Kalah di Pengadilan Arbitrase London, Garuda Indonesia Masih Punya Harapan

Garuda Indonesia dinyatakan kalah pada putusan Arbitrase oleh London Court of International Arbitration (LCIA)

oleh Arief Rahman H diperbarui 21 Sep 2021, 20:03 WIB
Pesawat Airbus A330 Garuda Indonesia mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang, Provinsi Aceh pada 13 Juli 2021. (CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP)

Liputan6.com, Jakarta Garuda Indonesia dinyatakan kalah pada putusan Arbitrase oleh London Court of International Arbitration (LCIA) terkait gugatan lessor pesawat Helice Leasing S.A.S dan Atterisage S.A.S (Goshawk).

Namun peluang negosiasi terhadap lessor masih terbuka luas khususnya untuk mencapai kesepakatan terbaik guna mendapatkan keringanan atas beban biaya sewa pesawat ditengah penurunan kinerja imbas pandemi.

Pengamat Hukum Penerbangan dari Universitas Tarumanagara, Prof Ahmad Sudiro berpendapat bahwa walaupun prinsipnya putusan Abritrasi tersebut final dan mengikat. Namun demikian ada upaya lain yang dapat dilakukan oleh pihak Garuda Indonesia, yaitu melakukan pendekatan di luar pengadilan kepada pihak yang dimenangkan dalam putusan ini untuk meminta keringanan.

"Negosiasi pendekatan yang dapat dilakukan oleh pihak Garuda Indonesia ini diperbolehkan dan ini di luar yuridis formal" kata Prof Ahmad kepada wartawan, Selasa (21/9/2021).

Pria yang juga sebagai Guru Besar Hukum di Universitas Tarumanagara walaupun putusan tersebut telah memiliki ketetapan hukum arbitrase, namun peluang renegosiasi masih dapat ditempuh. Dan dirinya meyakini, jika Garuda Indonesia melakukan pendekatan secara baik akan memperoleh kesepakatan terbaik bagi seluruh pihak.

"Saat ini dunia transportasi udara yang tidak hanya di Indonesia namun global mengalami masa-masa sulit di tengah terpaan pandemi Covid-19. Melalui jalan mediasi pihak lessor diharapkan mau memberikan keringananya kepada Garuda Indonesia," katanya.

Prof Ahmad juga mengatakan ditengah masa yang penuh tantangan bagi industri penerbangan, pandemi ini sekiranya dapat dijadikan momentum bagi pelaku industri penerbangan untuk melakukan berbagai pembenahan strategi dan tata kelola bisnis khususnya dalam hal legal governance.

"Kita ketahui bahwa perjanjian kerjasama ini telah dilakukan oleh managemen Garuda Indonesia yang sebelumnya. Karenanya ke depannya pembuatan kontrak kerjasama harus dikawal dengan perspektig legal yang solid sehingga dapat menjaga kepentingan Garuda Indonesia dan negara. Sebab jika ada celah yang merugian dalam kerjasama tersebut dan tidak diantisipasi maka dapat menjadi bumerang pada keberlangsungan usaha" katanya.

Sementara itu, Pengamat Penerbangan Arista Atmadjati turut mengungkapkan bahwa keputusan arbitrase ini merupakan sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan dari perspektif legal.

Namun demikian dari aspek business judgment, kondisi pandemi yang terjadi saat ini masih terus berlangsung, dapat menjadi kesempatan bagi Garuda Indonesia untuk mengupayakan konsensus bersama atas perspektif outlook industri penerbangan kedepannya sehingga dapat menemukan titik temu terbaik dalam kerangka keberlangsungan bisnis.

"Hal tersebut yang saya lihat dapat dimaksimalkan melalui penjajakan restrukturisasi kewajiban usaha yang saat ini tengah dirampungkan Garuda Indonesia. Dengan kompleksitas tantangan kinerja yang ada dan melihat praktik restrukturisasi yang dijalankan pelaku industri penerbangan lainnya, proses ini diperkirakan tidak akan berlangsung sebentar," katanya.

Namun demikian, Arista mengatakan dengan roadmap langkah pemulihan kinerja yang dilakukan secara terukur serta fokus pengembangan basis jaringan penerbangan, optimalisasi market domestik, dan pengelolaan armada yang lebih efektif dan efisien, Garuda Indonesia sebagai national flag carrier masih memiliki outlook kinerja yang menjanjikan kedepannya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Tak Mempengaruhi Kinerja Perusahaan

Ilustrasi maskapai penerbangan Garuda Indonesia saat berhenti di apron Bandara Adi Soemarmo.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Pada kesempatan terpisah, Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman melihat dari gugatan terhadap Garuda dari lessor ini tidak akan berdampak besar terhadap kinerja perusahaan, terutama dalam operasional. Sedangkan jika dalam kewajiban itu harus mengembalikan pesawat yang disewa juga tidak mengganggu operasional, karena permintaan penumpang pesawat yang sedang menurun.

"Masalahnya permintaan saat ini juga masih anjlok, kalau pesawat mau dilepas tentu bisa saja. Dampaknya ke operasional kecil kegiatan pasar masih di bawah, outcome-nya tidak terlalu merugikan dari operasional. Lessor yang baru-baru ini bukan yang keras kepala jadi masih kooperatif pasti mencari jalan keluar," katanya.

Gerry juga menjelaskan bahwa jika dalam kewajiban Garuda Indonesia harus membayarkan sejumlah uang, tentu harus melihat lagi kondisi keuangan yang saat ini juga masih mengalami kesulitan. Hanya saja sampai saat ini belum jelas apa yang harus dibayarkan Garuda Indonesia kepada pihak lessor baik berupa pengembalian pesawat atau pembayaran sejumlah uang.

"Saya melihat di sini tentunya lessor juga masih harus memikirkan prospek penerbangan di Indonesia. Karena pasar domestik Indonesia yang masih prospektif. Dimana menurut proyeksi INACA industri penerbangan domestik mulai pulih pada tahun 2022. Dan jika ternyata industri penerbangan di Tanah Air kembali pulih maka mau tidak mau lessor akan diuntungkan. Untuk ini Garuda Indonesia harus bisa meyakini hal ini," katanya.

Menghormati PutusanSebelumnya, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan bahwa pihaknya menghormati dan menyikapi secara bijak hal-hal yang telah ditetapkan putusan Arbitrase oleh LCIA terkait dengan gugatan dari lessor pesawat terhadap pihaknya. Dan pihaknya akan melakukan koordinasi dengan kuasa hukum yang telah ditunjuk untuk mempertimbangkan langkah yang dapat dilakukan oleh Perseroan.

"Atas putusan arbitrase tersebut, saat ini Garuda Indonesia juga terus menjalin komunikasi intensif dengan Goshawk guna menjajaki kesepakatan terbaik dalam upaya penyelesaian kewajiban usaha Perseroan diluar proses hukum yang telah berlangsung. Adapun upaya tersebut salah satunya dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan penjajakan skema restrukturisasi maupun strategi alternatif penunjang lainnya," katanya.

Irfan juga menjelaskan melalui komunikasi yang sejauh ini telah terjalin dengan baik tentunya pihaknya cukup optismistis penjajakan yang dilakukan tersebut dapat menghasilkan kesepakatan terbaik bagi seluruh pihak khususnya dengan memperhatikan aspek keberlangsungan usaha ditengah tekanan kinerja industri penerbangan di masa pandemi ini.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya