Liputan6.com, Jakarta - Para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuntut upah di 2022 naik 7 persen sampai 10 persen. Tuntutan ini diajukan di tengah pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya.
Namun, buruh beranggapan bahwa tuntutan kenaikan upah di 2022 ini justru untuk membantu pemerintah. Dengan kenaikan ini maka bisa mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dengan target pemerintah.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, kebijakan upah buruh sangat erat kaitannya dengan daya beli masyarakat. Apabila kenaikan upah tidak tercapai, dia sangsi target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen di 2022 yang dicanangkan pemerintah bisa tergapai.
"Dengan daya beli turun konsumsi menurun kan. Kalau konsumsi turun pasti pertumbuhan ekonomi tidak sesuai harapan seperti yang ditargetkan pemerintah dong," ujar Iqbal kepada Liputan6.com, Kamis (30/9/2021).
Iqbal lantas memposisikan kaum buruh sebagai kelompok masyarakat menengah bawah, yang sulit menabung dan cenderung menghabiskan seluruh pendapatannya untuk konsumsi.
"Yang namanya buruh, uang enggak mungkin ditabung. Kita tahu sendiri, begitu dapat gaji abis enggak tuh duit? Abis," ungkap dia.
Menurut dia, konsumsi kaum buruh memainkan peran penting dalam roda perekonomian nasional. Jika sektor konsumsi bisa terangkat, secara otomatis itu akan berpengaruh terhadap permintaan produksi.
"Kalau konsumsi naik, produksi barang kan naik. Misal gini, upah saya Rp 1 juta, beli Indomie dua. Terus upah saya naik Rp 1,2 juta, pasti saya beli tiga atau empat Indomie," tuturnya.
"Pabrik indomie produksi pasti naik. Kalau produksi Indomie naik, pabrik tepung produksinya naik. Jadi ada mata rantai produksi, enggak bisa lepas," kata dia.
Namun, Iqbal menyayangkan kebijakan pemerintah yang saat ini lebih gencar terhadap pemasukan investasi ketimbang peningkatan konsumsi dan kesejahteraan buruh.
"Cuman kita masih enggak percaya yang kayak gitu-gitu, masih senengnya investasi, investasi. Padahal China, Brazil, selain kekuatan investasinya kuat, dia konsumsi," tegas Iqbal.
Turun ke Jalan
Ia melanjutkan, hitungan kenaikan upah hingga 10 persen tersebut juga berdasarkan hitungan kebutuhan hidup layak buruh yang terdiri dari 60 item.
"Setelah dikalkulasi dari 60 item muncul kenaikan rata-rata antara 7 sampai 10 persen. Dengan demikian KSPI meminta pemerintah tetapkan UMK 2020 sebesar 7 sampai 10 persen," jelas dia.
Demikian, kata Said, jika tuntutannya tersebut tidak didengarkan oleh pemerintah dan para pengusaha, buruh akan melakukan unjuk rasa serempak di seluruh Indonesia.
Unjuk rasa akan dilakukan di depan kantor Bupati dan Wali kota untuk menuntut tidak diberlakukannya UMK 2022 dengan UU Cipta Kerja.
“Akan ada aksi unjuk rasa serempak seluruh Indonesia, dan sekarang jumlah di KSPI dan afiliasi lainnya kita sudah ada di 34 provinsi, kami serempak akan unjuk rasa di depan kantor bupati walikota menuntut tidak diberlakukan UMK 2022 dengan UU cipta kerja, dan menuntut upah minimum jenis industri dan kelompok usaha lebih besar dari UMK 2022,” tuturnya.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Landasan Hukum
Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kemnaker, Dinar Titus Jogaswitani pun menjawab tuntutan buruh tersebut. Penentuan upah minimum buruh masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Di mana PP tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
“Sesuai UU Cipta Kerja kenaikan upah minimum berdasarkan variabel inflasi atau Pertumbuhan Ekonomi (PE) mana yang lebih besar. Kita lihat saja antara dua variabel itu yang nilainya lebih besar dengan menghitung juga batas atas dan sebagainya batas bawah,” jelas Dinar kepada Liputan6.com, Kamis (30/9/2021).
Memang dalam PP 36 tahun 2021 tersebut, upah ditetapkan berdasarkan formulasi dari kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, baik meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten kota yang bersangkutan.
Bahkan di dalam pasal 25 ayat 4 dijelaskan, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud meliputi variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Di mana penetapan ini bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Tolak UU Cipta Kerja
Namun, KSPI menegaskan menolak penetapan upah minimum pada 2022 memakai UU Omnibus Law Cipta Kerja. Pihaknya bahkan memastikan diri tidak mengikuti proses pembahasan dan penetapan UMK 2022 yang dasarnya menggunakan UU Omnibus Law.
KSPI menilai kepala daerah baik bupati atau walikota berhak menetapkan upah sektoral. Hak ini dikatakan tidak bertentangan dengan UU Omnibus Law.
Penetapan ini nantinya bisa mengacu pada peraturan daerah (perda). "Tidak ada kata-kata upah minim sektoral dilarang dalam UU Omnibus Law. Tidak ada ayat satupun yang menyatakan upah minimum sektoral dilarang dengan demikian perda tidak bertentangan sepanjang nilainya lebih baik dari UU," tegas dia.
Advertisement
Pengusaha Menolak
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Adi Mahfudz Wuhadji menilai permintaan buruh untuk naik upah 10 persen tidak realistis.
di tengah kondisi yang belum stabil akibat dampak negatif pandemi covid-19, belum tepat untuk menaikkan upah.
“Tuntutan tersebut tidaklah realistis jika didasarkan atas survei pasar sendiri, kecuali yang berdasarkan data dari Lembaga Statistik dalam hal ini BPS. Kenaikan tersebut harus didasarkan atas inflasi atau pertumbuhan ekonomi,” katanya kepada Liputan6.com.
“Seperti kita ketahui bahwa nilai upah minimum ditentukan sesuai kesejahteraan wilayah, diukur dari tingkat pengeluaran konsumsi masyarakat. Upah minimum juga harus bisa menjamin bahwa rumah tangga pekerja bukan merupakan rumah tangga miskin dan juga seberapa besar orang yang yang bekerja mampu menanggung biaya hidup rumah tangganya,” tambahnya.
Dalam hal ini, upah minimum kabupaten dan kota dapat ditetapkan oleh gubernur dengan syarat tertentu. syarat upah minimum kabupaten dan kota ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
Data pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi kabupaten dan kota bersangkutan, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Lebih lanjut, Adi menilai bahwa kondisi pengusaha saat ini belum stabil. Sehingga pengusaha keberatan untuk memenuhi permintaan buruh tersebut.
“Tidak bisa (naikkan upah), hal yang mana saat kondisi sekarang ini juga masih terjadi gelombang ekonomi yang belum stabil dari akibat Pandemi Covid-19,” tegasnya.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Kuliner Indonesia (Apkulindo), Masbukhin Pradhana menilai permintaan buruh tersebut memberatkan pengusaha.
"Saya rasa berat buat kami untuk memenuhinya (kenaikan gaji)," katanya kepada Liputan6.com, Kamis (30/9/2021).
Ia menilai, saat ini sebagian pengusaha masih terdampak oleh pandemi. Jadi, katanya, pengusaha di berbagai sektor, termasuk juga kuliner masih berusaha untuk bertahan.
"Sebagai pengusaha yang terkena dampak negatif pandemi, tuntutan ini memberatkan pengusaha," katanya.
Bahkan, Masbukhin menambahkan, banyak pengusaha melakukan pengurangan karyawan agar bisa lebih ekonomis.
"Kami ini masih berjuang bagaimana tetap eksis. Kami sudah mengurangi pengeluaran termasuk pengurangan karyawan agar ekonomis," ujarnya.
Kendati begitu, ia tak menampik bahwa kebutuhan orang setiap tahun akan meningkat. Namun, kembali ia menyoroti bahwa kondisi saat ini bukan saat yang tepat untuk menentukan kenaikan upah.
"Kecuali memang sektor industrinya lagi tumbuh. Sangat memungkinkan untuk dilakukan. Misal farmasi atau rumah sakit swasta," katanya.
Takut Gelombang Ketiga Covid-19
Lebih lanjut, Masbukhin menyebut pihaknya masih dibayang-bayangi ketakutan adanya gelombang ketiga Covid-19. Artinya, hal itu akan kembali memperburuk kondisi ekonomi pengusaha.
"Tahun ini bulan April dan Mei memang sudah kelihatan ada perbaikan dibandingkan tahun lalu. Eh tiba-tiba dihajar gelombang kedua dgn PPKM kemarin jadinya amsiong lagi. Kami juga masih dibayang-bayangi ketakutan akan adanya gelombang ke-3," katanya.
Sementara itu terkait sikap buruh atau karyawan, ia berharap ada dukungan dari buruh terhadap perusahaannya.
"Iya, pastinya menunjukkan dukungan ke perusahaan. Pastinya karyawan tahu bagaimana kondisi keuangan perusahaannya tempat dia bekerja," tukasnya.
Pengamat Membela Buruh
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, tuntutan buruh merupakan hal yang wajar dengan pertimbangan empat hal utama.
"Pertama, tidak semua pekerja bahkan yang berada di sektor formal menerima subsidi bantuan upah dari pemerintah. Karena tidak semua menerima subsidi upah, maka wajar upah minimum yang naik menjadi social safety nett atau jaring pengaman sosial yang harusnya diperjuangkan oleh Negara," kata Bhima kepada Liputan6.com pada Kamis (30/9/2021).
Kemudian soal pertimbangan yang kedua, pemulihan ekonomi diperkirakan tidak merata diseluruh kelompok pendapatan.
"Kelas pekerja akan pulih lebih lambat dibandingkan kelas atas karena sedikitnya tabungan yang dimiliki, serta tunjangan belum tentu langsung normal dibayarkan seperti sebelum pandemi COVID-19," papar Bhima.
Ketiga, Bhima menyebutkan, bahwa selama ini pemerintah telah memberikan berbagai fasilitas bagi pengusaha seperti UU Cipta Kerja, keringanan berbagai pajak termasuk penurunan PPNBM kendaraan bermotor, PPh badan, dan insentif pajak lain yang sebagian besar merupakan usulan pengusaha.
"Artinya, sudah saatnya pemerintah memperdulikan masukan dari kelas pekerja untuk menaikkan upah minimum," ujarnya.
Kemudian yang terakhir, disebutkan juga bahwa logika kenaikan upah minimum diterapkan di banyak negara pasca krisis untuk memicu naiknya permintaan agregat. Hal ini pada akhirnya pertumbuhan ekonomi bisa meningkat diatas proyeksi pemerintah.
"Upah naik, buruh akan belanja lebih banyak, yang untung adalah pengusaha juga karena ada kenaikan omset. Saya rasa usulan menaikkan upah minimum harus dijadikan bahan pertimbangan secara matang oleh pemerintah," imbuh Bhima.
Advertisement
Selesaikan dengan Dialog
Komisi IX DPR RI merespons tuntutan serikat buruh dan pekerja yang meminta kenaikan Upah Minimum Kabupaten/kota (UMK) tahun 2022 sebesar 7-10 persen. Mereka juga akan menggelar aksi demo di seluruh daerah untuk menyuarakan tuntutan ini.
Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melkiades Laka Lena meminta agar tuntutan kenaikan UMK 2022 tersebut disampaikan melalui dialog antara pemerintah, pengusaha, dan asosiasi buruh.
“Perlu dialog tripartit pemerintah melalui Kemenaker, asosiasi pengusaha, dan asosiasi buruh, bisa perlu libatkan asosiasi pemda untuk bahas dan sepakati UMK,” kata Melki saat dikonfirmasi, Kamis (30/9/2021).
Melki meminta, baik pengusaha maupun buruh agar berembuk dan tidak saling memaksakan keinginan, mengingat saat ini masih dalam situasi pandemi Covid-19.
“Harus kedepankan dialog, semua pihak bertemu,” katanya.
Lebih lanjut, Politikus Golkar itu meminta para buruh untuk tidak turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi, mengingat situasi pandemi Covid-19 belum usai. Dia mengingatkan bahwa kerumunan dalam aksi demonstrasi rentan terjadi penularan virus corona.
“Mengingat saat ini pandemi, lebih baim tidak berkerumun. Kedepankan dialog, hindari demo,” kata Melki menandaskan.