Liputan6.com, Jakarta - Euforia bank digital nampaknya masih berlangsung hingga saat ini. Hal itu tak mengherankan, mengingat glorifikasi digital yang kian masif selama pandemi covid-19. Bank-bank konvensional, bahkan perusahaan non-bank gencar ekspansi membentuk bank digital.
Meski begitu, seperti umumnya industri baru, industri bank digital diperkirakan hanya akan menelurkan sedikit pemenang. Memang, dari sisi infrastruktur saat ini, baik dari sisi ekosistem maupun teknologinya sudah mumpuni. Namun, Founder Sahamology, Luqman El Hakiem mengatakan, yang menjadi perhatian saat ini lebih pada prospek kinerja bank digital itu sendiri ke depannya.
“At the end of the day, kita enggak bisa samakan ini dengan kondisi bubble tech di dunia pada tahun 90’an. Karena memang infrastrukturnya dan ekosistemnya belum ready. Sekarang sudah ready semua. Cuma yang jadi permasalahan adalah seberapa cepat value akan catch up dengan harganya," kata dia dalam Webinar IGICO Class #1 bertajuk ‘Ancaman Kolapsnya Evergrande Dan Apa Pengaruhnya Terhadap Indonesia’, dikutip, Jumat, (24/9/2021).
Baca Juga
Advertisement
Sebagai gambaran, Luqman menyebutkan debut bank asal Korea, Kakao Bank yang meraup sekitar USD 2,2 miliar dari IPO. Saham Kakao Bank langsung melonjak 78,97 persen dari harga IPO KRW 39.000 pada hari pertama perdagangan sahamnya. Nilai kapitalisasi pasar (market cap) saham Kakao Bank tercatat lebih dari KRW 32 triliun. Namun, setelah beberapa pekan, saham Kakao terkoreksi.
Cerita lainnya, yakni merujuk pada saham Coinbase yang sempat melonjak di awal debutnya. Namun, kemudian tersungkur seiring perkembangan bisnisnya.
“Memang kalau value-nya enggak bisa catch up, pasti harga akan koreksi. Itu pasti,” kata Luqman.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Perbankan Dinilai Cukup Unik
Luqman menilai, industri perbankan cukup unik lantaran tidak seperti industri lain yang memerlukan bahan baku, produks, hingga pemasaran.
Melainkan posisi perbankan yakni sebagai perantara antara nasabah yang akan menyetorkan uangnya, dan nasabah yang akan melakukan pinjaman. Sehingga jika ingin mengukur kinerja bank digital, gampangnya bisa dilihat, apakah bank digital tersebut mampu melakukan fungsinya sebagai perantara atau intermediary.
"Bank yang sukses menjadi intermediary, adalah kalau bisa narik duit dari nasabah atau DPK. Yang kedua, bisa mendistribusikannya ke orang yang mau ngutang (kreditur). Sekarang langsung dilihat saja,” kata dia.
“Dari situ sudah bisa lihat, mana yang prospek dan mana yang tidak,” imbuhnya.
Sementara terkait kenaikan harga saham bank digital, Luqman menilai investor saat ini sudah lebih melek akan resiko investasi. Dengan banyaknya ekosistem dan komunitas, investor dianggap dapat menilai baik dari sisi fundamental maupun teknikal untuk keputusan investasinya di bank digital.
"End game-nya tergantung dari investor sendiri. Cabut atau nggak… Sekarang ekosistem dan komunitasnya sudah jadi semua. Tinggal seberapa cepat duit yang dibakar itu bisa cepat jadi nasabah, cepat jadi revenue. Kalau itu gagal, ya sudah. sahamnya juga pasti anjlok,” ujar dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Advertisement