Melihat Prospek Penggalangan Dana dari Pasar Modal Jelang Akhir 2021

Pengamat Pasar Modal dari Asosiasi Analis Efek Indonesia, Reza Priyambada mengatakan, penggalangan dana dari pasar modal akan dipengaruhi sentimen yang berkembang.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 22 Sep 2021, 21:46 WIB
Pialang memeriksa kacamata saat tengah mengecek Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Jakarta, Kamis (9/9/2021). IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore ditutup menguat 42,2 poin atau 0,7 persen ke posisi 6.068,22 dipicu aksi beli oleh investor asing. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang 2021, aktivitas di pasar modal tanah air cukup padat kendati masih dalam situasi pandemi-COVID-19. Selain pencatatan perdana saham (initial public offering/IPO), emiten juga berbondong-bondong melaksanakan penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) alias rights issue.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat penggalangan dana yang dihimpun melalui Initial Public Offering (IPO) atau penawaran umum perdana saham per 16 September 2021 telah terkumpul sebesar Rp 32,14 triliun.

Dana tersebut berasal dari 38 perusahaan tercatat. Sekaligus menjadi dana terbesar yang dihimpun perusahaan melalui IPO sejak Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada 1977.

BEI juga mencatat ada sekitar 43 emiten yang berada dalam pipeline untuk menggelar rights issue, potensi penggalangan dana atau fundraised sekitar Rp 23,24 triliun.

Pengamat Pasar Modal dari Asosiasi Analis Efek Indonesia, Reza Priyambada mengatakan, penggalangan dana dari pasar modal akan dipengaruhi sentimen yang berkembang. Sentimen tersebut bisa berasal dari internal maupun eksternal.

"Sentimen tersebut tergantung dari kondisi yang ada. Bisa dari internal maupun eksternal terkait dengan kondisi bursa saham & ekonomi luar,” kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (22/9/2021).

Sebagai contoh, Reza menyebutkan gejolak Evergrande, perusahaan properti asal China juga akan berimbas pada pasar saham. Diketahui, dampak dari kasus tersebut memang sangat luas. Tak hanya untuk pasar saham, imbasnya bahkan turut menghantam pasar cryptocurrency atau kripto.

"Seperti sekarang ini, adanya kasus Evergrande. Itu memberikan imbas negatif ke pasar saham global meskipun tidak berhubungan secara langsung,” ujar dia.

Selain itu, sentimen dari sisi makro. Seperti nilai tukar rupiah dan industri juga berpengaruh ke pasar saham.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Alasan Lain

Pengunjung mengambil foto layar indeks harga saham gabungan yang menunjukkan data di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Sebelumnya, Perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 2017 ditutup pada level 6.355,65 poin.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Reza mengatakan right issue bukan hal yang baru di pasar modal. Menurut dia, right issue dipilih oleh perusahaan karena mekanismenya yang lebih mudah dan cepat dibandingkan model penghimpunan dana lainnya, seperti dari perbankan.

"Rights issue dipilih kemungkinan lebih mudah dan lebih cepat mendapatkan pendanaan," kata dia.

Sedangkan IPO yang marak berlangsung pada 2021 juga didorong perusahaan melihat kesempatan untuk peroleh pendanaan yang kuat.

"IPO ramai karena kebutuhan pendanaan dan juga antisipasi pemulihan ekonomi sehingga para emiten memiliki kesempatan memperoleh pendanaan yang kuat," kata Reza.

Sayangnya, tak semua saham baru mencatatkan pergerakan yang menggembirakan usai debut. Sejumlah saham emiten terpantau ambruk usai melantai di Bursa. Reza menilai hal itu lantaran adanya aksi ambil untung oleh pelaku pasar. Selain terpengaruh pasar karena memang tercatat sebagai perusahaan baru di Bursa.

"Selain karena terpengaruh dari pasar juga karena saham-saham tersebut kan masih baru listing. Jadi biasanya momen IPO sering dijadikan profit taking bagi pelaku pasar,” ujar dia.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya