Wall Street Anjlok, Kenaikan Imbal Hasil Obligasi AS Tekan Saham Teknologi

Wall Street kompak merosot pada perdagangan Selasa, 28 September 2021 seiring kekhawatiran terhadap kenaikan imbal hasil obligasi.

oleh Agustina Melani diperbarui 29 Sep 2021, 06:28 WIB
(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street merosot tajam pada perdagangan Selasa, 28 September 2021. Saham teknologi tertekan seiring imbal hasil obligasi mendekati level tertinggi dalam tiga bulan.

Di sisi lain, anggota parlemen di Washington, Amerika Serikat melanjutkan kebuntuan anggarannya. Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Nasdaq turun 2,83 persen menjadi 14.546,68, dan alami penurunan tajam sejak Maret. Indeks S&P 500 tergelincir 2,04 persen menjadi 4.352,63. Indeks Dow Jones merosot 569,38 poin atau 1,63 persen menjadi 34.299,99.

Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun melanjutkan kenaikan pada perdagangan Selasa, 28 September 2021. Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun sentuh 1,567 persen karena investor bertaruh the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS akan memenuhi janjinya untuk mengekang stimulus pembelian obligasi karena inflasi melonjak.

Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun yang diperdagangkan 1,13 persen baru-baru ini pada Agustus telah berbalik secara dramatis ke level tertinggi sejak Juni setelah the Fed mengisyaratkan pekan lalu akan kurangi pembelian obligasi bulanan segera.

“Pasar terus menyadari kenyataan imbal hasil sangat rendah dibandingkan dengan fundamental. Sekarang the Fed bergeser, dan semura orang mengubah posisi mereka, sekaligus, seperti yang cenderung kita lakukan,” tutur Chief Fixed Income Strategist Schwab Center for Financial Research, Kathy Jones, dilansir dari CNBC, Rabu (29/9/2021).

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Kekhawatiran terhadap Suku Bunga Tinggi

Ekspresi pialang Michael Gallucci saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street jatuh ke zona bearish setelah indeks Dow Jones turun 20,3% dari level tertingginya bulan lalu. (AP Photo/Richard Drew)

Saham teknologi turun karena kenaikan imbal hasil obligasi yang cepat membuat arus kas ke depan kurang berharga, dan pada gilirannya membuat saham menjadi tampak dinilai terlalu tinggi. Suku bunga tinggi juga menghambat kemampuan perusahaan teknologi untuk mendanai pertumbuhan dan membeli kembali atau buyback saham,

Saham Facebook, Microsoft, dan Alphabet turun lebih dari tiga persen, sementara Amazon merosot lebih dari dua persen. Saham produsen chip Nvidia tergelincir 4,5 persen.

Perdebatan mengenai anggaran di Washington juga bebani bursa saham AS. Senat Partai Republik memblokir RUU yang disahkan DPR Senin, 27 September 2021 yang akan mendanai pemerintah hingga Desember dan menangguhkan plafon utang hingga Desember 2022.

Kongres harus menyetujui pendanaan pemerintah pada Jumat untuk menghindari penutupan. Menteri Keuangan AS Janet Yellen memperingatkan Kongres dalam sebuah surat pada Selasa, 28 September 2021, anggota parlemen perlu menaikkan batas utang pada 18 Oktober untuk menghindari gagal bayar pemerintah.

Rencana infrastruktur besar-besaran Presiden AS Joe Biden juga hadapi masa depan yang tidak pasti.

“Peristiwa di Washington tentu tidak membantu, karena kami memiliki banyak ketidakpastian seputar kebijakan pajak dan tentu saja plafon utang,” ujar Equity Strategist LPL Financial, Jeff Buchbinder.


Saham Teknologi Tertekan

Ekspresi spesialis Michael Pistillo (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Sementara itu, saham teknologi menekan bursa saham. Sektor-sektor yang terkait dengan pembukaan ekonomi kembali mengungguli. Sektor saham energi naik tipis. Saham Ford naik 1 persen setelah perusahaan mengumumkan rencana membangun fasilitas produksi baru di AS.

“Saya mengalami sedikit déjà vu pada musim gugur lalu, jika Anda ingat September lalu, ketika kami melihat suku bunga bergerak sedikit dan reaksi di bidang teknologi,” ujar Chief Investment Sanctuary Wealth, Jeff Kilburg.

Ia menambahkan, tekanan jual di sektor teknologi benar-benar menjadi katalis pada musim gugur pekan lalu untuk rotasi. Hal itu pun berulang.

“Jika saham-saham kelas berat dari banyak indeks dan ETF AS terbesar terus diperdagangkan berat karena imbal hasil obligasi reli dan investor berputar keluar, ini dapat membebani semua saham,” tulis Chris Murphy dari Susquehanna.


Kekhawatiran terhadap Inflasi

Spesialis Michael Mara (kiri) dan Stephen Naughton berunding saat bekerja di New York Stock Exchange, AS, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Kekhawatiran tentang masalah rantai pasokan dan kenaikan harga konsumen mungkin juga berkontribusi pada gejolak di pasar. Kepada Komite Perbankan Senat, Ketua the Federal Reserve Jerome Powell menuturkan, inflasi dapat bertahan lebih lama dari yang diperkirakan karena masalah rantai pasokan dan tekanan pembukaan kembali.

“Efek ini lebih besar dan bertahan lebih lama dari yang diantisipasi, tetapi mereka akan mereda, dan seperti yang terjadi inflasi diperkirakan akan turun kembali ke target 2 persen jangka panjang kami,” ujar Powell.

Penurunan indeks saham pada Selasa, 29 September 2021 memperpanjang kerugian untuk indeks utama pada September. Indeks Nasdaq turun 4,7 persen, indeks S&P 500 dan Dow Jones masing-masing turun 3,8 persen.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya