Atasi Perubahan Iklim, Pemerintah Secara Bertahap Kurangi Penggunaan Energi Fosil

Proses transisi dari energi fosil ke EBT akan berlangsung selama 20 tahun sampai tahun 2045 mendatang.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Okt 2021, 13:20 WIB
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu dalam Taklimat Media “Arah Pemulihan Ekonomi 2021 dan Isu Fiskal Terkini”, Jumat (1/10/2021).

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menjelaskan, pemerintah sangat berkomitmen mengurangi emisi karbon demi menangani perubahan iklim. Pemerintah saat ini masih menggunakan energi fosil tetapi secara bertahap akan berpindah ke energi baru terbarukan.

"Jangka menengah ini kita mau transisi energi baru terbarukan (EBT) dari sekarang yang masih pakai fosil," kata Febrio dalam Taklimat Media, Jakarta, Jumat (1/10/2021).

Sejauh ini sudah ada beberapa negara yang pembangunannya berorientasi kepada energi baru terbaru, contohnya adalah Eropa dan China. Beberapa negara lain juga tengah berusaha mengurangi penggunaan energi fosil.

Harus diakui juga perubahan iklim ini harus ditangani bukan hanya dengan program jangka pendek, tetapi juga dalam jangka menengah dan jangka panjang.

Khusus di Indonesia transisi penggunaan EBT akan dilakukan dalam jangka pendek. Proses transisi akan berlangsung selama 20 tahun sampai tahun 2045 mendatang.

"Transisi EBT ini tidak terjadi dalam 12 tahun tapi 20 tahun sampai tahun 2045," kata dia.

Apalagi, saat ini 68 persen PLTU sebagai sumber penghasil listrik masih menggunakan batubara. Indonesia memang sudah meneken Paris Agreement yang menyepakati penurunan emisi 29 persen atau 41 persen dengan bantuan dana internasional. Namun sebagai negara pemimpin G20 mendatang, Indonesia akan melakukan beberapa pembaharuan.

"Arah kebijakan kita transisi energi menurun dalam Paris Agreement dan kita akan perbaharui karena kita akan memimpin G20 selama 1 tahun ke depan," kata dia.

Agenda besar dalam pembaharuan tersebut antara lain penciptaan ekonomi berkelanjutan, keuangan dan penggunaan energi hijau. Febrio mengatakan Indonesia akan menjadi contoh negara berkembang yang bisa mengelola resiko penanganan perubahan iklim dengan keberlanjutan tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

"Itu yang akan kita lakukan di jangka menengah dan jangka panjang," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


China Setop Biayai Pembangkit Listrik Batu Bara

Ilustrasi baru bara.

Sebelumnya, China memutuskan tidak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri. Langkah ini sebagai bagian untuk mengatasi emisi global.

Hal tersebut diungkapkan Presiden China, Xi Jinping dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB (UNGA).

Associate Director Climate Policy Initiative Indonesia Tiza Mafira mengatakan pernyataan tersebut seharusnya bisa jadi pendorong bagi Indonesia untuk segera menghentikan proyek batu bara. Sejalan dengan itu, pemerintah harus mengalihkan dukungan untuk pengembangan energi baru terbarukan.

"Komitmen Jepang, Korea, dan baru-baru ini China untuk tidak lagi mendanai batu bara di luar negeri seharusnya menjadi tendangan pamungkas berakhirnya era batu bara," kata Tiza Mafira, dikutip Senin (27/9/2021).

Tiza memandang Indonesia masih berupaya mempertahankan industri batu bara. Buktinya, pemerintah memberikan subsidi listrik yang berbasis batu bara, insentif untuk batu bara di paket Pemulihan Ekonomi Nasional, insentif hilirisasi batu bara, perpanjangan izin pertambangan batu bara, dan upaya mendorong clean coal technology.

"Semua pengeluaran anggaran negara tersebut akan sia-sia apabila tidak ada lagi yang mau berinvestasi di industri tersebut," ujar Tiza.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya