Liputan6.com, Jakarta - Di tengah pandemi COVID-19, aksi merger dan akuisisi cukup ramai dilakukan perusahaan tercatat atau emiten. Di tengah sentimen aksi merger dan akuisisi tersebut, ada sejumlah hal yang perlu dicermati investor.
Adapun kabar terbaru aksi korporasi merger datang dari Indosat dan Hutchison 3 Indonesia. Pemegang saham Indosat dan Hutchison 3 Indonesia yaitu Ooredoo QPSC dan CK Hutchison Holdings Limited mengumumkan penandatanganan dari kesepakatan transaksi definitif untuk pengajuan penggabungan bisnis telekomunikasi masing-masing di Indonesia yaitu PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo) dan PT Hutchison 3 Indonesia (H3I) pada 16 September 2021.
Perusahaan gabungan akan diberi nama PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk. Transaksi telekomunikasi dengan nilai total hingga USD 6 miliar atau sekitar Rp 85,54 triliun (asumsi kurs Rp 14.258 per dolar AS).
Selain itu, PT Global Digital Niaga atau dikenal dengan nama Blibli akan mengambilalih saham PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC).
PT Global Digital Niaga akan akuisisi saham RANC dari tujuh pihak antara lain PT Wijaya Sumber Sejahtera, PT Prima Rasa Inti, PT Gunaprima Karyaperkasa, PT Ekaputri Mandiri, Dr David Kusumodjojo, Suharno Kusumodjojo dan Harman Siswanto.
Baca Juga
Advertisement
PT Global Digital Niaga telah teken perjanjian pengikatan pembelian saham dalam PT Supra Boga Lestari Tbk dengan tujuh pihak tersebut pada 15 September 2021. Jumlah saham RANC yang akan diambilalih sebesar 797.888.628 saham atau setara 51 persen dari total modal ditempatkan dan disetor PT Supra Boga Lestari Tbk. Adapun nilai transaksi belum disebutkan dalam pengumuman tersebut.
Sebelumnya ada penggabungan atau merger tiga bank syariah anak usaha BUMN antara lain BRI Syariah, Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri menjadi Bank Syariah Indonesia.
Head of Equity Trading MNC Sekuritas Frankie Wijoyo Prasetyo menuturkan, tujuan utama aksi merger dan akuisisi pada masa pandemi COVID-19 untuk akselerasi pertumbuhan bisnis. Hal ini terutama di sektor perbankan dan digitalsiasi.
"Sebelum pandemi masyarakat sudah mulai terbiasa untuk berbelanja secara online, dan perubahan gaya hidup ini dipercepat dengan ada pandemi,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, ditulis Minggu (26/9/2021).
Ia menuturkan, hal tersebut mendorong emiten juga harus mempercepat transformasi lini bisnisnya untuk mengimbangi perubahan gaya hidup masyarakat yang sudah mulai meningkat dalam belanja online dan menjalankan kegiatan bisnis dengan platform digital.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Perlu Biaya dan Jaringan Luas
Namun, Frankie mengatakan, transformasi ini tentu memerlukan biaya dan jaringan yang luas. Hal ini tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat.
"Oleh karena itu sejumlah emiten-emiten ramai-ramai mencari mitra bisnis dengan jalan kerja sama atau merger, sampai akuisisi terutama dengan perusahaan unicorn e-commerce,” kata dia.
Ia mengatakan, jika tidak demikian tentu bakal ketinggalan dan kehilangan pasar. Para pesaing pun sudah gencar-gencarnya dalam melakukan transformasi bisnisnya.
“Di satu sisi emiten-emiten ini bakal memiliki struktur permodalan tambahan yang jumbo dalam waktu relatif cepat, serta penambahan kapasitas dan jangkauan bisnis,” ujar dia.
Ia menambahkan, di sisi perusahaan yang melakukan aksi merger ataupun akuisisi tersebut bakal merasakan hal yang sama.
Advertisement
Angkat Harga Saham
Frankie mengatakan, aksi merger dan akusisi ini tentu mengangkat harga-harga saham yang telah melakukan aksi ini. Ia mencontohkan, Bank Jago (ARTO) yang kurang dari setahun sahamnya naik dari level antara 2.000an, saat ini sudah bercokol di level 16.000an.
Contoh lain seperti RANC yang bakal di akusisi BliBli sebesar 51 persen kepemilikan saham, kurang dari 3 bulan ini harga saham RANC terbang yang semula berada di rentang level 400-500, saat ini telah naik di atas level 2.000.
Pada 20-24 September 2021, saham RANC masih mencatatkan penguatan meski tipis. Saham RANC naik 1,74 persen ke posisi Rp 2.340 per saham.
"Hal sama juga terjadi dengan bank-bank mini lainnya yang terkait wacana merger ataupun akuisisi,” ujar dia.
Frankie mengatakan, sebenarnya saham-saham ini naik akibat sentimen aksi merger dan akusisi, tetapi kurang didukung oleh kinerja perusahaan yang cenderung masih rendah bahkan ada yang membukukan minus laba bersih.
"Investor yang membeli saham-saham ini karena memiliki ekspektasi bahwa emiten-emiten tersebut bakal memiliki pertumbuhan kinerja yang luar biasa di masa mendatang. Hanya saja harga-harga saham tersebut saat ini telah terapresiasi sangat tinggi,” ujar dia.
Frankie menuturkan, hal ini cukup berisiko jika investor mulai mengkoleksi saham-saham setelah kenaikan yang tinggi ini.
"Jadi disarankan memang jika investor hendak melirik saham-saham dengan wacana merger atau akusisi, bisa bersifat trading dengan jangka waktu singkat,” kata dia.
Ia menambahkan, para investor juga perlu mencermati setiap berita yang ada perihal aksi merger dan akuisisi ini sehingga tidak ketinggalan momentum untuk entry.
Selain itu, ia mengingatkan perlu diperhatikan untuk tidak mengkonsentrasikan seluruh dana investasi ke saham-saham yang lebih digerakan oleh sentimen.
“Soalnya saham-saham ini bisa saja koreksi dalam waktu yang singkat pula. Jadi investor juga baiknya memegang saham-saham dengan kinerja dan fundamental yang stabil di mana harga sahamnya masih tergolong wajar, walau memiliki kenaikan harga saham yang lambat tetapi rendah risiko,” kata dia.