Liputan6.com, Jakarta - Konsep ruang terbuka jadi pilihan utama wisatawan yang ingin melepas penat. Tak heran bila banyak tempat makan kini menyediakan tempat terbuka yang memungkinkan sirkulasi udara bergerak lebih baik. Salah satu yang sedang naik daun adalah Wulenpari di Yogyakarta.
Wulenpari bukan sekadar tempat makan, melainkan destinasi wisata. Pembangunannya berawal dari banjir yang dipicu Siklon Cempaka pada 2017. Aminuddin Aziz, pemilik Wulenpari, dan beberapa temannya mencoba mengembalikan vegetasi tanaman di Desa Beji, Kabupaten Gunungkidul, yang hancur akibat banjir.
Baca Juga
Advertisement
"Kita hampir menanam 10.000 pohon buah-buahan," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis, 23 September 2021.
Total luas Wulenpari, sambung Aziz, hampir mencapai dua hektare. Sekitar satu hektare digunakan untuk destinasi wisata, sisanya dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Dia ingin menjadikan pertanian dan budaya menjadi basis pengembangan pariwisata di bantaran Sungai Oyo itu.
Hasil pertanian itu dijadikan bahan baku untuk restoran. "Kita memasak apa yang kita tanam. Kemudian, kita juga membeli bahan pangan dari warga sekitar yang sudah kita edukasi untuk bertani secara baik," ujar Aziz.
Jika panen tiba, pengunjung bisa ikut memanen bersama hingga memasak hasil panennya sendiri. Menu andalan dari tempat makan itu adalah sayur lodeh. "Memang sayur tradisional Gunungkidul kan," ujar Aziz.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Membangun Persaudaraan
Tidak hanya tempat makan, Wulenpari menyediakan beberapa anjungan yang dapat dinaiki pengunjung. Terdapat pula penyewaan perahu untuk menyusuri Sungai Oyo.
Pengunjung juga bisa berkemah di pinggir sungai. Paket kemping dihargai Rp100 ribu per orang dan bisa mendapatkan perlengkapan kemping.
Aziz sengaja merancang beragam aktivitas yang memungkinkan pengunjung bebas berinteraksi sehingga bisa membuka pertemanan, persaudaraan, persahabatan. Hal itu sesuai tagline yang diusung, yakni Tourism for Friendship.
Namun, ia mengaku tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker dan mencuci tangan. Ia juga menyebut tak terlalu khawatir dengan penyebaran Covid-19 di tempat itu.
"Wulenpari kan juga tempat terbuka, jadi kita nggak begitu khawatir dengan penyebaran virus," tambahnya.
Tidak dijelaskan apakah destinasi wisata itu menerapkan pembatasan kapasitas, maupun mengaplikasikan PeduliLindungi. Hanya saja, ia mengakui tempat wisata itu belum tersertifikasi CHSE sebagai jaminan tempat menerapkan protokol kesehatan dan prinsip keberlanjutan.
Advertisement
Pasar 35 Hari Sekali
Aziz mengungkapkan bahwa Wulenpari kini mempekerjakan 11 karyawan. Situasi pandemi diakuinya memengaruhi bisnis, terutama terkait usaha pariwisata. Namun, mereka tetap bekerja karena ada lahan pertanian yang bisa terus diolah.
"Malah ketika pandemi kemarin, kita panen dan kita bagikan ke masyarakat petani yang lain," tutur Aziz.
"Dihitung secara bisnis ya rugi, tapi karena kita tumbuh di tengah masyarakat, akhirnya kita anggap itu sebagai edukasi bagi masyarakat untuk menanam pohon dan sayur-sayuran," tambahnya.
Wulenpari juga mengelola limbah organik yang dihasilkan sendiri. Limbah itu dimanfaatkan sebagai pupuk organik. "Kita juga pelihara hewan ternak, buat bantu menghasilkan pupuk organiknya," ucapnya.
Ia juga mendirikan pasar bernama Pasar Surawung Wulenpari sejak 2018. Pasar ini hadir setiap 35 hari sekali pada Jumat kliwon. Sekitar 40 pedagang ibu-ibu dari masyarakat sekitar menyajikan menu kuliner tradisional dari bahan yang diperoleh dari sekitar rumah mereka.
"Ada juga (jual) buah-buahan dan sayur-sayuran yang dipanen sendiri. Pengunjung dapat langsung bertransaksi dengan masyarakat," ujar Aziz.
Ke depan, Aziz berharap akan merespons kebutuhan pasar dengan tidak mengesampingkan tata kelola lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan pelestarian lingkungan. Wulenpari tidak hanya mengejar kebutuhan pasar saja. (Gabriella Ajeng Larasati)
4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan
Advertisement