Liputan6.com, Jakarta Menurut beberapa studi, adanya hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia, kehamilan kembar, usia ibu hamil di atas 30 tahun merupakan sederet faktor risiko yang berhubungan dengan kardiomiopati peripartum.
"Kardiomiopati peripartum itu merupakan gangguan pada otot jantung yang dialami ibu hamil satu bulan sebelum hingga lima bulan setelah melahirkan. Meski bukan merupakan penyakit yang umum, namun kardiomiopati peripartum dapat menyebabkan komplikasi berat, serta meningkatkan dengan angka kesakitan dan kematian pada ibu hamil," ujar dr. Ina Nadia, Sp.JP, FIHA (Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah RS EMC Sentul).
Advertisement
Di beberapa negara, angka kematian akibat kardiomiopati peripartum bervariasi antara 5-50%. Selain faktor di atas, adanya riwayat kardiomiopati dalam keluarga juga dapat menjadi pencetusnya.
Lalu apa penyebab kardiomiopati peripartum? Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebabnya, namun terdapat beberapa hipotesis yang mengaitkan dengan respon inflamasi pada otot jantung, stres oksidatif dan prolaktin, serta microchimerism.
Ketahui Tanda dan Gejala
Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah RS EMC Sentul dr Ina Nadia, Sp.JP, FIHA menjelaskan, keluhan terkait kardiomiopati peripartum sering kali tak dihiraukan selama masa kehamilan. Hal ini tentunya dapat menyebabkan keluhan bertambah parah, seiring bertambahnya usia kehamilan.
dr Ina Nadia juga mengatakan, keluhan kardiomiopati peripartum dapat terjadi karena adanya penurunan fungsi kontraksi jantung, untuk memompakan darah ke seluruh tubuh. Selain itu, tubuh juga mengalami gangguan kontraksi yang menyebabkan penumpukan darah atau kongesti dengan gejala seperti:
- Sesak nafas saat aktivitas
- Sesak nafas bila berbaring
- Batuk ataupun terbangun saat tidur malam karena sesak nafas
- Bengkak pada kedua tungkai bawah
- Berat badan semakin bertambah karena penumpukan cairan
- Perut semakin membesar, terdapat rasa penuh/begah
Jika sudah muncul gejala atau tanda-tandanya, dr Ina Nadia menyarankan, agar ibu hamil langsung segera berkonsultasi ke dokter, untuk mendapatkan diagnosis kardiomiopati peripartum.
Nantinya saat diagnosis, dokter spesialis akan mendiagnosa berdasarkan dua pertimbangan di bawah ini, yaitu:
- Terdapat keluhan kongesti yang dirasakan satu bulan sebelum hingga lima bulan setelah melahirkan
- Fungsi kontraktilitas jantung kiri kurang dari 45% pada pemeriksaan ekokardiografi
Advertisement
Pemeriksaan Penunjang
Selain dua diagnosis di atas, dokter juga akan melakukan pemeriksaan penunjang yang dilakukan menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis lain pada kardiomiopati peripartum meliputi:
1. Echocardiografi
Echocardiografi dilakukan untuk menilai fungsi jantung, kontraktilitas jantung bagian kiri dan kanan, ukuran ruang-ruang jantung, ada tidaknya penebalan otot jantung, kelainan katup jantung, adanya trombus, serta kelainan struktural lain
2. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiografi tidak spesifik dalam diagnosis kardiomiopati peripartum. Hasil pemeriksaan elektrokardiografi yang normal tidak menyingkirkan diagnosis peripartum kardiomiopati. Namun pada pemeriksaan EKG dapat dinilai ada tidaknya pembesaran jantung, kelainan irama jantung, maupun kelainan elektrokardiografi lain.
3. Pemeriksaan laboratorium
Kadar Brain Natriuretic Peptide (BNP) dan N terminal pro-BNP akan sangat meningkat pada kardiomiopati peripartum, namun pada kehamilan normal tidak signifikan meningkat, begitu pula pada preeklampsia biasanya hanya sedikit meningkat.
4. Biopsi Endomiokardial
Apabila terdapat kecurigaan seperti miokarditis giant cell, biopsi endomiokardial dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial
Waktu Tepat Tatalaksana
Setelah mendatangi dokter spesialis dan mendapatkan hasil diagnosa, kemudian akan dilakukan ke tahapan selanjutnya. Adalah tatalaksana. Ya, tatalaksana kardiomiopati peripartum diberikan setelah diagnosis ditegakkan dengan mempertimbangkan keamanan untuk ibu hamil dan menyusui.
Tatalaksana yang diberikan dibagi berdasarkan klinis pasien yakni akut dan kronik. Apabila terjadi gagal nafas maupun sesak nafas yang berat diperlukan perawatan di ruang intensif. Pada kondisi akut, terapi suportif diberikan untuk memperbaiki kondisi hemodinamik, mengurangi gejala serta mencapai luaran yang baik untuk ibu dan kandungannya.
Terapi suportif yang diberikan berupa diuretik, vasopresor dan inotropik. Terapi lain yang diberikan berupa terapi gagal jantung meliputi diuretik, penghambat beta, hidralazin dan nitrat.
Beberapa terapi seperti penghambat enzim pengubah angiotensin dan antagonis aldosteron bersifat teratogenik, oleh karena itu hanya dapat diberikan setelah bayi lahir.
Advertisement
Prognosis dan Kehamilan Setelah Mengalami Kardiomiopati Peripartum
Wanita yang pernah mengalami kardiomiopati peripartum berisiko mengalami kardiomiopati di kehamilan selanjutnya. Risikonya bergantung pada pemulihan fungsi otot jantung sepenuhnya, pascakardiomiopati sebelumnya, serta fungsi kontraktilitas jantung sebelum hamil.
Berdasarkan panduan European Society of Cardiology 2018, disarankan untuk mencegah kehamilan selanjutnya apabila fungsi kontraktilitas jantung pasca peripartum kardiomiopati tidak lebih dari 50%.
Wanita dengan pemulihan kontraktilitas otot jantung lebih dari 50% memiliki risiko komplikasi yang lebih rendah pada kehamilan selanjutnya, namun tetap memiliki risiko gagal jantung berulang. Konsultasi dengan dokter serta konseling dalam perencanaan kehamilan pasca kardiomiopati peripartum sangat diperlukan.
Nah, jika Anda mengalami gejala dan tanda-tanda terkait kardiomiopati peripartum, segera konsultasikan dengan Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah agar dapat ditangani dengan segera.
(*)
Baca Juga
Liburan Akhir Tahun Bersama Indonesia International Stuntman Show di TMII, Beli Tiket via Livin' by Mandiri
Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Pedesaan, BRI Dukung Transformasi Pertanian Modern di Desa Bansari
BRI Wujudkan Pertanian Modern di Desa Bansari, Inovasi untuk Dukung Kesejahteraan Masyarakat