Liputan6.com, Jakarta - Krisis yang tengah menimpa pengembang real estate terbesar kedua di China, Evergrande diperkirakan tidak akan banyak mempengaruhi pasar saham dalam negeri.
Peneliti Senior sekaligus Ekonom PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero mengatakan, gejolak Evergrande akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi China lantaran sektor real estate memiliki andil cukup besar.
"Efek Evergrande akan lebih banyak berdampak pada China. Tetapi karena sektor real estate meliputi 27 persen ekonomi China, maka tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi China," ujar dia dalam Webinar IGICO Class #1 bertajuk ‘Ancaman Kolapsnya Evergrande Dan Apa Pengaruhnya Terhadap Indonesia’, Kamis (23/9/2021).
Jika perbankan terimbas krisis Evergrande, Poltak menilai dampaknya akan lebih besar lagi untuk ekonomi China. Baru-baru ini, Bank sentral China, The People's Bank of China dikabarkan melakukan injeksi likuiditas senilai USS 18,6 miliar atau sekitar Rp 264 triliun ke sistem perbankan lewat reverse repurchase agreements.
Baca Juga
Advertisement
Hal itu dilakukan untuk menekan kekhawatiran pelaku pasar terhadap krisis Evergrande Group. Aksi ini disebut menjadi sentimen positif, apalagi unit bisnis properti Evergrande juga berencana membayar bunga utang yang jatuh tempo Kamis ini.
"Bila perbankan China ikut terpengaruh, maka efeknya akan menjadi lebih besar lagi terhadap ekonomi China," kata Poltak.
Pembayaran bunga pada Kamis, 23 September 2021 bisa ditangguhkan Evergrande adalah bersifat onshore. Sementara untuk bunga offshore belum ada kejelasan.
"Sampai dengan akhir 2021 ini, Evergrande masih memiliki kewajiban membayar bunga sebesar ekuivalen USD 669 juta,” ujar dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Proyeksi IHSG
Senada, Founder Sahamology, Luqman El Hakiem menilai, pergerakan pasar tanah air lebih banyak digerakkan oleh investor lokal yang tak terlalu sensitif terhadap isu global.
"Kami melihat kasus Evergrande lebih ke arah ‘political move’ dari Xi Jinping (Presiden China) untuk control the nation. Yakni mendorong agenda reformasi sosialisme setelah tech crackdown untuk redistribution of wealth," paparnya.
"Ini seperti War of Greed versus Power antara kelompok kapitalis versus penguasa China,” imbuh Lukman.
Di sisi lain, transparansi The Fed mengenai pengendalian inflasi, kejelasan pekerja, tapering dan kenaikan suku bunga, dinilai dapat membuat market cukup stabil. Menurut dia, yang menjadi perhatian saat ini adalah stabilitas kinerja dari perusahaan pasca mencatatkan kinerja yang membaik di kuartal II 2021.
"Yang jadi concern saat ini adalah growth dari perusahaan, apakah akan bisa sustaninable setelah post best result di kuartal II 2021,” kata dia.
Untuk pasar lokal, lanjutnya, isu yang saat ini mendominasi adalah terkait vaksinasi dan pemulihan ekonomi. Sampai akhir tahun, Lukman memproyekskan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan mendekati level 6.300-6.400 (best scenario) dengan stretching mendekati level 6.500-6.600.
Advertisement