Balada Gula Semut Banyumas di Masa Pandemi Covid-19

Banyumas dikenal dengan gula kelapanya yang berkualitas. Tapi ekspor gula semut asal Banyumas baru 40 persen dari kondisi normal

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 30 Sep 2021, 04:30 WIB
Ilustrasi - Gula semut kualitas ekspor Banyumas. (Foto: Kelompok Gula Semut Manggar Jaya Semedo untuk Liputan6.com)

Liputan6.com, Banyumas - Banyumas dikenal dengan gula kelapanya yang berkualitas. Daerah ini adalah salah satu kabupaten dengan produksi gula merah kelapa tertinggi di Indonesia.

Gula semut atau gula kristal Banyumas bahkan telah menembus pasar ekspor. Pohon-pohon tinggi menjulang berusia puluhan tahun menjadi bukti sejarah panjang wilayah penghasil gula ini.

Namun, ekspor gula semut menurun tajam pada 2021 meski permintaan terhadap komoditas pertanian ini tetap tinggi. Naiknya biaya angkut menyebabkan pengiriman terhambat.

Kondisi ini disebut telah terjadi sejak akhir tahun 2020 lalu. Bahkan, pada akhir tahun pengiriman sempat terhenti total. Kondisi kemudian membaik namun hingga saat ini, ekspor gula semut asal Banyumas baru 40 persen dari kondisi normal.

“Penurunan boleh dikatakan turun separuh, bahkan 60 persen lebih,” kata Ketua Kelompok Gula Semut Manggar Jaya Semedo, Akhmad Sobirin, Kamis (23/9/2021).

Dia menjelaskan, pada awal pandemi Covid-19, permintaan gula semut masih stabil. Harga gula semut di tingkat petani Rp25 ribu per kilogram. Pengiriman mencapai tiga hingga empat kontainer per pekan, dengan jumlah kisaran 250-an ton per bulan.

Tetapi, ketersediaan kapal kargo di pelabuhan berimbas pada biaya pengiriman. Jika biasanya per kontainer berbiaya 2.000 Dolar Amerika, kini naik hampir 10 kali lipat menjadi 18 ribu Dolar Amerika.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Diversifikasi Produk hingga Utang Bank

Ilustrasi - Gula semut kualitas ekspor Banyumas. (Foto: Kelompok Gula Semut Manggar Jaya Semedo untuk Liputan6.com)

Akibatnya, banyak buyer (pembeli-red) yang menunda pembelian dan menyebabkan gula semut menumpuk. Terhambatnya pengiriman juga menyebabkan harga gula semut anjlok menjadi Rp16 ribu hingga Rp17 ribu per kilogram.

“Hampir sepuluh kali lipat Pak. Yang tadinya hanya 2.000 dolar, sekarang sudah hampir 18 ribu dolar. Per kontainer. Akhirnya beberapa buyer itu kan pending PO-nya ya,” jelasnya.

Sobirin mengemukakan, lantaran produksi gula semut tidak bisa dihentikan, maka Kelompok Manggar Jaya berutang ke bank agar tetap bisa membeli gula semut dari petani dampingan.

Secara total, 1.000 an lebih petani di 10 desa di empat kecamatan tergabung di Kelompok Manggar Jaya. Pengurus kelompok juga mencari gudang penyimpanan yang representatif untuk penyimpanan dan menunggu kondisi membaik.

“Karena menunggu harga kapal turun. Sedangkan kami kan produksi harian, tidak ada berhentinya ya. Terus terang,sekarang memang terhambat pengiriman,” ucapnya.

Para pengurus kelompok pun tak tinggal diam dengan kondisi ini. Diversifikasi produk dilakukan untuk membuka peluang pemasaran baru. Gula cair dan produk turunan gula menjadi pilihan.

"Kalau gula biasa kurang bagus harganya. Petani lebih suka dengan gula semut," ujarnya.

 


Kecelakaan Penderes

Para penderes nira bertaruh nyawa memanjat kelapa (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Di antara petani kelapa Banyumas, ada satu keyakinan bahwa pohon berusia tua bakal menghasilkan nira berkualitas. Kualitas nira itulah yang akan menentukan tinggi rendahnya kualitas yang dihasilkan.

Terlepas dari benar dan tidaknya keyakinan ini, pohon berusia tua berarti batangnya sudah tinggi menjulang. Risiko kecelakaan penderes mengintai.

"Alhamdulillah anggota kelompok kami sudah dilindungi asuransi," Sobirin menuturkan.

Melihat kondisi ini, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto mengembangkan varietas kelapa genjah untuk meningkatkan produtivitas penderes gula kelapa sekaligus mengantisipasi tingginya angka kecelakaan lantaran jatuh dari pohon.

Koordinator Gula Kelapa Center Unsoed, Mustaufik mengatakan sementara ini ada dua varietas genjah unggul lokal yang sedang dikembangkan, yakni varietas Genjah Entok, Kebumen dan Kelapa Genjah Nias.

“Langkah mengantisipasi kecelakaan bagi para penderes yang masih mengandalkan varietas kelapa dalam yang sangat tinggi itu, memang Pemerintah Kabupaten Banyumas, dan juga Unsoed, dalam hal ini universitas, mengembangkan kelapa genjah,” ucap Mustaufik. 

 


Keunggulan Kelapa Genjah

Kelapa genjah entok. (Foto: Mustaufik Gula Kelapa Center Unsoed untuk Liputan6.com)

Menurut dia, genjah entok dan genjah nias sama-sama memiliki umur produktif yang pendek, yakni kisaran 3-3,5 tahun. Keunggulan lainnya yakni pertambahan tingginya lambat sehingga memudahkan para penderes.

“Yang usianya produktifnya itu singkat, itu sudah bisa produksi nira. Kemudian dia lambat tinggi,” ucapnya.

Gula Kelapa Center Unsoed tengah mengkaji untuk meningkatkan produtivitas nira. Pasalnya, dibanding kelapa dalam, nira kelapa genjah hanya berkisar 50-70 persen kelapa dalam. Namun begitu, kelapa genjah memiliki keunggulan lain yakni kadar brik atau manis yang lebih tinggi.

“Rendemennya berpotensi lebih tinggi,” ucap dia.

Karenanya, Unsoed mengembangkan varietas kelapa yang mampu produktif dalam usia pendek, produksi nira dan kadar gula tinggi, lambat tingginya, serta resisten penyakit.

Mustafik mengungkapkan, kelapa genjah sangat potensial dikembangkan. Pasalnya, meski sejauh ini secara kuantitas masih kalah dari kelapa dalam, akan tetapi pohonnya pendek dan lambat tinggi. Dengan begitu, produktivitas penderes akan lebih tinggi dan sangat mengurangi angka kecelakaan kerja.

“Dalam waktu yang sama, penderes akan lebih banyak mengelola kelapa genjah dibandingkan kelapa dalam,” ujarnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya