Liputan6.com, Jakarta - Penanganan polusi udara di Indonesia, memerlukan perhatian serius setelah beberapa waktu lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan kasus polusi udara dengan mengabulkan sebagian gugatan para penggugat kepada pemerintah pusat dan Provinsi DKI.
Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri, menyatakan menghukum pemerintah untuk menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan data terbaru Air Quality Life Index (AQLI), sebuah lembaga nirlaba dari University of Chicago, saat ini lebih dari 93 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah dengan tingkat Particulate Matter (PM) 2.5 rata-rata tahunan yang melebihi ambang batas pedoman WHO.
Direktur AQLI Ken Lee mengatakan, pemerintah Indonesia bisa mencontoh apa yang pernah dilakukan Amerika Serikat (AS) pada tahun 1960-an, ketika Los Angeles dikenal luas di seluruh dunia sebagai ibu kota kabut asap.
“Waktu itu, kesadaran polusi udara telah muncul, dan orang-orang mulai menuntut perubahan. Pada tahun 1970, jutaan orang di seluruh AS akhirnya berbaris untuk menuntut lingkungan yang lebih bersih. Itu adalah Hari Bumi Pertama di dunia,” kata Ken dalam video yang diunggah akun Instagram Bicara Udara, Senin (27/9/2021).
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Selain AS, China mampu mengatasi masalah polusi udara
Kongres AS kemudian meloloskan pembaruan penting untuk Undang-Undang mengenai udara bersih AS, dan ini adalah aturan yang pada dasarnya menetapkan seperangkat standar kualitas udara baru. Lalu sejak tahun 1970, di AS terjadi transformasi dan peningkatan dalam hal kualitas udara.
“Tingkat kualitas udara di seluruh negara bagian telah menurun secara substansial antara tahun 1970 dan hari ini, di Los Angeles, penurunan ini kira-kira 60% dan hasilnya adalah orang-orang di wilayah tersebut hidup lebih lama dan lebih sehat,” terangnya.
Ia juga mencontohkan yang dilakukan oleh pemerintah China. Pada awal 2000-an, China dianggap salah satu negara paling tercemar di dunia. Lalu tahun 2013, China mengalami beberapa hari dengan kualitas udara terburuk dalam sejarah modernnya dengan rata-rata konsentrasi PM 2.5 di Beijing adalah sekitar 69 mikrogram per meter kubik, mirip dengan tingkat udara Jakarta saat ini.
“Sebagai tanggapan atas meningkatnya kekhawatiran publik tentang polusi udara, pemerintah China menyatakan perang terhadap polusi pada awal 2014 dan mereka akhirnya mengalokasikan ratusan miliar dolar untuk mengatasi masalah tersebut. Mereka menetapkan target pengurangan yang tinggi untuk wilayah sasaran,” jelasnya.
Advertisement
Di masa pandemi kesehatan menjadi masalah yang penting
Pandemi Covid-19 turut membawa kesehatan masyarakat menjadi masalah yang penting. Dikatakan oleh Ken, saat ini publik Indonesia sangat responsif terhadap informasi baru tentang dampak bahaya polusi udara.
Ini menjadi waktu yang tepat bagi pemerintah untuk lebih perhatian terhadap pengendalian polusi udara.
“Polusi udara adalah masalah yang bisa kita selesaikan. Ketika orang menjadi sadar, mereka mulai menuntut perubahan. Dan jika respons pemerintah dengan langkah-langkah kebijakan yang kuat dan tepat, tingkat polusi pada akhirnya akan turun,” tambah Ken.