KKP Ajak Masyarakat Budidaya Ikan Sistem Bioflok, Pendapatan Bisa Naik 3 Kali Lipat

Teknologi budidaya ikan sistem bioflok diklaim banyak menarik minat masyarakat untuk dapat diaplikasikan terutama untuk komoditas ikan air tawar seperti ikan lele/nila.

oleh Arief Rahman H diperbarui 26 Sep 2021, 15:29 WIB
Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang mendorong pembudidayaan dengan sistem bioflok di masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang mendorong pembudidayaan dengan sistem bioflok di masyarakat. Pasalnya, sistem budidaya ini jadi solusi budidaya dalam lahan yang terbatas.

Teknologi budidaya ikan sistem bioflok diklaim banyak menarik minat masyarakat untuk dapat diaplikasikan terutama untuk komoditas ikan air tawar seperti ikan lele/nila.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Tb Haeru Rahayu, yang akrab disapa Tebe menjelaskan bahwa sebagai salah satu program prioritas bantuan pemerintah sistem bioflok ini menjanjikan peningkatan pendapatan hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan sistem konvensional.

Ia mengatakan karena adanya keunggulan yang ditawarkan oleh sistem bioflok ini yang mampu menampung padat tebar yang tinggi, efisien dalam penggunaan pakan dan air, serta dapat memaksimalkan penggunaan lahan.

“Keunggulan lain jika dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional, teknologi bioflok dianggap lebih ramah lingkungan karena hemat dalam hal penggunaan air. Air bekas budidaya juga tidak berbau, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar dan dapat disinergikan dengan budidaya tanaman misalnya sayuran dan buah-buahan,” ungkap Tebe, dalam keterangan resmi, Minggu (26/9/2021).

Selain itu, Tebe juga menilai bahwa komoditas yang ditawarkan dalam program bantuan ini seperti ikan lele dan nila merupakan komoditas favorit masyarakat, jadi relatif lebih mudah dalam pemasaran, karena permintaan pasar yang tinggi.

Kendati begitu, ia juga mengingatkan bahwa kunci dari keberhasilan budidaya metode ini adalah pada segi kedisiplinan.

“Sehingga pendampingan yang berkesinambungan akan tetap dilakukan oleh tim teknis kami maupun melalui penyuluh dan dinas setempat. Harapannya program ini dapat berjalan secara berkelanjutan untuk menyejahterakan pembudidaya sekaligus menjadi jawaban akan kebutuhan pangan berprotein tinggi di masyarakat,” lanjut Tebe.

Gambaran Budidaya

Lebih lanjut ia mengatakan, sebagai gambaran, untuk pemeliharaan 30 ribu benih ikan lele pada 10 bak kolam bulat berdiameter 3 meter membutuhkan biaya produksi untuk benih, pakan, listrik dan probiotik sebesar Rp40,6 juta per siklus atau 3 bulan.

Investasi awal untuk kolam bulat, instalasi air dan aerasi serta peralatan budidaya dan juga biaya tetap per siklus untuk instalasi listrik dan upah tenaga kerja 1 orang membutuhkan biaya sebesar Rp. 40 juta.

Dengan perhitungan sintasan 90 persen dan bobot panen size 8 ekor per kilo setelah 3 bulan pemeliharaan, akan didapatkan 3.375 kg. Hasil yang didapatkan dengan asumsi harga jual Rp15 ribu per kilo adalah Rp 50,6 juta per siklus selama 3 bulan pemeliharaan.

Senada dengan Tebe, Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam, Jambi, Boyun Handoyo mengungkapkan bahwa konstruksi kolam bioflok yang berbentuk bulat sangat efisien dalam penggunaan lahan serta tidak merusak konstruksi tanah, karena tidak ada penggalian tanah.

“Hal lain yang tidak kalah penting dalam budidaya sistem bioflok ini adalah perencanaan yang matang terutama dalam hal konstruksi wadah budidaya, sumber air bersih, sumber daya listrik, ketersediaan sarana budidaya seperti benih berkualitas dan bahan pendukung lain, serta kapasitas produksi dan daya serap pasar di lokasi budidaya,” papar Boyun.

Menurutnya selama 2021, BPBAT Sungai Gelam bertanggung jawab untuk menyalurkan 29 paket bantuan budidaya ikan sistem bioflok di wilayah kerjanya di Sumatera.

“Kami bersyukur pada beberapa lokasi telah dilakukan proses penebaran benih seperti baru-baru ini dilakukan di Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan yang turut dihadiri oleh Bapak Walikota,” paparnya.

 


Kota 1.000 kolam bioflok

Petani memberi pakan pada ikan nila yang dibudidayakan dengan sistem bioflok di Rumah Al-Balat, Bojongsari, Depok, Kamis (18/2/2021). Kenaikan harga ikan nila dipicu matinya ribuan ton ikan nila pada areal tambak apung di berbagai waduk di Pulau Jawa. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, BPBAT Sungai Gelam telah berkoordinasi dengan Pemda Kota Prabumulih dan sepakat untuk menjadikan Kota Prabumulih sebagai kota 1.000 kolam bioflok.

Dengan kolaborasi ini dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, program bioflok di Kota Prabumulih diyakini dapat sukses menjaga ketahanan pangan serta menyejahterakan masyarakat.

"Kami berharap bantuan ini akan berkelanjutan, menghasilkan panen sesuai target dan bertambah produksinya serta ditiru oleh masyarakat sekitarnya,” tutup Boyun.

Menurut data, sejak tahun 2017 sebanyak 14 paket bantuan budidaya ikan sistem bioflok telah disalurkan KKP kepada masyarakat Kota Prabumulih atau sebanyak 130 kolam. Selain itu, sebanyak 4 paket bantuan turut disalurkan melalui dana APBD Kota Prabumulih atau sebanyak 34 kolam.

Dengan teknologi padat tebar lebih tinggi, pendapatan pembudidaya mengalami peningkatan hingga 3-4 kali lipat dibandingkan sebelumnya sehingga banyak menarik minat masyarakat, yang diikuti dengan inisiasi oleh 12 Desa di Kota Prabumulih.

Dengan menggunakan dana desa untuk melakukan swakelola kegiatan budidaya bioflok pada tahun 2021 ini. Adapun jumlah total bantuan budidaya ikan sistem bioflok yang telah disalurkan KKP sejak tahun 2015 hingga tahun 2021 ini mencapai 1.406 unit yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengusung tiga program terobosan KKP, dimana salah satunya ialah pembangunan kampung-kampung perikanan budidaya baik tawar, payau maupun laut berbasis kearifan lokal. “Pengembangan kampung-kampung perikanan perlu didorong sebagai upaya terciptanya lapangan kerja baru dan naiknya kesejahteraan masyarakat,” ujar Menteri Trenggono.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya