Liputan6.com, Jakarta - 30 September merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hari itu, enam jenderal dan satu perwira yang dituduh akan mengkudeta Presiden Soekarno dibantai hingga dikenal sebagai peristiwa G30S/PKI.
Baca Juga
Advertisement
Dipa Nusantara atau DN Aidit, sebagai Pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap paling bertanggung jawab atas peristiwa itu. Ketika dikepalai Aidit, PKI menjelma menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia, tepatnya pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1955.
Ia lahir di Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung pada 30 Juli 1923 dengan nama Achmad Aidit.
Pada 1940, DN Aidit merantau ke Jakarta dan sempat mendirikan perpustakaan Antara di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penangkapan Aidit
Pada 2 Oktober 1965, tentara telah memburu orang-orang PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S. Namun DN Aidit, pucuk pimpinan PKI menghilang.
Atas perintah Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri dan pasukannya berangkat ke Solo. Di sana, mereka bertemu Sri Harto, orang kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk di sel tahanan.
Dia dilepas untuk mencari keberadaan Aidit. Hanya beberapa hari, Harto melapor Aidit berada di Kloco dan akan segera pindah ke Desa Sambeng belakang Stasiun Balapan pada 22 November 1965.
Operasi pun dimulai. Sekitar pukul 9 malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brigif IV menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir memantau dari jauh. Para tentara menemukan Aidit tengah bersembunyi di balik lemari di salah satu sudut rumah. Aidit kemudian dibawa ke markas mereka di Loji Gandrung.
Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit. Kabarnya, pentolan PKI itu membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas peristiwa G30S. Namun sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar dokumen itu.
Menjelang dini hari Yasir kebingungan karena Aidit berkali-kali minta bertemu Soekarno. Namun Yasir tidak mau. "Jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain," kata Yasir dikutip Abdul Gofur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.
Advertisement
Eksekusi Mati
Pada pagi buta, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo ke arah barat menggunakan iring-iringan tiga jip. Aidit yang diborgol berada di jip terakhir bersama Yasir. Saat terang, rombongan itu tiba di daerah Boyolali. Tanpa sepengetahuan dua jip pertama, Yasir berbelok masuk ke Markas Batalion 444.
"Ada sumur?" tanya Yasir kepada Komandan Batalion 444 Mayor Trisno. Trisno kemudian menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.
Yasir membawa tahanannya ke tepi sumur tua. Dia mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir, namun Ketua Comite Central (CC) PKI itu justru pidato berapi-api. Hal itu membuat Yasir dan anak buahnya marah. Dan, dor! Timah panas menembus dada Aidit. Menteri Koordinasi sekaligus Wakil Ketua MPRS itu tewas dan terjungkal masuk sumur pada 23 November 1965.
24 November 1965 pukul 3 sore, Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. Setelah melaporkan tugas, sekaligus keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel memberanikan diri bertanya kepada sang jenderal. "Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti sekarang ini, Pak?" Soeharto tersenyum.
Ada beberapa versi tentang cerita akhir hidup DN Aidit. Selain tewas ditembak di sumur tua, versi lain menyebut Aidit diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui secara pasti di mana jenazahnya dimakamkan.
Misteri Kuburan DN Aidit
Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua bekas kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali. Hanya hamparan tanah berkerikil yang ditumbuhi labu siam dan ubi jalar, serta pohon mangga dan jambu biji di kanan kiri.
Meski tidak berbekas, banyak orang meyakini adanya sumur tua tempat jenazah DN Aidit terkubur pada 23 November 1965. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama (NU) Boyolali, Tamam Saemuri (71).
Pada suatu malam di 1965, Tamam sempat bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Tamam muda adalah aktivis Gerakan Pemuda Ansor, organisasi yang banyak terlibat dalam "operasi pembersihan".
Dikutip dalam Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia, Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara, Tamam bercerita. Dalam pertemuan itu, Yasir mengumumkan bahwa pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya.
"Eksekusinya subuh-subuh," Tamam menirukan Yasir.
Yasir mengatakan itu sambil menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. "Ini arloji Aidit." Sewaktu didesak menceritakan bagaimana Aidit tewas, Yasir berkata, "Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin."
Penulis : Azarine Natazia
Advertisement