Liputan6.com, Didieni - Lima orang tewas dan empat lainnya terluka dalam serangan terhadap konvoi yang dikawal tentara di Mali barat, Angkatan Bersenjata Mali (FAMa) mengonfirmasi insiden tersebut pada Selasa 28 September di situs resmi mereka.
Sekitar pukul 08.30 waktu setempat, serangan teroris menargetkan konvoi perusahaan pertambangan yang diamankan oleh anggota FAMa di Jalan Nasional N.1 dekat kota Didieni, kata pasukan itu, tanpa menyebutkan identitas para korban.
Advertisement
Pada 11 September, dua pengemudi asal Maroko tewas dan satu lainnya terluka dalam perjalanan mereka ke ibu kota Mali, Bamako, oleh orang-orang bersenjata di daerah yang sama, demikian dikutip dari laman Xinhua, Rabu (29/9/2021).
Sejak 2012, Mali telah menghadapi krisis yang mendalam dan beragam di bidang keamanan, politik, dan ekonomi.
Pemberontakan lokal, serangan kelompok ekstreamis dan kekerasan antar-komunal telah menyebabkan ribuan kematian dan ratusan ribu pengungsian.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Konflik Antar-Suku
Tak hanya ancaman dari kelompok ekstreamis, Mali juga dihadapkan oleh kekisruhan antar-suku.
Pada Januari 2019, sekelompok pria bersenjata membunuh 37 warga sipil--yang di antaranya anak-anak-- Fulani pada Selasa, 1 Januari 2019 di Mali tengah, tempat kekerasan antarsuku menewaskan ratusan orang tahun lalu, kata pemerintah.
Kekerasan antara suku Fulani dan kelompok-kelompok saingannya telah memperburuk situasi keamanan di kawasan gurun di Mali.
Daerah seperti itu digunakan sebagai pangkalan oleh para kelompok garis keras, yang diduga memiliki afiliasi dengan Al-Qaeda dan ISIS.
Pemerintah mengatakan dalam pernyataan bahwa para penyerang pada Selasa, yang berpakaian pemburu tradisional Donzo, menyerang Desa Koulogon di Kabupaten Mopti di Mali Tengah.
Anak-anak turut menjadi korban serangan tersebut, seperti dikutip dari Antara.
Mali telah mengalami kekacauan sejak para pemberontak Tuareg dan kelompok-kelompok garis keras menguasai wilayah utara pada 2012. Keadaan itu membuat pasukan Prancis ikut bergerak mendorong mereka meninggalkan wilayah tersebut pada tahun berikutnya.
Sejak itu, beberapa kelompok garis keras merebut kembali kendali di wilayah utara dan pusat. Mereka memanfaatkan persaingan antarsuku untuk merekrut anggota-anggota baru.
Advertisement