Upaya Melawan Intoleransi dengan Literasi

Perpustakaan punya peran memastikan moderasi beragama berjalan agar sikap-sikap intoleransi bisa ditekan.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Sep 2021, 17:10 WIB
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia didirikan pada tahun 1989 berdasarkan Keputusan Presiden nomor 11 tahun 1989.

Liputan6.com, Jakarta - Perpustakaan punya perana penting melawan intoleransi dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Literasi yang baik diyakini dapat meminimalisir individu agar tidak terpengaruh dengan kegiatan intoleransi.

Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI Muhammad Syarif Bando mengatakan, sikap yang intoleransi maupun radikalisasi merupakan bagian dari perjalanan peradaban manusia.

"Maka Tuhan menurunkan agama untuk mengajarkan kepada pengikutnya agar taat beragama, percaya pada Tuhan, cinta sesama dan alam semesta," ungkap Syarif dalam seminar nasional 'Perpustakaan Melawan Intoleransi' yang digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan (HIMAJIP) Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar, pada Senin (27/9/2021).

Sejatinya, lanjut Syarif Bando, perpustakaan memiliki peran untuk memastikan moderasi beragama. Seperti halnya yang telah dilakukan Perpusnas yang bekerja sama dengan Kementerian Agama pada 23 September 2021 lalu.

"Tugas kita memastikan moderasi beragama dapat menjadi skala prioritas. Bahkan Menteri Agama sudah berkomiten, akan mengupayakan membangun mirroring data di Indonesia. Ini dilakukan, untuk memastikan akses masyarakat terhadap sumber pengetahuan, terutama yang terkait keagamaan untuk semua penganut agama. Dapat kita implementasikan dengan paradigma yang baru, yakni perpustakaan menjangkau masyarakat," jelasnya.

Dia menambahkan, individu rentan untuk didoktrin suatu ajaran dikarenakan berbagai masalah, seperti ekonomi, kecerdasan, hingga kesejahteraan. Ditambah pula dengan situasi pandemi Covid-19 yang berdampak secara ekonomi kepada sekira 30 juta orang.

"Cara pandang terhadap pengelolaan perpustakaan menjadi sesuatu yang penting. Siapa yang dapat menyelesaikan persoalannya di perpustakaan, saya kira ini menjadi sebuah jalan yang baik," katanya.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Melawan Intoleransi dengan Literasi

Sementara itu, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar Hasyim Haddade mengatakan, tantangan yang dihadapi dewasa ini adalah bagaimana melawan intoleransi.

"Sesuai dengan orientasi program Kemenag yakni kesadaran beragama secara moderat, bagaimana moderasi beragama dihidupkan di tengah-tengah masyarakat," ungkapnya.

Banyaknya berita kasus yang menyinggung tentang agama, lanjutnya, maka diperlukan literasi bagi mayarakat. Dia menegaskan ini bukan hanya tentang literasi beragama, tetapi seluruh dimensi literasi, terutama dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Ketua Badan Pengawas Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia Putu Laxman Pendit menyatakan, sebagai bagian dari ilmu sosial dan budaya, perpustakaan dan informasi sangat tepat untuk digunakan sebagai alat menyelesaikan masalah sosial dan budaya, salah satunya intoleransi.

Dia menjelaskan, perpustakaan dan kepustakawanan memiliki peran menyelesaikan berbagai isu melalui literasi. Mulai dari intoleransi, radikalisme, fundalisme, dan masalah lain yang berpotensi muncul dalam kehidupan berbangsa. Sebagai bagian dari sistem sosial dan masyarakat, kepustakawanan harus memperhatikan persoalan yang berhubungan dengan norma dan moral.

"Kepustakawanan memiliki antisipasi. Kepustakawanan memiliki etika, di mana harus adil dan netral serta tidak diskriminasi. Pustakawan harus berperan menyelesaikan masalah sosial," jelasnya.

 


Kekerasan Kultural

Di sisi lain, dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia Lasmi mengatakan, kekerasan kultural dalam bentuk intimidasi dan ketidaksetaraan rentan terjadi di masyarakat. Pustakawan harus berperan dalam menyikapi kekerasan kultural dengan memberikan edukasi kepada pemustaka. Meski begitu, dia mengakui pustakawan juga berisiko menjadi korban.

"Kekerasan kultural yang dialami pustakawan dapat berupa praktik intimidasi, marginalisasi, dan dominasi. Sayangnya belum semuanya memahami adanya kekerasan kultural ini. Pemahaman ini dapat dilakukan dengan pembelajaran melalui pengalaman," urainya.

Pustakawan UIN Syarif Hidayatullah Agus Rifai menjelaskan salah satu bentuk toleransi yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia adalah toleransi beragama. Setiap masyarakat di Indonesia berhak memilih agama dan kepercayaan yang diyakini. Maka dari itu, dalam konteks toleransi beragama, perpustakaan harus menyediakan akses ke berbagai sumber bacaan mengenai keagamaan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya