Liputan6.com, Jakarta - Heru Sang Amurwabumi, nama pena yang melekati penulis asal Nganjuk ini menyimpan historis di baliknya. Sang Amurwabumi merupakan padanan dari kata Sang Mahadewa (Batara Guru) yang merupakan gelar penobatan naik tahta (abhiseka) dari Ken Angrok (sesuai serat Pararaton). Ken Angrok kala itu mengklaim dirinya sebagai titisan Batara Guru.
Batara Guru merupakan salah satu jenis koleksi wayang dari leluhurnya. Benda peninggalan yang harus tetap dijaga keberadaannya meski si empunya sudah tiada. Suatu hari, kala kondisi ekonomi membelit, Heru terdorong untuk menjual warisan berharga itu pada salah satu rekannya.
Advertisement
Saat hendak mengemas Wayang Batara Guru untuk dikirimkan ke pemesan, Heru terhenyak memandangi benda tersebut. Ada rasa yang kuat menariknya untuk tak memindahtangankan amanah itu. Pada waktu yang hampir bersamaan, si pembeli menghubungi Heru lewat pesan singkat.
"Mas, aku enggak jadi deh beli wayangmu. Itu peninggalan leluhur yang harus kamu jaga. Perkara uang yang sudah aku transfer, kamu pakai saja," kata Heru mengenang ucapan temannya saat wawancara dengan Liputan6.com, Jumat (1/10/21).
Sejak saat itu, Heru berjanji akan merawat Batara Guru dan benda wasiat lainnya dengan baik. Dia yakin siapa yang menjaga akan dijaga. Untuk menggenapi niatnya tersebut, tepatnya tahun 2015 dia pun menjadikan Heru Sang Amurwabumi sebagai nama penanya.
Simak video pilihan berikut ini:
Awal Mulai Menulis
Menulis bagi Heru adalah sebuah hobi, ragam kesenangan ditemukannya di sana. Saat itu, puisi dipilihnya sebagai media penyaluran hobi tersebut. Karyanya kerap dipajang di mading sekolah dan beberapa dibuatnya khusus untuk diberikan pada teman-teman perempuan di kelasnya. Seiring bergulirnya waktu dia pun menemukan passion menulisnya pada cerpen berlatar budaya.
Advertisement
Estetika Budaya pada Karya
Kecintaan pada budaya sudah melekatinya sejak usia dini. Kakek, nenek, dan para pendahulu di keluarganya adalah mereka yang membersamai kesenian Wayang Gedog (wayang yang terbuat dari kayu) dan Karawitan.
Meski kini, Wayang Gedog sudah punah, namun kecintaannya pada budaya masih tetap ada. Terbukti dari karya-karyanya yang kerap menyiratkan budaya, seperti Majapahit, Kediri, Singasari, hingga Majapahit. Salah satunya Rangda Girah Calonarang membawanya menjadi pemenang sayembara Nulis Dari Rumah (NDR) yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.
Spirit dari Ubud, Bali
Lolos seleksi Penulis Emerging Indonesia Ubud Writers & Readers Festival tahun 2021 (UWRF) melalui cerpennya yang berjudul Mahapralaya Bubat, membawa spirit tersendiri baginya. Perhelatan yang diselanggarakan setiap tahun pada Oktober yang dinaungi oleh Yayasan Mudra Swari Saraswati ini menjadi momentum paling berkesan bagi pemuda kelahiran Nganjuk tepat pada Oktober yang juga diperingati sebagai bulan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Baginya, Ubud Writers and Readers Festival merupakan pagelaran seni yang megah bagi para seniman. Tidak hanya Penulis, kehadiran para Sineas, Designer, Pegiat sosial, Intepreter, sampai Pebisnis, menyadarkan Heru bahwa penulis tak bisa berdiri sendiri. Lahirnya sebuah karya merupakan kontribusi banyak pihak.
"Menulis itu enggak bisa berdiri sendiri. Dia harus berkolaborasi dengan bidang lainnya. Ini juga bisa menambah value karya-karya yang dihasilkan," kata penulis yang bernama asli Heru Widayanto.
Keberhasilannya menembus ajang bergengsi itu melewati bertahun-tahun perjuangan. Berkali-kali mengirimkan karya sejak tahun 2017 dan baru terpilih pada 2019 menyadarkan Heru bahwa menyajikan segala sesuatu berlatar budaya memerlukan riset mendalam. Itu diperlukan guna menghadirkan khazanah budaya yang nyata dan tentu tak sekadar tempelan apalagi pemanis belaka.
Advertisement
Kolaborasi dalam Aksi
Sepulangnya dari perhelatan itu, adrenalin Heru kian terpacu untuk terus aktif menulis. Selain rasa percaya diri yang berhasil terbentuk, ada tanggung jawab moral yang membuatnya merasa malu untuk lantas berdiam dan enggan menggali diri.
Pendiri Komunitas Penggiat Literasi Nganjuk (KOPLING), Founder Sekolah Menulis Nganjuk, CEO omahsastra.id ini menargetkan dirinya untuk menghasilkan 4-5 cerpen setiap bulannya. Targetnya untuk bisa dipublikasikan di media cetak dan online.
Selain itu, UWRF menginspirasinya untuk membuat event serupa di kota kelahirannya, Nganjuk. Terbukti, 26 September 2021 lalu terselenggara perhelatan seni Madege Kampung Sastra yang bertema Merawat Kearifan Anjuk Landang dengan Sastra, Seni dan Budata, disertai peluncuran buku Antologi Keajaiban Cinta dan wisuda siswa/siswi Sekolah Menulis Nganjuk.
"Masih event kecil, paling tidak saya sudah bisa mewujudkannya," ucapnya penuh syukur.
Media Publikasi Karya
Beberapa media menjadi tempat berlabuh publikasi cerpen-cerpennya. Gulung tikarnya sejumlah media cetak membuat cakupan persaingan media online makin ketat. Ini membuat Heru terpacu untuk menghasilkan yang terbaik darinya.
"Makanya penulis harus terus meng-upgrade ilmunnya. Jangan terburu-buru merasa puas jadinya malas untuk menjelajah lebih dan lebih," pesan pemuda yang menjadikan menulis sebagai jalannya mencari rezeki.
"Sebagai buruh pabrik dengan gaji rendah, sekecil apa pun honor yang saya terima dari hasil menulis, sangat berarti," lirih ucapnya menambahkan.
Penulis pada Era Pandemi Pandemi membuka banyak peluang bagi penulis untuk mengadakan kelas-kelas penulisan secara daring. Selain bisa menambah penghasilan, pun dapat meluaskan hubungan sosial. Di samping itu, penulis fiksi maupun non fiksi semacam esai dapat mengambil peran penting dengan cara menyampaikan gagasan yang mampu menyodorkan solusi alternatif terkait isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat.
Advertisement
Tips Konsistensi dan Eksistensi Karya bagi Penulis Pemula
Mood
Sebagai manusia lumrah jika kadang mengalami ketidakstabilan mood.
Menurut Psikolog Oktina Burlianti, "Mood itu berasal dari pikiran kita sendiri. Jadi, pikiran itu jugalah yang akhirnya mengatur mood kita.
Saat mood turun, Heru pun mengganti aktivitas menulisnya dengan membaca. Begitu pula saat tak ingin menulis, Heru memalingkan diri untuk melahap beberapa karya penulis senior. Kondisi yang kerap disadarinya sebagai alarm kalau dia butuh jeda untuk sekadar mereda jenuh.
Pengalihan itu diakuinya dapat mendatangkan kesegaran saat mulai berkarya."Masa membaca saya manfaatkan untuk merilekskan pikiran, Mbak," katanya.
"Tapi, hati-hati saja saat memilih sumber bacaan. Pilih yang sumbernya jelas dan diterbitkan melalui penerbit terpercaya. Karena salah memilih bacaan, sama saja keliru mengasupi pikiran,"dia menegaskan.
Jangan Menghakimi Diri
Terlalu banyak melihat keberhasilan orang di laman sosial media kadang dapat mengundang kecemburuan diri. Satu hal yang tanpa disadari dapat mengganggu dan mengalihkan fokus diri. Kadang, hal itu bisa membuat kita menghakimi diri sendiri karena belum mampu meraih yang umumnya bisa mereka raih.
Bila terjadi dalam waktu lama hal ini akan menjatuhkan mental juang kita lalu enggan melakukan apa pun.
"Kalau ini terjadi, ingat saja kalau para penulis senior itu pun pernah ada di posisi kita sebelumnya. Mereka pernah jadi pemula, pernah merasakan gagal, pernah tau rasanya ditolak,” kata Heru mengingatkan.
Tetapkan Target
Tak perlu menunggu orang lain membuat target untuk kita, tapi ciptakan target itu dalam rutinitas kita. Tentang ukuran dan jumlah target menyesuaikan kemampuan. Punish and reward atas pencapaian target boleh dihadirkan atau tidak. Intinya hanya untuk menumbuhkan kedisiplinan, melecut konsistensi diri.
"Jika kalian bukan anak Sultan, bukan pula anak ulama, menulislah. Namamu akan tercatat dalam peradaban sebuah zaman," pungkasnya di akhir perbincangan dengan mengutip pemikiran Rumi.