (informasi bencana alam) dari situ," kata Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB, Udrekh.

Udrekh menjelaskan, platform itu telah terintegrasi dengan aplikasi pemantauan bencana milik BNPB yakni InAWARE, yang dapat memberikan informasi-informasi terkait dengan bencana alam yang terjadi di suatu daerah.

Melalui Peta Bencana tersebut, katanya, masyarakat dapat saling merangkul untuk meningkatkan rasa kepedulian dan keinginan menerima serta berbagi informasi yang berhubungan dengan suatu bencana.

Berbagai informasi yang dibagikan dalam Peta Bencana, dapat menjadi sebuah informasi berkualitas karena dapat membantu penanggulangan risiko bencana lebih dini. Hal tersebut dapat terjadi karena informasi dalam Peta Bencana lebih cepat menyebar dibandingkan dengan informasi yang disebarkan oleh suatu kementerian atau lembaga lainnya.

"Bagaimana mereka memiliki sebuah kepedulian dan memberikan informasi dengan pemanfaatan beragam teknologi. Karena memang di Peta Bencana sendiri, tidak hanya satu sumber (media saja yang digunakan) untuk bisa menginput yaitu mampu memberikan informasi yang jauh lebih cepat daripada di kementerian lembaga atau lainnya," ujar dia. 

Udrekh juga menyebutkan bahwa informasi-informasi yang dibagikan oleh masyarakat, dapat membantu pihaknya untuk mendapatkan lebih banyak informasi melalui sistem crowdsourching (metode menampung banyak orang untuk mencapai suatu tujuan) yang ada dalam situs itu.

"Informasi yang disampaikan bisa terfilter (tersaring) dan dari hasil yang ada itu, bisa memberi informasi kecepatan respon kita terhadap kejadian bencana. Tentunya kedua data (dari InAWARE dan Peta Bencana) itu dapat kita olah menjadi sebuah pengetahuan bagi upaya mitigasi ke depan," kata Udrekh.

Direktur Yayasan Peta Bencana Nashin Mahtani mengatakan Peta Bencana dapat membantu berbagi informasi bencana yang terjadi di Indonesia secara real time (waktu nyata suatu kejadian).

Ia menjelaskan, situs tersebut akan bekerja dengan mendeteksi suatu kata yang dibagikan masyarakat, di berbagai media sosial yang berhubungan dengan bencana alam. Kemudian mengirimkan pesan otomatis kepada para pengguna untuk mengetahui bencana tersebut lebih lanjut. Apabila pengguna tersebut melaporkan benar telah terjadi bencana di suatu daerah, laporan-laporan tersebut akan langsung ditampilkan di situs Peta Bencana.

"Ketika pengguna mengirimkan laporan mereka, laporan-laporan ini segera ditampilkan di situs Peta Bencana yang merupakan situs website yang sangat ringan datanya dan situs website mobile centric artinya dapat diakses oleh siapa saja,” ujar dia.

Ia membeberkan di dalam Peta Bencana, biasanya informasi yang dibagikan oleh masyarakat tidak hanya berbicara soal banjir. Tetapi juga tanah longsor, kebakaran hutan, gunung berapi, gempa bumi dan tsunami termasuk fasilitas dan infrastuktur yang rusak akibat bencana alam tersebut.

Nashin mengatakan pada saat terjadi bencana, masyarakat akan sibuk membagikan informasi secara cepat di berbagai platform media sosial. Sehingga dapat mencegah terjadinya suatu kesenjangan informasi pada saat bencana terjadi serta membantu warga dalam memberikan kesadaran situasional dan dukungan keputusan.

"Peta bencana membuktikan bahwa pengumpulan dan visualisasi data berbasis komunitas dapat mengurangi risiko bencana dan membantu upaya penyelamatan secara gotong royong digital," katanya.

 


Infografis

Infografis 19 Provinsi di Indonesia Terancam Banjir Bandang. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya