Kontroversi Kebijakan Aborsi Bertujuan Mempromosikan Kesetaraan Gender di China

Kebijakan aborsi dimasukkan dalam blueprint pemerintah China untuk "memajukan hak-hak perempuan selama dekade berikutnya."

oleh Asnida Riani diperbarui 02 Okt 2021, 13:30 WIB
Pelangi terlihat melalui pagar saat seorang wanita berjalan di Central Television Tower di Beijing (26/8/2021). Keindahan pelangi ganda dimanfaatkan warga Beijing untuk diabadikan lewat foto dan berfoto dengan latar pelangi itu. (AFP/Jade Gao)

Liputan6.com, Jakarta - Sudah beberapa dekade sejak pemerintah China memberlakukan batasan ketat yang memaksa jutaan wanita menggugurkan kandungan yang dianggap ilegal oleh negara. Praktik itu kemudian jadi kurang umum sejak pelonggaran kebijakan satu anak pada 2015, melansir CNN, Jumat, 1 Oktober 2021.

Pekan ini, pemerintah China dilaporkan ingin mengurangi aborsi karena "alasan non-medis," mengundang reaksi kemarahan publik dengan cepat. Media sosial dibanjiri komentar dari para wanita yang muak dengan apa yang mereka lihat sebagai upaya pemerintah mengendalikan tubuh mereka.

Tidak sedikit juga yang menggambarkan perubahan kebijakan aborsi sebagai upaya putus asa untuk meningkatkan angka kelahiran yang semakin berkurang di negara itu. "Ketika (negara) ingin Anda melahirkan, Anda harus melakukannya dengan cara apa pun. Ketika (negara) tidak menginginkannya, Anda tidak boleh melahirkan, bahkan dengan risiko kematian," bunyi salah satu komentar.

Kebijakan aborsi dimasukkan dalam blueprint pemerintah untuk "memajukan hak-hak perempuan selama dekade berikutnya." Ini mencakup bidang-bidang, mulai dari pendidikan hingga pekerjaan, yang dibanggakan media pemerintah China akan meningkatkan kesetaraan gender "ke tingkat lebih tinggi di era baru."

Tindakan aborsi adalah bagian yang lebih besar dari kesehatan reproduksi yang mencakup ketentuan seperti peningkatan pendidikan kesehatan dan akses kontrasepsi. Namun, di luar kalimat singkat itu, tidak ada perincian lain, termasuk bagaimana pembatasan aborsi akan diterapkan atau kriteria apa yang harus dipenuhi perempuan.

Penulis Betraying Big Brother: The Feminist Awakening in China Leta Hong Fincher menyebut, fakta bahwa ketentuan aborsi disebutkan dalam rencana 10 tahun itu saja sudah mengkhawatirkan. Ia menilai, itu bisa jadi bagian dari kampanye pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran karena menghadapi krisis demografi.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Perubahan Kebijakan

Para pengunjung mengenakan masker saat berjalan di Kota Terlarang, Beijing, China, Jumat (1/5/2020). Kota Terlarang kembali dibuka setelah ditutup lebih dari tiga bulan karena pandemi virus corona COVID-19. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Di bawah kebijakan satu anak, yang diperkenalkan pada 1979, jutaan wanita setiap tahun dipaksa mengakhiri "kehamilan ilegal." Preferensi tradisional untuk anak laki-laki juga menyebabkan peningkatan aborsi selektif jenis kelamin, dengan keluarga sering memilih menggugurkan anak perempuan.

Ini telah berkontribusi pada rasio gender secara signifikan Hasil sensus 2021 mengungkap ada hampir 35 juta lebih banyak pria daripada wanita di negara berpenduduk 1,4 miliar itu. Tapi selama satu dekade terakhir, China mengubah taktik sepenuhnya karena mulai memperhitungkan konsekuensi dari kebijakan satu anak.

Guna menaikkan tingkat kesuburan yang anjlok, China memberlakukan kebijakan dua anak pada 2016, kemudian kebijakan tiga anak pada Agustus tahun ini. Pemerintah juga meluncurkan kampanye propaganda agresif yang mendesak perempuan untuk memiliki lebih banyak anak, dengan beberapa otoritas lokal bahkan menawarkan insentif keuangan untuk keluarga.

Namun demikian, banyak wanita yang menikmati kesempatan pendidikan dan karier yang lebih besar dibandingkan di masa lalu. Itu membuat mereka enggan memperluas keluarga, terutama karena biaya hidup yang tinggi dan norma gender mengakar yang menempatkan pengasuhan anak pada ibu.


Bukan Kebijakan Baru

Orang-orang berjalan melintasi jembatan penyeberangan di lingkungan dengan dugaan kasus virus corona di Beijing (15/9/2021). China memperketat penguncian dan meningkatkan pesanan untuk pengujian massal di kota sepanjang pantai timurnya di tengah lonjakan kasus COVID-19. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Sebagai tanggapan, pihak berwenang semakin menyuarakan "keprihatinan atas aborsi." Media pemerintah memperingatkan tindakan ini "sangat berbahaya" dan dapat menyebabkan "gangguan psikologis serius" pada wanita yang belum menikah.

Pada 2018, Provinsi Jiangxi melarang aborsi karena alasan non-medis setelah minggu ke-14, bergabung dengan beberapa provinsi lain yang memberlakukan aturan serupa. Hong Fincher menyebut, "Jadi saya pikir ada banyak alasan untuk sangat khawatir tentang perubahan 180 derajat ini."

Namun, beberapa ahli memperingatkan bahwa terlalu dini untuk mengatakan apa dampaknya, terutama karena ini bukan pertama kalinya pemerintah mengisyaratkan niat seperti itu. Rencana 10 tahun terakhir untuk pembangunan perempuan juga bertujuan "mengurangi tingkat aborsi" dan kehamilan yang tidak diinginkan secara umum dengan meningkatkan pendidikan seksual dan akses kontrasepsi.

"Ini bukan kebijakan baru," kata Feng Yuan, seorang aktivis feminis. "Saat ini, kami tidak melihat alasan untuk (pelaksanaan) yang lebih ketat." Selain itu, beberapa negara lain juga membatasi penghentian kehamilan di atas 14 minggu karena alasan kesehatan dan keselamatan.

Alasan kebijakan tersebut memicu perdebatan sekarang adalah "karena perhatian dan fokus masalah berubah, yang mana orang khawatir tentang batasan hak untuk mengendalikan tubuh mereka," katanya.

"Ada retorika bahwa Partai Komunis didirikan atas dasar kesetaraan gender ... itu benar-benar diabadikan dalam Konstitusi," kata Hong Fincher. "Tapi faktanya, hanya melihat bukti dalam beberapa tahun ... gerakan pemerintah telah menentang memajukan hak-hak perempuan, menentang kesetaraan gender."


Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya