DBS Alokasikan Mayoritas Investasi di Negara Maju, Ini Alasannya

Chief Investment Officer DBS Bank, Hou Wey Fook menyampaikan paparan mengenai mayoritas investasi di negara maju.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 28 Sep 2021, 19:22 WIB
(Foto: Ilustrasi wall street. Dok Unsplash/lo lo)

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah kondisi pasar masih dibayangi tapering off atau pengurangan stimulus oleh Bank Sentral AS, DBS Bank lebih memilih membeli saham developing market (negara maju) ketimbang emerging market (negara berkembang).

Chief Investment Officer DBS Bank, Hou Wey Fook mengatakan, pasar negara maju relatif tidak terpengaruh tapering off. Sebaliknya, kekhawatiran Bank Sentral AS akan melakukan pengetatan investasinya kemungkinan menjadi hambatan bagi pasar negara berkembang.

Saat ini, 50 persen portofolio DBS Bank dialokasikan ke pasar ekuitas. Dalam paparannya, Hou menyebutkan pasar US mendominasi sebesar 27 persen. Disusul pasar saham Eropa sebesar 13 persen, Jepang 2 persen, dan sisanya Asia eks Japan (AxJ) 8 persen.

"Kami lebih memilih pasar negara maju daripada pasar negara berkembang, karena relatif tidak ada gejolak ketika FED mengetatkan kebijakan,” kata dia dalam diskusi virtual, Selasa (28/9/2021).

Selain itu, di negara maju tersebut terdapat banyak perusahaan IDEA (Innovators, Disruptors, Enablers, Adapters). Selanjutnya, Perusahaan mengalokasikan sekitar 31 persen untuk obligasi. Rinciannya, obligasi pemerintah 2 persen, obligasi korporasi 15 persen, dan obligasi negara berkembang (Emerging Market/EM) 14 persen.

"Kami akan memiliki beberapa eksposur diversifikasi ini ke dana lindung nilai,” kata dia.

Untuk hedge fund, atau lindung nilai, Perusahaan mengalokasikannya sebesar 6 persen. emas 9 persen, dan cash 4 persen.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


DBS Sebut China Bakal Atasi Gejolak Evergrande

Seorang pria berjalan melewati indikator saham elektronik sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo (29/8). Rudal tersebut menuju wilayah Tohoku dekat negara Jepang. (AP Photo/Shizuo Kambayashi)

Sebelumnya,  peristiwa yang terjadi China akhir-akhir ini. Mulai dari pengetatan aturan untuk perusahaan digital, cryptocurrency atau kripto, properti, game internet. Kemudian gejolak Evergrande. Atas kabar tersebut, investor global bahkan menilai China bukan lagi pasar yang menarik untuk investasi.

"Tidak jarang mendengar dan membaca bahwa investor global menyerah dan mengatakan China bukan lagi pasar yang dapat diinvestasikan,” tutur Chief Investment Officer, DBS Bank Hou Wey Fook dalam video konferensi, Selasa, 28 September 2021.

Namun, ia menuturkan, agar China tak dieliminasi dari salah satu negara tujuan investasi. Hal itu merujuk pada pasar saham China yang sempat alami beberapa kali kejatuhan, tetapi cepat pulih setelahnya.

"Seperti yang terjadi selama periode perang dagang AS China, atau ketika regulator memperketat langkah-langkah pembiayaan. Tapi sangat cepat pulih setelahnya. Bagaimanapun, fundamental jangka panjang China tidak berubah,” kata dia.

Hou mengatakan, nasib Evergrande tidak akan sama seperti kejatuhan Lehman Brothers yang memicu krisis ekonomi global pada 2008. Otoritas setempat diliai akan mengambil tindakan untuk mencegah krisis Evergrande mengulang momen Lehman Brothers. Sehingga tidak akan menjalar jauh ke pasar negara lain.

 “Meskipun Evergrande menjadi isu besar di China, Kami percaya kemungkinan default akan dapat dikelola,” kata dia.

Di sisi lain, Hou melihat investor sudah memposisikan diri secara defensif di pasar saham China. "Berbeda dengan krisis Lehman, saya tidak melihat daya ungkit yang sangat tinggi. Juga, Evergrande bukan lembaga keuangan,” tandasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya