Mengenal Tapering Off The Fed dan Dampaknya Bagi Indonesia

Tapering off merupakan pengurangan stimulus moneter yang dikeluarkan bank sentral saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan banyak suntikan dana likuiditas.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Sep 2021, 22:07 WIB
The Fed (www.n-tv.de)

Liputan6.com, Jakarta - Tapering off yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserves (The Fed) akhir 2021 diramalkana akan menjadi pembicaraan hangat. Kebijakan tersebut lantas mendapat perhatian dari banyak pihak, terutama investor yang khawatir dengan potensi dampak yang ditimbulkan terhadap pasar.

Tapering off merupakan pengurangan stimulus moneter yang dikeluarkan bank sentral saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan banyak suntikan dana likuiditas. Hal ini dilakukan The Fed dengan mengurangi ukuran program pembelian obligasi yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).

Pada umumnya, indikator pengukur kapan tapering off dilaksanakan adalah ketika inflasi mengalami keseimbangan, tingkat pengangguran menuju normal, hingga pemulihan tingkat kredit atau pinjaman yang menandakan ekonomi mulai aktif kembali.

Di Agustus 2021 kemarin, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 0 - 0,25% dalam rapat Federal Open Market Committee. Namun, Ketua The Fed, Jerome Powell sudah mengisyaratkan mulai mempertimbangkan untuk melakukan tapering off atau pengurangan stimulus besar–besaran di tahun ini. Meskipun demikian, Powell juga memperingatkan bahwa mulainya tapering pembelian asset tidak dapat diinterpretasikan sebagai sinyal segera menyusulnya kenaikan suku bunga.

Awalnya para pengamat ekonomi AS pun memperkirakan kebijakan tapering off kemungkinan akan terjadi paling cepat pada 21 – 22 September, namun kini mereka memperkirakan kebijakan ini akan mulai dilakukan pada November atau Desember 2021 karena ketidakpastian yang ditimbulkan virus Covid-19 varian Delta dan masih tingginya tingkat pengangguran di Amerika Serikat.

"Ini membuat The Fed dalam mode 'wait and see' pada rapat perumusan kebijakan mereka di September. Jangka waktu ini bisa saja lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang, tergantung dampak varian Delta dan pencapaian vaksinasi," ungkap Kepala Ekonom Grant Thornton LLP Diane Swonk dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (23/9/2021).

Tidak dapat dipungkiri, tapering off yang pernah dilakukan The Fed tahun 2013 lalu terbukti memicu taper tantrum yaitu sebuah keadaan gejolak pasar keuangan ketika The Fed mengetatkan kebijakan moneternya. Investasi asing yang saat itu mendominasi pasar modal Indonesia pun menarik uang mereka dan memutuskan untuk menaruh dana di pasar modal Amerika Serikat karena dianggap lebih menarik.

Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah 10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS diikuti jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 4.200 di akhir 2013 dari sebelumnya yang berada di level 5.200. Efek kebijakan tersebut bahkan berdampak panjang pada tren pelemahan rupiah hingga melewati 14.000 per dolar di 2015.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Menakar Risiko Bagi Indonesia

Ada sebanyak 190 saham menghijau sehingga mendukung penguatan ke level 4.483,45.

Bagaimana dengan risiko yang dihadapi Indonesia tahun ini?

Dalam riset yang dipublikasikan oleh Nomura Research Institute, sebuah lembaga riset ekonomi terbesar di Jepang, Indonesia masuk ke daftar 10 negara rentan (fragile 10) terdampak bersama Brasil, Kolombia, Chili, Peru, Hongaria, Rumania, Turki, Afrika Selatan, dan Filipina jika tapering off dilakukan. Sebelumnya, Nomura juga memasukkan Indonesia ke dalam daftar 5 negara berkembang rentan selama taper tantrum di 2013 bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki.

Nomura menyebutkan penyebab rentannya 10 negara tersebut adalah kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang lemah, inflasi yang meningkat, dan berkurangnya kekuatan fiskal. Situasi di negara-negara berkembang di mana inflasi lebih tinggi daripada suku bunga juga menjadi sumber kerentanan.

Namun, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo cukup optimis dampak tapering off The Fed tidak akan sebesar taper tantrum pada tahun 2013 baik untuk pasar global, emerging market, bahkan Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada beberapa poin termasuk komunikasi The Fed yang sangat terbuka terkait kerangka kerja dan kebijakan sehingga Indonesia lebih mudah memahami pola kerja The Fed ke depannya.

Dari sisi internal BI sendiri, telah ada kebijakan yang matang dalam mengelola risiko tapering off baik kepada nilai tukar rupiah maupun pergerakan arus modal asing, selain itu BI juga memiliki bantalan cukup besar berupa cadangan devisa yang hingga akhir Juli 2021 berada di posisi USD 137,4 miliar sehingga dianggap cukup untuk melakukan stabilisasi di tengah risiko tapering off.

"Tidak dapat dipungkiri dampak tapering off tahun 2013 silam berimbas cukup kuat terhadap perekonomian Indonesia, di mana salah satu penyebabnya adalah cukup tingginya arus dana asing yang masuk ke pasar saham Indonesia dari kebijakan Quantitative Easing (QE) setelah krisis keuangan 2008 dan Current Account Deficit (CAD) pada tahun 2013 yang mencapai lebih dari 3 persen dari pertumbuhan ekonomi," jelas CEO/Managing Partner Grant Thornton Indonesia Johanna Gani. 

Dampak paling terasa dari taper tantrum 2013 yaitu merosotnya nilai tukar rupiah hingga puncak pelemahan terjadi pada September 2015 dimana pada akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level 9.790 per dolar AS sampai pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730 per dolar AS, yang berarti terjadi pelemahan lebih dari 50 persen. Sedangkan IHSG saat itu pun jatuh dari level 5.200 ke level 4.200 di akhir 2013.

“Namun secara keseluruhan dampak tapering off The Fed diprediksi tidak akan seberat 2013. Pertama, the Fed sudah sangat transparan dalam hal komunikasi khususnya prospek ekononomi seperti inflasi dan penggangguran, termasuk terkait rencana tapering off yang akan dilakukan tahun ini. Kedua, kondisi makro-ekonomi dalam negeri yang juga lebih baik dibandingkan 2013, antara lain dengan cadangan devisa yang cukup tinggi mencapai USD 137,4 miliar pada Juli 2021. Angka cadangan devisa ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada Juni 2013 yang hanya mencapai USD 98,1 miliar,” sambung Johanna.

“Kami mendukung pemerintah terutama BI sebagai regulator untuk mengantisipasi dampak tapering off dari jauh–jauh hari termasuk kesiapan untuk melakukan intervensi, seperti intervensi di pasar spot hingga pembelian SBN di pasar sekunder jika pihak asing melepas kepemilikan SBN mereka. Dengan adanya persiapan yang lebih matang, semoga dampak tapering off kali ini terhadap depresiasi rupiah masih berada dalam tahap yang wajar," tutup dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya